Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Rabu, 18 Februari 2009

VALENTINE DAY ????

Valentine day adalah fenomena yang masih terus marak berkembang di berbagai belahan dunia. Umat Islam - terutama remajanya – semakin banyak yang terlibat dalam momentum tersebut.

Berkaitan hal ini, muncul dua komunitas muslim. Komunitas pertama adalah yang ikut serta dengan beraneka variasi pendapat dan aktifitasnya. Kedua adalah mereka yang tidak ikut serta bervalentine dan memegang hukum haram dan bid’ah bagi valentine days itu.

Komunitas yang memegang hukum haram dan bid’ah mayoritas mengetengahkan alasan bahwa valentine days adalah budaya (kebudayaan) non muslim. Dalil yang diketengahkan adalah hadits Rasul : "Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah saw., bersabda 'Barang siapa yang menyerupai (bertasyabbuh) suatu kaum, maka ia termasuk di kalangan mereka'." (H.R. Abu Daud dan disahihkan Ibnu Hibban).

Bila itu alasan (illat hukum) – budaya (kebudayaan) non muslim - dan dibangun dengan dalil keserupaan membuat kita termasuk mereka yang diserupai, maka umat Islam akan berhadapan dengan masalah luar biasa.

Apa masalahnya ??

Menurut para budayawan, kebudayaan sebagai produk manusia mencakup tujuh aspek.
  • Ilmu pengetahuan dan tekhnologi
  • Politik
  • Ekonomi
  • Sosial
  • Bahasa
  • Seni

Alasan hukum haram valentine karena merupakan budaya (kebudayaan) non muslim akan berefek pada haramnya semua produk budaya (kebudayaan) non muslim pada semua aspek. Kita ambil beberapa contoh :
  1. Olimpiade haram, karena pesta olahraga dunia ini awalnya adalah ritual pemujaan para dewa/dewi di Bukit Olympus-Yunani.
  2. Sepak bola haram, karena asalnya adalah ritual pemujaan bulan serta Yin-Yang di Cina (dicatat oleh Li You sekitar 55-135 Masehi). Selain itu sepak bola juga sudah dikenal suku Indian Astek di Amerika Latin beberapa abad lalu sebagai ritual kepada dewa untu menolak bala.
  3. Teori Evolusi haram, karena teori ini berpendapat manusia tidak berasal dari Adam-Hawa yg diciptakan Tuhan.
  4. Teori Fisika Kuantum haram, karena teori ini berpendapat bahwa alam semesta ini tidak diatur oleh kehendak Tuhan, melainkan oleh hukum probabilitas yg ditemukan oleh Blaise Pascal dari permainan judi dadu.
  5. Ilmu Statistik haram, karena dasar ilmu ini adalah permainan judi dadu seperti yang ditemukan oleh Blaise Pascal.
  6. Pergi ke Candi Borobudur (dan semua candi lain) haram, karena candi ini tempat ritual agama Buddha/Hindu, maka umat muslim diharamkan pergi ke sana.
  7. Tugu Monumen Nasional (Monas) haram, karena arsitekturnya merupakan simbol lingga (penis) dalam tradisi spiritual tantra, maka umat Islam haramkan wisata atau berkunjung ke Monas.
  8. Gedung DPR/MPR haram, karena arsitektur gedung ini menyerupai yoni (vagina) yang merupakan simbol dari spiritual Tantra, maka anggota DPR RI yang muslim haram hukumnya berkantor di sana.
  9. Bilangan nol haram, karena bilangan nol diusulkan oleh para brahmana Hindu (Brahmagupta dan Mahavira) pada abad ke-7 berdasarkan konsep Sunyata/Brahman-Atman.
  10. Menara Masjid haram, karena menara itu berasal dari kata manarah. Menarah adalah tempat untuk Api yang disembah kaum Majusi/Zoroaster.
  11. Kata Surga haram, baik dalam terjemahan Al-Quran atau bukan, karena kata Surga itu berasal dari bahasa Sansekerta dalam tradisi spiritual Hindu, yaitu: "Svarga".
  12. Ungkapan "Bhineka Tunggal Ika" yang terdapat pada lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia: Garuda-Pancasila haram, karena ungkapan tersebut berasal dari kitab "Kakawin Sutasoma" karya Mpu Tantular yang bertolak dari tradisi spiritual Hindu dan Buddha di Nusantara.
  13. Berbahasa Inggris haram, karena itu kebudayaan orang Inggris yang pada masa lalu merupakan pilar utama nasrani.
  14. Komputer, mobil, pesawat terbang, internet dan lainnya haram, karena itu produk tekhnologi yang ditemukan non muslim.
  15. Rumus phytagoras haram, karena itu produk pemikir dan ilmuwan Yunani.
  16. Huruf latin dan aneka huruf yang lain haram, karena berasal dari berbagai bangsa yang asalnya bukan muslim.
  17. dan masih banyak lagi produk kebudayaan

Bagaimana ini ??? Wah wah wah !!!

