Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Rabu, 31 Desember 2008

ADAKAH TAHUN BARU ISLAM ?

Ungkapan tahun baru Islam adalah ungkapan dikotomis. Dengan ungkapan tersebut ada tahun baru kafir atau musyrik. Bila tahun hijriyyah dikatakan tahun Islam, maka tahun yang lain adalah tahun kafir atau musyrik.

Ungkapan itu menjadi sesuatu yang berbahaya. Bila dikaitkan dengan keterangan bahwa siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum itu, maka bisa jadi bangsa Indonesia dianggap kafir seluruhnya. Mengapa ? Seluruh bangsa Indonesia menggunakan tahun masehi.

Ini masalah besar, karena mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim. Mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Mereka mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad sebagai Rasulullah. Apakah syahadat mereka itu tidak cukup untuk menempatkan mereka di barisan kaum muslimin ?

Kita coba untuk merujuk pada sejarah. Tahun hijriyyah ternyata bukan tahun yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Orang kafir dan musyrik sebelum Nabi Muhammad s.a.w. diutus telah menggunakan sistem perhitungan tahun sebagaimana yang dipergunakan pada perhitungan tahun hijriyyah.

Nabi Muhammad pun tidak menetapkan tahun hijriyyah tersebut. Penetapan tahun hijriyyah dilakukan oleh khalifah ‘Umar bin Khaththab r.a. Setelah sebelumnya tahun dinamakan dengan peristiwa sejarah besar yang terjadi di tahun itu, Umar bin Khaththab r.a. menetapkan hijriyyah. Tahun satu ditetapkan berdasarkan sejarah besar Hijrah Nabi Muhammad s.a.w. dari Makkah ke Madinah.

Maka tidak ada bedanya dengan tahun lain – masehi katakanlah contohnya. Semua tahun itu tidak berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. Baik tahun hijriyyah maupun masehi atau dengan nama lainnya dipergunakan beragam bangsa dan kebudayaan di seluruh penjuru dunia.

Yang berbeda dalam perhitungan tahun itu adalah parameternya. Hijriyyah menggunakan peredaran bulan mengelilingi bumi. Masehi menggunakan peredaran bumi mengelilingi matahari.

Bulan dan matahari keduanya disahkan oleh Allah dalam Al-Quran sebagai alat untuk melakukan perhitungan tahun.

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar danbulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan, supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.Q.S. Yunus (10) ayat 5,

Dengan demikian, baik itu tahun hijriyyah maupun tahun masehi, keduanya adalah tahun yang sesuai dengan ajaran Islam. Perbedaan keduanya hanya dalam penggunaannya saja.

Secara umum, tahun yang berdasarkan peredaran bulan (qomariyyah- hijriyyah) dipergunakan sebagai kalender spiritual dan magis. Umat Islam mempergunakan kalender hijriyyah sebagai kalender ‘ibadah. Puasa, hajji, ‘idul fithri, ‘idul ‘adha, zakat dll menggunakan kalender hijriyyah. Para tukang sihir pun mempergunakan sistem perhitungan ini untuk kepentingan magis. Di negara barat, manusia serigala dipengaruhi bulan purnama. Orang jawa mempergunakan kalender ini untuk ritual proses kedigjayaan.

Tahun yang berdasarkan peredaran matahari (syamsiyyah – masehi) pada masa lalu dapat dipergunakan untuk memperkirakan musim. Musim dipengaruhi oleh suhu, angin dan curah hujan. Suhu dan curah hujan dipengaruhi oleh pemanasaan matahari. Pada masa lalu, dengan kalender masehi (matahari) manusia dapat terbantu dalam melakukan perhitungan pertanian.

Dalam satu tahun matahari kadang-kadang lebih utara dari katulistiwa dan kadang kadang lebih selatan dari katulistiwa. Angin adalah udara yang bergerak dari yang rapat ke yang renggang. Udara lebih renggang di daerah yang lebih panas. Bila matahari di selatan katulistiwa, maka angin bertiup dari utara ke selatan. Bila matahari di utara katulistiwa, maka angin bertiup dari selatan ke utara. Angin bertiup membawa awan. Awan adalah uap-uap air yang berpengaruh terhadap curah hujan.

Pada saat ini, kondisi cuaca dan musim memang sudah sulit ditentukan melalui kalender matahari. Angin, awan, curah hujan dan musiam sudah berubah seiring dengan terjadinya efek rumah kaca dan pemanasan global. Selain itu, gelombang elektromagnet televisi, radio, telepon, satelit dan lainnya telah membuat perubahan posisi dan pergeseran awan.

Namun, selain musim tahun masehi (syamsiyyah – matahari) dapat dipergunakan sebagai alat perhitungan waktu shalat. Bukankah waktu shalat dihitung berdasarkan matahari ? Maghrib adalah saat matahari terbenam. Zhuhur adalah saat matahari tergelincir ke sebelah barat. 'Ashr adalah saat bayang-bayang lebih panjang dari benda aslinya. ‘Isya adalah saat hilangnya awan merah setelah terbenam matahari. Shubuh adalah saat terbit fajar. Semua sesuai dengan peredaran matahari.

Bila kita mempergunakan kalender hijriyyah (berdasarkan bulan), maka setiap tahun kita harus menghitung ulang waktu shalat. Bulan muharram tahun ini, tahun lalu dan tahun depan berada pada posisi bumi dan matahari yang berbeda. Demikian pula bulan-bulan lainnya di tahun hijriyyah.