Akhirnya, saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini bukan untuk mendukung mereka yang memperkenankan valentine day dan menggugat mereka yang mengharamkan. Tulisan ini saya maksudkan sebagai pintu untuk merenung, bertafakkur dan introspeksi diri.Nampaknya hari ini umat Islam harus membangun pemahaman agamanya lebih mendalam. Umat Islam harus menjelajahi dalil agamanya lebih luas. Dengan pemahaman yang lebih komprehensif, keyakinan dan sikap akan berdasarkan dalil (hujjah / argumen) yang kuat dan dapat dipertanggungjawabakan. Umat Islam tidak terjebak bersikeras dengan argumen yang mudah dipatahkan dan dipermasalahkan.

Allahu a’lam



Selengkapnya...

TRADISI MENULIS DI PESANTREN

(tulisan ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat tanggal 4 Februari 2009)


Tradisi menulis umat Islam

Tulis menulis adalah tradisi umat Islam yang terus berkembang dari sejak masa generasi awal (salafus shalih). Aneka ragam karya tulis menjadi bagian dari khazanah umat Islam di berbagai negeri. Dalam berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan, umat Islam memiliki karya tulis.

Tradisi ini, menjadi bagian dari tradisi pesantren di Indonesia sebagai benteng dan gerbang ilmiyyah Islam. Berbagai karya tulis dari yang klasik sampai modern menjadi kajian di pesantren. Dari karya tulis yang ringan sampai yang menjelimet merupakan makanan keseharian para santri dan ajengan.

Materi kurikulum di pesantren tidak sekedar mempelajari fiqh, tauhid dan tashawwuf. Ilmu bahasa merupakan salah satu kajian utama para santri. Dari mulai sejarah bahasa, tata bahasa, filsafat bahasa sampai sastra bisa dikatakan materi yang wajib dikuasai para santri sebelum dapat dipandang sebagai ajengan.

Sistem kajian asli pesantren adalah sistem bedah kitab. Seorang ajengan akan membahas sebuah kitab dengan memperhatikan betul kebahasaan dan tingkat sastra kitab tersebut. Setiap kata akan dimaknakan. Mengapa kata itu dipergunakan ? Mengapa kalimatnya seperti itu ? Apa konsekuensi kata dan kalimat itu ?

Selain kitab aslinya yang dinamakan matan, dikaji pula kitab syarh dan hasyiyyah. Syarh adalah penjelasan dari kitab matan yang ditulis seakan menjadi kesatuan kitab baru.. Hasyiyyah adalah penjelasan terhadap matan dan atau syarah yang ditulis dengan format komentar terhadap hal-hal tertentu dari kitab syarh atau matan.

Santri mengenal kitab taqrib dalam fiqih. Kitab ini dijelaskan menjadi kitab syarh berjudul fathul qarib. Fathul qarib dikenal memiliki banyak hasyiyyah, di antaranya Al-Bajuri.

Selain tradisi matan, syarah dan hasyiyyah, berkembang pula tradisi narasi dan syair. Banyak kitab matan yang berbentuk sya’ir, dibuatkan syarahnya berbentuk narasi. Banyak pula kitab narasi yang dibuatkan kitab baru berbentuk sya’ir.

Al-Ajurumiyyah adalah matan narasi untuk kajian tata bahasa ‘Arab yang menjadi kajian utama santri pemula. Lepas Al-Ajurumiyyah, santri mengenal kitab ‘Imritihi. Imrithi adalah bentuyk nazhm (nadoman ; sunda) atau syair dari Al-Ajurumiyyah.

Dalam fiqh, santri menganel pula syair dan matan tersebut. Safinah sebagai matan dalam ilmu fiqh yang dikaji santri pemula disyarahi menjadi kitab Kasyifatus saja. Selain itu, dinazhmkan pula menjadi kitab Inaratud Duja.

Tradisi ini tidak hanya sekedar menjadi kajian, namun berkembang pula menjadi karya-karya baru para ajengan dan santri santri Indonesia. Bila kita menengok madrasah-madrasah diniyyah di pedesaan kita akan menjumpai para murid madrasah diniyyah mendapatkan pelajaran berbentuk nadoman (syair) dalam bahasa daerahnya. Orang sunda dengan nadom sunda. Orang Jawa dengan nadom Jawa.Nadoman-nadoman tersebut adalah karya para ajengan dan santri Indonesia.

Nadoman dan karya tulis tersebut, tidak lepas dari nilai-nilai sastrawi. Bisa kita temukan bagaimana para ajengan itu membuat syair-syair yang murwakanti (bersajak). Bahkan dapat dibermati dalam berbagai moment tabligh, ceramah dan taushiyyah, tradisi murwakanti menjadi bagian dari model dan gaya penyampaian para ajengan.