Namun, bila kita menggunakan kalender masehi (berdasarkan matahari), maka kita tidak perlu menghitung ulang jadual waktu shalat setiap tahun. Januari tahun ini, tahun lalu dan tahun depan berada pada kondisi posisi bumi dan matahari yang sama. Demikian pula pada bulan lainnya di tahun masehi. Dengan demikian cukup satu kali dilakukan perhitungan dan selanjutnya bisa dipakai berulang dengan berulangnya tahun.

Bila itu kenyataannya, relevankah kita mempergunakan istilah tahun baru Islam ?

Saya pikir lebih relevan kita mempergunakan istilah tahun baru hijriyyah dan masehi saja. Atau mungkin kita bisa menggunakan istilah tahun qomariyyah (lunar) dantahun syamsiyyah (solar). Hijriyyah dihitung berdasarkan peredaran bulan. Masehi dihitung berdasarkan peredaran matahari. Keduanya – bulan dan matahari – adalah ciptaan Allah.

Bulan dan matahari adalah makhluk yang taat kepada Allah. Keduanya beredar pada jalurnya sesuai dengan yang ditetapkan Allah. Islam berarti taat,tunduk, patuh, pasrah kepada Allah. Bulan dan matahari taat kepada Allah. Bulan dan matahari Islam. Tahun hijriyyah (bulan) maupun tahun masehi (matahari) adalah tahun Islam.

Masalah kita sebenarnya bukanlah tahun baru Islam ataukah bukan. Masalah kita sebenarnya apakah kita ber-Islam ataukah tidak ? Apakah kita taat kepada Allah Sang pencipta alam semesta sebagaimana taatnya bulan dan matahari ataukah tidak ?

Wahai orang-orangyang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S. Al-Hasyr (59) ayat 18

Demi masa. Sesungguhnya seluruh manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Q.S. Al’Asr (103) ayat 1-3


Wallohu a’lam bis sowab.


Selengkapnya...

Sabtu, 27 Desember 2008

KHILAFAH, Menghancurkan atau Menguntungkan Umat ?

KHILAFAH MEMIMPIN DUNIA ?

Apaan sih itu ?

Khilafah atau kekholifahan adalah sesuatu yang mungkin samar bagi muslim Indonesia. Muslim Indonesia mungkin belum memahami secara jelas apa yang dimaksud dengan khilafah. Dengan demikian, muslim Indonesia tidak dapat bersikap secara baik dan jelas dalam menanggapi masalah khilafah. Muslim Indonesia tidak jelas mendukung atau tidak .Penulis sendiri termasuk yang masih mencari apa yang dimaksud sebenarnya.

Sejauh yang penulis temukan, khilafah adalah sebuah konsep kepemimpinan umat. Kepemimpinan umat setidaknya mempunyai tiga kemungkinan pemahaman dalam konteks penerapannya. Pertama, khilafah sebagai sebuah imperium dunia. Kedua, khilafah sebagai kepemimpinan keagamaan. Ketiga, khilafah sebagai konfederasi atau semacamnya.

Bila khilafah dipahami sebagai imperium dunia, khilafah berarti sebuah “Negara Islam” yang berdaulat di seluruh dunia. Menegakkan khilafah artinya membuat Negara. Saat ini, mengharuskan penegakkan khilafah berarti meniadakan Negara yang sudah ada dan mengupayakan pembuatan Negara baru. Dengan demikian, pada penegakkan khilafah nuansa sebagai gerakan politik lebih kental dari pada gerakan keagamaan, bahkan mungkin cenderung sebagai gerakan politik berbaju agama.

Pemahaman ini akan menempatkan muslim yang meyakininya menjadi pemberontak di Negara tempat tinggalnya. Apabila ini memang benar, maka umat muslim akan terusir dari tempat tinggalnya. Di mana pun ia berada, ia akan dipandang sebagai gerakan sparatis yang akan menghancurkan sebuah Negara yang berdaulat.

Kondisi ini akan menempatkan umat muslim seperti apa yang dialami Bani Isroil. Mereka terusir dan tidak mempunyai tempat tinggal yang jelas. Mereka menjadi pengungsi di tanah pengasingan. Tanah yang dicita-citakan adalah tanah yang ditempati orang lain. Di mana pun berada, ia akan menjadi musuh untuk yang lain.

Kemungkinan kedua adalah khilafah dipahami sebagai kepemimpinan keagamaan. Apabila dicari bandingannya, maka mungkin seperti Khilafah Ahmadiyyah Qodiani dan Tahta Suci Vatikan untuk Katholik. Mungkin senada dengan Imamah dalam pandangan syi’ah.

Dalam makna ini, kholifah sebagai pemegang tampuk khilafah adalah pemimpin agama. Wewenangnya terbatas pada hal-hal keagamaan. Kholifah tidak berwenang berkaitan dengan politik, pengadilan dan perundang-undangan dan hal lain yangberkaitan dengan tata negara.

Bila makna ini yang diterima, maka cenderung dekat atau sepaham dengan sekulerisme. Agama dan Negara adalah sesuatu yang terpisah. Otoritas Negara berbeda dengan otoritas agama.

Bila makna ini dikaitkan dengan khulafaur rosyidin, timbul kesenjangan antara makna dan kenyataan sejarah. Pada masa khulafaur rosyidin, kholifah adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin.

Selain itu, mungkin terjadi kemutlakan penafsiran terhadap agama. Kholifah sebagai pemegang otoritas keagamaan adalah pemegang kebenaran. Tafsir yang benar tentang teks suci (Al-Quran dan As-Sunnah) adalah tafsir kholifah. Yang berbeda dengan kholifah adalah kelompok yang sesat.

Kondisi pemutlakan kebenaran ini setidaknya pernah terjadi pada masa lalu. Masa kholifah Al-Ma’mun, mu’tazilah adalah benar dan yang lain sesat. Kholifah berpindah, maka pemahaman siapa yang benar pun berubah. Bayangkan, apa yang terjadi dengan perbedaan mazhab yang hari ini adalah sebuah kenyataan.

Kemungkinan makna ketiga adalah khilafah dipahami sebagai konfederasi atau sejenisnya. Dengan makna ini khilafah mungkin seperti persemakmuran Inggris (British Commonwealth of Nations). Mungkin pula seperti UNI Eropa. Mungkin pula seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Khilafah dengan makna ini dapat terjadi dengan sebuah perjanjian antara Negara yang telah ada. Namun, perjanjian tersebut hanya merupakan ikatan tidak berarti kedaulatan. Alat kelengkapan bersama hanya berhubungan dengan pemerintah tiap Negara, tidak berhubungan langsung dengan warga negaranya. Setiap perjanjian dalam ikatan konfederasi harus dituangkan dahulu dalam perundang-undangan Negara yang bersangkutan, baru berlaku untuk warga negaranya.

Ikatan dapat pula terjadi bukan karena perjanjian, tetapi karena sesuatu yang psikologis dan emosional, seperti kesejarahan, adat istiadat maupun agama. Ikatan ini pun tidak menjadikan suatu Negara kehilangan kedaulatan dan timbul Negara lain yang berdaulat.

Bila makna ini yang dipergunakan, maka cukuplah kiranya memberdayakan OKI sebagai khilafah.

Akhirnya, para pengusung penegakkan khilafah perlu menjelaskan secara gamblang apa yang mereka maksud dengan khilafah itu. Bagaimana hubungan khilafah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah mereka mengakui kedaultan Negara yang telah ada ? Ini harus secara tegas dijelaskan, sehingga umat memahami apakah penegakan khilafah itu perlu didukung ataukah tidak.

Wallohu a’lam.


Selengkapnya...

UNDANG – UNDANG DASAR SYARI’AH

Penegakkan syari’ah diwarnai oleh dua kelompok kaum muslimin. Kelompok pertama memandang bahwa ditegakkannya syari’ah adalah saat Al-Quran dan As-Sunnah menjadi konstitusi. Kelompok kedua memandang bahwa ditegakkannya syari’ah adalah ketika syari’ah dilaksanakan walau tanpa konstitusi.

Kedua kelompok ini terus berada di wilayah yang berbeda. Yang satu memandang yang lain sebagai musuh. Pada tahap yang gawat adalah yang satu memandang yang lain sesat. Terjadilah kafir mengkafirkan terhadap sesama pemeluk Islam, bukan karena syahadatnya, tapi karena berbedanya pandangan politik.

Apabila kemudian mengkaji pemahaman konstitusi, ditemukan bahwa konstitusi terbagi menjadi dua jenis. Pertama konstitusi yang tertulis. Kedua konstitusi tidak tertulis.

Konstitusi tertulis adalah suatu naskah yang secara formal dikatakan sebagai konstitusi atau undang-undang dasar. Pada konstitusi tertulis biasanya tercantum organisasi negara, hak azasi manusia, prosedur perundang-undangan. Adakalanya ditambah dengan larangan melakukan perubahan terhadap satu sifat atau ketentuan tertentu dalam bernegara.

Organisasi negara adalah pembagian kekuasaan antar lembaga negara. Organisasi negara pertama kali akan berhubungan dengan bentuk Negara, apakah republik, kerajaan, presidensil atau parlementer, konferderasi, kesatuan atau federal. Dari bentuk Negara itu berkembang pembagian kekuasan, baik secara vertical antara pemerintah pusat dan daerah maupun secara horizontal antar beberapa lembaga Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif).

Hak azasi manusia adalah hak-hak setiap warga negara yang keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Hak ini, dapat berupa hak politik, hak ekonomi, hak pendidikan, hak budaya dan hak-hak lainnya.

Prosedur perundang-undangan adalah tatacara pembuatan, penyusunan, pengesahan dan perubahan sebuah undang-undang. Undang-undang yang dimaksud dapat berupa undang-undang dasar (konstitusi) itu sendiri maupun undang-undang di bawahnya.

Konstitusi kedua adalah konstitusi tidak tertulis atau biasa dikatakan sebagai sebuah konvensi. Konvensi adalah sebuah tatanan atau tata nilai yang diakui bersama dan dipatuhi. Menurut Edward M. Sait konvensi adalah aturan-aturan tingkah laku politik. Konvensi berisi tata nilai yang diambil dari kebiasaan yang terjadi maupun nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat.

Secara formal, konvensi tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Namun konvensi mempunyai kekuatan yang besar, karena dapat berarti penentuan dukungan dalam pemilu. Siapa yang melanggar konvensi akan dipandang sebagai tidak patut untuk dipilih.

Konvensi, walaupun dikatakan konstitusi yang tidak tertulis, namun kenyataannya tetap mempunyai catatan-catatan atau dokumen-dokumen. Sebutlah konstitusi Inggris yang berupa konvensi, ternyata menginduk kepada magna Charta 1215, bill of rights 1689, Act of settlement 1701, parliament acts 1911 dan 1949 serta lain-lainnya.

Memahami hal tersebut, sangat berat Al-Quran dan As-Sunnah dapat dijadikan sebagai konstitusi tertulis. Pada Al-Quran dan As-Sunnah tidak ditemukan organisasi negara secara jelas. Bentuk Negara tidak tercantum secara jelas. Pembagian kekuasaan tidak tercantum secara jelas. Sistem pengangkatan kepala negara secara pasti pun tidak ada. Pada masa khulafaur rosyidin pun ditemukan bahwa kholifah diangkat dengan cara yang berbeda-beda.

Apabila mengkaji sejarah, ditemukan bahwa pada masa khulafaur rosyidin kedudukan Al-Quran dan As-Sunnah dalam bernegara adalah sebagai konvensi. Al-Quran dan As-Sunnah bukanlah konstitusi tertulis. A-Quran dan As-Sunnah adalah dokumen sakral yang tata nilainya (syari’ah) diakui dan diamalkan dalam bernegara.

Al-Quran dan As-Sunnah sebagai konvensi (konstitusi tak tertulis) dapat menjadi jalan tengah antara dua kubu politik muslim. Al-Quran dan As-Sunnah tidak secara formal menjadi naskah konstitusi, namun tata nilainya menjadi acuan dalam bernegara.

Apabila ini disepakati, maka tanggungjawab perjuangan adalah bagaimana membentuk masyarakat yang memahami, meyakini dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Tantangan adalah bagaimana menempatkan nilai-nilai syari’ah sebagai nilai-nilai universal yang diakui bersama dalam kehidupan social. Dengan hidupnya tata nilai syari’ah dalam masyarakat, maka secara tidak langsung siapa yang melakukan pelanggaran terhadap tata nilai ini akan dipandang tidak patut secara politik untuk memimpin negara.

Apabila ini disepakati, maka konsentrasi saat ini bukanlah pemilu dan pilkada namun pendidikan dan social budaya. Bagaimana mendidik warga Negara - mendidik anak bangsa - agar memahami, meyakini dan mengamalkan nilai-nilai syari’ah. Bagaimana melakukan sosialisasi nilai syari’ah sehingga menjadi nilai-nilai social.


Selengkapnya...

Jumat, 10 Oktober 2008

HARAMKAH ROKOK ?

Wacana haram rokok terus mengemuka. Desakan terhadap MUI untuk mengeluarkan fatwa haram rokok terus berkembang. Komnas perlindungan anak dan menteri kesehatan pun memberikan dukungannya.

Secara sosiologis, wacana ini akan sangat bermasalah di MUI. Mengapa ? sebagian ulama, bahkan yang ketua dan ketua komisi fatwa adalah para perokok. Apalagi kalau melihat para ulama pemimpin pesantren salaf, mayoritas mereka adalah perokok.

Namun, lepas dari itu semua, MUI harus jujur membahas secara ilmiyyah berdasarkan ketentuan syari’ah. Kebiasaan merokok para ulama jangan dijadikan dalil atau ewuh pakewuh dalam membahas hukum rokok. Kejujuran dalam syari’ah dan ilmiyyah harus dijunjung tinggi oleh para ulama.

Bila kita melihat mazhab yang ada, umat Islam terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang memandang segala sesuatu harus ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kelompok ini cenderung untuk memaknakan ada dan tidaknya dalam Al-Quran dan As-Sunnah dari teksnya. Bila tidak ada teks dalam Al-Quran dan As-Sunnah, maka hal itu tidak sesuai dengan syari’ah.

Kedua, kelompok yang memandang bahwa Al-Quran dan As-Sunnah adalah usul (dasar / akar), sedangkan dalam hal furu’ (cabang) tidak perlu ada teks Al-Quran dan As-Sunnah-nya. Furu’ adalah keputusan yang didasarkan pada pemahaman terhadap teks dan konteks dari teks Al-Quran dan As-Sunnah. Selama berada dalam koridor makna, semangat, illat yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, maka itu sah sebagai ketentuan syari’ah furu’iyyah.

Bila kita merujuk cara kelompok pertama, menurut saya, rokok jelas tidak haram. Mengapa ? Karena sejauh yang saya dapatkan tidak ditemukan teks Al-Quran dan As-Sunnah yang menyatakan haramnya rokok.

Bila ini dikaitkan dengan ayat Al-Quran “wa laa tulquu biaidiikum ilat tahlukah (dan janganlah menjatuhkan diri kalian sendiri pada kerusakan)”. Dan rokok dikatakan berbahaya untuk kesehatan, sehingga sebagian dari kerusakan (tahlukah) itu. Maka jelas ini sudah keluar dari cara berpikir kelompok pertama. Cara itu sudah memasuki cara berpikir kelompok kedua. Rokok membahayakan kesehatan dan itu termasuk kategori “tahlukah” adalah pemahaman, bukan teks.

Sehingga, bila kelompok pertama ini jujur dan konsisten dengan keyakinannya, maka keputusannya rokok tidak haram. Tidak ditemukan teks Al-Quran maupun As-Sunnah yang menyatakan rokok haram.

Bila kita merujuk kepada keyakinan kelompok kedua, maka kita akan bertemu dengan rumusan maqoshidusy syari’ah (prinsip maksud syari’ah). Salah satu maksud syari’ah adalah menegakkan ke-maslahat-an.

Ke-maslahat-an dipertimbangkan pada lima hal pokok, yaitu agama (diin), diri (nafs), akal (aql), kepemilikan dan nafkah (maal) dan generasi penerus (nasl). Kelimanya mempunyai tiga derajat. Pertama, doruriyyah (primer). Kedua, hajiyyah (sekunder). Ketiga, tahsiniyyah (sekunder).

Doruriyyah adalah sesuatu yang harus dipertahankan untuk kelangsungan kemaslahatan manusia dan tidak boleh tidak. Sesuatu yang menjaganya secara langsung dikategorikan wajib. Sesuatu yang membahayakannya secara langsung dikategorikan haram.

Hajiyyah adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemudahan dalam kelangsungan kemaslahatan hidup. Sesuatu yang mendukungnya dikategorikan sunnah. Sesuatu yang menyulitkan atau membahayakannya secara tidak langsung dikatakan makruuh.

Tahsiniyyah adalah sesuatu yang berkaitan dengan keindahan dalam kemaslahatan hidup. Sesuatu yang mendukungnya dianjurkan (istihbaab). Sesuatu yang yang tidak mendukungnya dikategorikan mubaah.

Semua hal tersebut dalam berubah sesuai dengan keberadaan ‘illat (alasan / sebab) hukumnya. Bila ‘illatnya ada, maka hukumnya ada. Bila ‘illatnya tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada.

Dalam kasus rokok, mayoritas pendukung haramnya rokok merujuk pada membahayakan kesehatan. Artinya hal itu diarahkan pada dua hal. Pertama aspek diri (nafs) dan kedua aspek akal (aql).

Mari kita kaji.

Serangan rokok terhadap kesehatan diri, tidak secara langsung membahayakan jiwa (membunuh). Tidak pula secara langsung membuat hilangnya anggota tubuh (amputasi). Oleh karena itu dari sisi ini, rokok tidak dapat dikategorikan haram.

Serangan rokok terhadap kesehatan akal, tidak secara langsung menghilangkan akal, seperti nakotika atau minuman keras. Dengan demikian, dari sisi ini pun rokok tidak dapat dikategorikan haram.

Apabila bersikeras, cukup dengan alasan membahayakan kesehatan saja dan itu dipandang illatnya, maka semua yang membahayakan kesehatan harus diharamkan. Kita harus mengharamkan mobil, karena asapnya membahayakan kesehatan. Kita harus mengharamkan pabrik, karena asapnya membahayakan kesehatan. Bagaimana ?

Bila dipandang dari sisi jalan menuju penyalahgunaan narkotika, maka hal itu pun tidak secara langsung dapat dikategorikan membahayakan akal. Apalagi, tidak ada bukti yang jelas bahwa dari merokok pasti menjadi pecandu narkotika. Kata “pasti”, itu kuncinya untuk dapat membuat hal itu haram. Tidak semua perokok menjadi pecandu narkotika.

Bila kemudian dipergunakan kaidah saddudz dzariah (mencegah keburukan / bahaya) dan kaidah jalan / pendukung terjadinya sesuatu dihukumi sesuai hukum yang didukungnya, maka kita akan bertemu dengan sisi lain yang perlu dipertimbangkan. Sisi lain itu adalah nasib para pekerja pabrik rokok, petani tembakau, investasi dan kondisi ekonomi negara.

Pada sisi lain, haramnya rokok akan membahayakan secara langsung pada pekerjaan ratusan ribu orang. Saat rokok haram, maka pabriknya harus ditutup. Bila itu terjadi, maka ratusan ribu pekerja pabrik rokok secara langsung akan kehilangan pekerjaan yang berarti kehilangan nafkahnya. Kehilangan pekerjaan sebagai lahan mencari nafkah, menurut saya membahayakan sisi maal (kepemilikan dan nafkah). Oleh karenanya, fatwa haram rokok akhirnya malah membahayakan ke-maslahat-an yang seharusnya dijamin oleh syari’ah.

Bagaimana pula dengan nasib para petani tembakau ? Bagaimana nasib investasi di pabrik rokok ? Bagaimana nasib perekonomian negara ?

Bila kita kaji lebih jauh, kita akan bertemu dengan hilangnya pendapatan negara dari cukai dan pajak rokok. Menurut informasi, cukai dan pajak rokok adalah salah satu pendapatan negara yang terbesar. Bila itu benar, bersiap-siaplah, dengan fatwa haram rokok negara kita akan kesulitan keuangan. Artinya negara kita akan dipaksa untuk berutang lagi ke negara asing. Perlu diingat, pemberi utang adalah yahudi. Selama ini utang tidak berhasil menyelamatkan negara kita. Utang hanya membuat negara kita semakin terpuruk. Apalagi bila utang itu dari yahudi, artinya negara kita akan semakin lemah di hadapan kaum yahudi.

Kondisi ini membuat berlakunya kaidah fiqih “iza ta’arodo mafsadatani ru’iya a’zomuhuma dororon birtikabi akhoffihima dororon (bila berbenturan dua hal yang buruk / membahayakan, maka dijaga jangan sampai terjadi keburukan / bahaya yang terbesar / terberat dengan memilih membiarkan / menetapkan untuk melaksanakan yang keburukan / bahayanya paling ringan). Mana yang lebih berat ? Mana yang lebih ringan ?

Bila kondisinya seperti itu, manakah yang sebenarnya termasuk dalam koridor “wa laa tulquu biaidiikum ilat tahlukah (dan janganlah menjatuhkan diri kalian sendiri pada kerusakan)” ? Mana yang lebih menjunjung maslahat yang dimaksud syari’ah, haram rokok ataukah menetapkan kembali makruhnya rokok seperti yang dipahami selama ini oleh mayoritas muslim ?

Mari kita merenung. Mari kita mengkaji secara matang. Janganlah tergesa-gesa untuk melakukan sesuatu. Jangan pula emosional. Semoga kita semua mendapatkan petunjuk dan pertolongan sehingga mampu membumikan dan melaksanakan syari’ah dengan baik dan benar. Amiiin.


Selengkapnya...

BENCANA DIBALIK RUU PORNOGRAFI ; Perspektif Kekhawatiran

Pro kontra pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi dan bergulir menjadi isu yang ditebarkan oleh kelompok-kelompok, organisasi-organisasi maupun pribadi-pribadi. Penggalangan massa untuk mendukung sikapnya juga dilakukan oleh pihak yang pro maupun yang kontra.

Apabila dilakukan dengan keikhlasan dan saling menghormati serta menghargai perbedaan pendapat, kondisi tersebut merupakan dinamika yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya terjadi upaya-upaya yang dapat membuat warga bangsa menjadi cerdas. Selain itu, dapat pula terjadi langkah maju untuk dapat terbangunnya persepsi positif terhadap pluralisme dalam makna bahwa perbedaan adalah sebuah kenyataan bukan sebuah bencana.

Selain pro kontra terhadap keberadaanya, sebenarnya kemunculan RUU Pornografi dapat dikatakan sebagai “tragedi dan bencana” bagi bangsa dan negara. Bagaimana dapat demikian ? Apabila kita melihat RUU Pornografi sebagai akibat atau penyikapan dari realita kondisi sosial, maka kita akan dapat menemukan kebenaran pernyataan tersebut.

Munculnya RUU Pornografi setidaknya merupakan bukti dari beberapa hal. Di antaranya :
  • Kegagalan institusi keagamaan
  • Kegagalan institusi pendidikan
  • Kehancuran keluarga
  • Kehancuran sosial budaya
  • Kelemahan agamawan dan para pendidik
  • Kegagalan seluruh bangsa
  • Kegagalan pemerintah dalam membangun bangsa dan negara
  • Dilecehkannya Al-Quran dan As-Sunnah


  • KEGAGALAN INSTITUSI KEAGAMAAN DAN PENDIDIKAN

    RUU Pornografi adalah bukti kegagalan institusi keagamaan dan pendidikan. Ketika RUU Pornografi dimunculkan sebagai upaya menjaga dan memperbaiki moral, ditunjukkan bahwa institusi keagamaan dan pendidikan telah gagal dalam menjaga dan memperbaiki moral. Apabila institusi keagamaan dan pendidikan berhasil dalam melaksanakan fungsi dan kewajibannya, tidaklah bangsa kita membutuhkan UU Pornografi sebagai penjaga dan pemelihara moral. Tanpa UU Pornografi, bangsa yang beragama dan terdidik secara moral akan mempunyai kemampuan untuk berhadapan dengan rongrongan terhadap moralitasnya. Benarlah sebagaimana yang K.H. Abdurrahman Wahid katakan bahwa “semua lembaga keagamaan telah gagal.”

    Wibawa institusi keagamaan telah meluncur ke titik nadir. Fatwa sudah tidak didengar. Masjid sudah kosong. Pengajian sudah kehilangan harganya. Acara-acara keagamaan mungkin hanya “lifestyle” sesuai trend, bukan pengejawantahan dari substansi keagamaan itu sendiri. Dakwah telah menjadi tontonan bukan lagi tuntunan. Dakwah adalah industri “entertainment”. Muballigh adalah artis - selebritis. Popularitas da’i lebih penting dari keshalehan dan derajat ilmiyyahnya.

    Institusi pendidikan beralih fungsi secara substansial. Pada masa lalu dikenal lagu tentang pamitan seorang anak untuk belajar agar menjadi murid “budiman”, masa kini lagu tersebut diganti dengan kata murid “berprestasi”. Belum lagi kecenderungan yang dapat dicurigai sebagai “industrialisasi pendidikan” – pendidikan hanya buat mereka yang punya duit, dan tujuannya pun buat cari duit (kerja).

    Apabila perspektif tersebut dipergunakan, maka institusi keagamaan seyogyanya tidak hanya menjadi corong dan pengerah massa dalam pro kontra RUU Pornografi. Yang lebih penting bagi seluruh institusi keagamaan dan institusi pendidikan adalah melakukan otokritik. Reformasi terhadap institusi keagamaan dan institusi pendidikan adalah sebuah keharusan. Bahkan mungkin saat ini kita perlu revolusi pendidikan.

    KEHANCURAN KELUARGA DAN SOSIAL BUDAYA

    Munculnya RUU Pornografi jelas menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya sudah rusak berantakan. Etika sosial sudah tidak jelas. Kontrol sosial sudah tidak berjalan. Kepedulian sosial sudah terdegradasi. Dengan demikian masyarakat harus dipaksa oleh undang-undang.

    Gotong royong dan kebersamaan yang menjadi identitas bangsa sudah meluncur ke titik nadir. Warga negara sudah bergerak menuju manusia yang individualistik. Private domain sudah seakan diyakini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak beririsan dengan publik domain. Gue ya gue. Elu ya elu. Hancurlah manusia sebagai makhluk sosial.

    Individualistik ini menghancurkan keluarga dan rumah tangga. Keutuhan rumah tangga adalah karena kepedulian dan kesanggupan untuk berbagi, saling berempati, simpati dan partisipasi. Tata nilai “gue ya gue elu ya elu” telah menghancurkan arti penting kebersamaan. Anak tidak peduli pada orangtuanya. Orangtua melupakan anaknya. Institusi keluarga sudah tidak ada harganya. Orang tua sudah tidak ada wibawanya. Keluarga tidak dapat menjadi institusi pembinaan dan pengawasan. Perceraian menjadi lumrah bukan aib.

    Ketika memilih pasangan hidup, anak berkata, “Gue yang mau kawin bukan bokap”. Ketika mau sekolah, “Gue yang mau sekolah bukan nyokap”. Orang tua pun berkata, “Kamu yang menjalani, terserah kamu saja”. Di mana kepedulian dan kebersamaan sebuah keluarga ditempatkan pada ungkapan tersebut ? Keluarga hancur, berikutnya masyarakat berantakan.

    Apabila perspektif ini digunakan, maka masyarakat bukan seharusnya sibuk untuk beramai-ramai terlibat pro kontra RUU Pornografi. Masyarakat seharusnya melakukan introspeksi dan reformasi terhadap tatanan dan perilaku sosial budayanya. Ini mungkin hikmah dari bencana beruntun yang mendera bangsa. Kita harus kembali belajar untuk peduli.

    KELEMAHAN PARA AGAMAWAN DAN PARA PENDIDIK

    Kemunculan RUU Pornografi menunjukkan bahwa agamawan dan para pendidikan sudah sedemikian lemah. Agamawan dan pendidik sudah tidak punya wibawa dan kemampuan untuk mendidik dan menuntun umat. Umat sudah tidak memperdulikan mereka lagi, sehingga umat perlu dipaksa dengan undang-undang.

    Kondisi ini mungkin berawal dari dihancurkannya citra para ulama dengan slogan manis kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah. Slogan tersebut secara tidak langsung telah mereduksi posisi dan wibawa para ulama. Fatwa ulama sudah tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang harus diikuti.

    Kondisi ini mungkin semakin berat dengan turunnya kapasitas dan kapabilitas keteladanan yang ditampakkan oleh para ulama. Para ulama asyik dengan politik meninggalkan pembinaan umat. Para ulama bertengkar di antara mereka sendiri karena berbeda afiliasi politik yang dicurigai bermotifkan berbedanya kompensasi politik yang diperoleh. Saat umat lapar, para ulama asyik menggelar pertemuan makan-makan di hotel-hotel dan restaurant mewah. Saat umat harus berjalankan kaki, para ulama membeli kendaraan baru dan asyik hilir mudik dengan kendaraan mewah. Saat umat tergusur dari rumahnya, para ulama “membeli rumah” baru.

    DILECEHKANNYA AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

    Munculnya Rancangan Undang-undang Pornografi adalah bukti telah dilecehkannya Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini dapat dipahami dari dua sisi yang berbeda. Pertama dari sisi kewibawaan Al-Quran dan As-Sunnah. Kedua dari sisi pengamalan dan pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah.

    Dari sisi wibawa, munculnya RUU pornografi seakan melecehkan wibawa Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran dan As-Sunnah dipandang tidak cukup berwibawa untuk membangun moral dan etika. Umat dipandang akan lebih menurut apabila dipaksa oleh Undang-undang daripada dididik oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Undang-undang seakan-akan dipandang lebih berwibawa daripada Al-Quran dan As-Sunnah. Undang-undang lebih berefek dan lebih ditaati daripada Al-Quran dan As-Sunnah.

    Dari sisi pengamalan dan pemahaman, munculnya RUU Pornografi menunjukkan bahwa umat sudah tidak memahami dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan, mungkin mereka sudah menyingkirkan keharusan memahami dan mengamalkannya Al-Quran dan As-Sunnah dalam kehidupannya. Ukuran pendidikan adalah kemampuan bekerja dan mendapatkan uang, bukan pemahaman dan pengamalan Al-Quran dan As-Sunnah. Uang ditempatkan lebih tinggi dari pada memahami dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah.

    Bila kedua sisi ini benar, maka umat memerlukan pembaharuan keimanan. Yang sangat mendesak bagi umat adalah perubahan pardigam berpikir, dari materialistik kepada spiritualistik. Perubahan dari ukuran uang kepada ukuran iman.

    Akhirnya, semua latarbelakang munculnya Rancangan Undang-undang Pornografi adalah bukti kegagalan pembangunan bangsa Indonesia. Semua itu adalah bukti gagalnya para pemimpin bangsa. Pemerintah telah gagal. Agamawan dan budayawan pun telah gagal.


    Selengkapnya...

    MENDUDUKAN PRO KONTRA RUU PORNOGRAFI

    Bahwa di masyarakat telah terjadi pro dan kontra terhadap rancangan undang-undang pornografi. Pro kontra meluas dan dapat menjadi pertentangan horizontal antar warga masyarakat bangsa Indonesia. Banyak penjelasan lebih bersifat provokatif, menjelekkan pihak yang lain. Penjelasan bernada menuding pihak yang lain sebagai pelaku kemaksiatan atau penolak hukum Tuhan.

    Hal tersebut jelas telah melenceng terlalu jauh dari masalah sebenarnya. Hal itu terjadi karena mereka sebetulnya tidak memahami apa perbedaan sebenarnya dari masing-masing pihak.

    Masalah perbedaan yang sebenarnya adalah pada cara pemberantasan pornografi dan pornoaksi, bukan pada setuju dan tidaknya ada pornografi dan pornoaksi – bukan pada upaya-upaya untuk menegakkan atau melawan hukum Tuhan.

    Sebagai upaya untuk lebih paham, mari kita perhatikan dua pandang tersebut tanpa berpihak :

    TITIK SEPAKAT

    Pihak pro RUU dan kontra RUU sepakat bahwa pornografi harus diberantas.

    TITIK BERBEDA

    Pihak pro RUU : Setuju bahwa pemberantasan dilakukan dengan membuat Undang-undang sehingga dapat terjadi tindak paksa melalui prosedur hokum. Dengan demikian moral masyarakat dapat diperbaiki.

    Pihak kontra RUU : tidak setuju melalui undang-undang,,tapi selesaikan melalui dakwah dan pendidikan. Pornografi dan pornoaksi menyentuh masalah moral pribadi yang sesuai dengan ilmu, ideologi dan budaya masing-masing.

    ALASAN PERBEDAAN

    Pihak pro RUU : dengan undang-undang dapat ditegakkan syari’at islam. Warga yang melakukan pornografi dan pornoaksi dapat dihukum.Pemberantasan pornografi dan pornoaksi mempunyai kekuatan hukum. Moral masyarakat dapat diperbaiki.

    Pihak kontra RUU : undang-undang selayaknya lebih mengurusi hal-hal yang berada di ruang publik (hubungan sosial masyarakat umum), bukan hal-hal di ruang privat (pribadi).

    Dikhawatirkan undang-undang menyentuh ruang privat yang berupa kepercayaan, keyakinan dan agama warga negara sehingga terjadi monopoli kebenaran oleh negara, perbedaan pendapat menjadi dosa dan tindakan melanggar hukum. Dikhawatirkan terjadi sebagaimana masa lalu - ketika masa khilafah daulah Abbasiyyah dan Umayyah.

    Pada masa itu, ketika kholifah (presiden / pemerintah) mendukung mazhab mu’tazilah maka mazhab yang lain ditangkapi dan dihukum. Ketika kholifah berganti dan berganti mazhab yang didukungnya, maka giliran mu’tazilah yang ditangkapi dan dihukum.

    Selain Itu, merupakan sebuah kenyataan bahwa perbedaan budaya, keyakinana, agama dan mazhab terjadi di Indonesia.

    Adapun masalah kekuatan hukum untuk pemberantasan pornografi dan pornoaksi cukup dengan mengunakan pasal-pasal mengenai pelanggaran kesusilaan yang telah ada dalam perundang-undangan Indonesia (KUHP) tidak perlu undang-undang baru secara khusus.

    Dalam fiqh Islam tidak ada hukum hadd (sangsi pelanggaran dan kejahatan) untuk pelanggaran aurat. Yang ada diperkenankan dilakukan ta’zir (sangsi untuk pendidikan) .

    Untuk perda-perda yang berkaitan dengan pelacuran pun, perlu difikirkan ulang, karena fiqih Islam hanya memperkenan hukuman terhadap pelacuran apabila telah dibuktikan dengan empat orang saksi yang melihat langsung terjadinya persetubuhan / perzinahan. Sedangkan perda-perda yang dibuat, seperti di Tangerang cenderung dapat dikenakan hukuman pelacuran tanpa empat saksi dan cukup didasarkan pada kecurigaan.

    Dalam fiqh Islam dinyatakan bahwa mereka yang menuduh pelacur (penzina) tanpa bukti empat saksi, maka si penuduh yang mendapatkan hadd qozaf (sangsi karena melakukan kejahatan pemfitnahan)

    KELEMAHAN KEDUA PIHAK
    Pihak pro RUU : pelaksanaan undang-undang menjadi sulit, karena masyarakat Indonesia yang pluralis (berbeda-beda).Undang-undang harus membuat banyak kekecualian, seperti untuk masyarakat papua yang berbudaya koteka dan masyarakat yang mck-nya di satu desa masih satu (mck umum) dan terbuka, seperti di sungai.

    Undang-undang perlu membuat kekecualian terhadap daerah tertentu, seperti bali yang masyarakatnya secara umum berbeda pandangan. Kondisi tersebut membuat undang-undang tidak berwibawa terhadap seluruh warga negara. Negara seakan-akan tidak berdaulat di wilayah tertentu.

    Kesulitan ditambah pula dengan kondisi nyata bahwa undang-undang yang ada pun telah nyata sulit ditegakkkan, di mana-mana terjadi pelanggaran undang-undang, di mana-mana terjadi pelanggaran hukum.

    Undang-undang yang ada telah nyata sulit penerapannya dalam masyarakat karena lemahnya aparatur penegak hukum. Dengan undang-undang baru dan kondisi aparat yang sama, tetap sulit undang-undang itu diterapkan. Jadi masalahnya adalah aparat penegak hukum, bukan undang-undang

    Pihak kontra RUU : undang-undang yang ada belum secara detil mengatur, sehingga setiap perkara pornografi dan pornoaksi menjadi permasalahan hukum yang sedemikan lentur untuk ditafsirkan sesuai kehendak penafsirnya. Kekuatan hukum untuk pemberantasan pornografi dan pornoaksi yang ada saat ini masih lemah.

    Cukuplah kiranya untuk mendudukkan masalah sehingga, semua pihak dapat melihat secara jernih. Dengan demikian dapat dipahami posisi dan argument kedua belah pihak. Insya Allah tidak ada satu pihak pun yang setuju pornografi. Tidak ada satu pihak pun yang bermaksud menentang hukum Tuhan. Mereka hanya berbeda dalam melaksanakannya dalam tataran teknis, karena sudut pandang yang berbeda.


    Selengkapnya...