Latar belakang nilai karya tulis pesantren

Karya para santri dan ajengan ini berkembang dari nilai-nilai spiritual. Rasa, rumasa dan raksa adalah tiga hal utama yang dipergunakan. Simak bagaimana kisah masyhur tentang Syaikh Ibnu Malik ketika menyusun kitab Nazhm Al-Fiyyah. Saat beliau sampai pada syair yang mengungkapkan kelebihan karyanya dari karya Syaikh Ibnu Mu’thi, beliau terhenti dan kehilangan inspirasi. Inspirasi itu kembali setelah beliau bertemu dalam mimpi dengan syaikh Ibnu Mu’thi, kemudian beliau menuliskan syair yang menunjukkan bahwa walaupun yang beliau susun lebih baik, namun yang lebih berhak mendapatkan pujian adalah Syaikh Ibnu Mu’thi karena posisinya sebagai pendahulu. Nilai kesombongan dan tawadhu’ yang menjadi inti dari kisah itu.

Nilai-nilai spiritual itu kadang kala menjadi sesuatu yang kontroversial ketika memasuki wilayah tashawwuf falsafi atau tashawwuf cinta. Ungkapan sastrawi romantisme cinta Tuhan, kadang membawa simbol-simbol yang secara lahiriyyah seakan bertentangan dengan akal dan iman.

Umat Islam terbagi menjadi dua kelompok besar dalam menyikapinya. Kelompok pertama memandang ungkapan-ungkapan kontroversial itu sebagai kesesatan. Islam tidak memperkenankan ungkapan-ungkapan tersebut. Para penulis dan penyairnya dikatakan telah sesat, bahkan sampai dikatakan murtad.

Kelompok kedua memandang ungkapan-ungkapan kontroversial itu wajar saja sebagai bagian dari sastra yang berasal dari rasa romantisme. Sebuah ungkapan sastra romantis tidak bisa dipahami secara redaksional leterlek. Ungkapan-ungkapan seperti itu perlu penelaahan mendalam terhadap makna-makna sebenarnya yang bersembunyi dibalik kata-kata.

Kelompok kedua, di antaranya menunjukkan contoh bagaimana dua sejoli yang sedang dilanda cinta mengatakan “engkau dan aku adalah satu”. Tidak logis, karena engkau dan aku adalah dua bukan satu. Namun, romantisme tidak melihat logika matematika itu. Ramantisme merujuk pada rasa dan rumasa yang melatarbelakangi ungkapan itu. Cinta membuat orang merasakan kebersamaan dan kesatuan.

Metamorfosa karya tulis anak pesantren

Karya santri dan ajengan berkembang dan mengalami pasang dan surut. Sebuah gaya penulisan yang berkembang dan trend di satu kurun berubah pada kurun yang lain. Thema yang menjadi trend berubah pula pada setiap kurun.

Pada masa lalu, nadoman adalah karya favorit santri dan ajengan. Nadoman ini berkembang luas dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Nadoman-nadoman menjadi bahan ajar di madrasah. Nadoman-nadoman menjadi pembuka pengajian. Nadoman-nadoman menjadi buah tutur dan lagu rakyat.

Seiring perjalanan waktu nadoman surut dan digantikan puisi. Trend nadoman berganti dengan trend menulis puisi. Muncullah para penyair berlatar belakang pesantren.

Trend puisi berkembang disertai dengan penulisan lagu. Anak pesantren merambah dunia tarik suara. Anak pesantren membuat grup qashidah. Anak pesantren membuat grup nasyid. Bahkan anak pesantren membuat grup band.

Trend puisi bergeser kepada trend menulis novel. Muncullah ayat-ayat cinta, ketika cinta bertasbih, trilogi ma’rifat cinta dan lai8n sebagainya.

Trend ini sedang bergerak lagi menjadi trend penulisan skenario. Trend ini berawal dari kesadaran anak pesantren untuk berdakwah memanfaatkan dunia entertainment. Trend ini mulai menemukan energi maju dimulai dengan sinetron bernuansa religi setiap ramadhan. Momentum menuju trend dimulai dengan suksesnya film ayat-ayat cinta.

Metamorfosa akan terus terjadi. Trend penulisan akan selalu berubah. Mungkin akan kembali pula ke trend masa lalu. Nadoman suatu saat akan kembali menemukan kejayaannya.

Penutup

Prinsip bagi dunia menulis pesantren sebenarnya bukanlah bentuknya. Prinsip penulisan di dunia pesantren adalah nilai-nilai spiritual yang melatarbelakanginya.

Nilai-nilai spiritual itulah yang harus dijaga agar tetap menjadi dasar danmotivasi setiap karya. Upaya mengalihkan kepada nilai-nilai materialistik harus dicegah.

Santri dan ajengan memang membutuhkan alat duniawi untuk hidupnya dengan wajar. Namun, alat duniawi jangan berubah menjadi nilai prinsip yang melatarbelakangi karya yang dilakukan.

Tetaplah dengan mahabbatullah (cinta Allah). Bertahanlah dari godaan hubbudunya (cinta dunia).


Selengkapnya...

GOLPUT HALAL, GOLPUT HARAM

(tulisan ini pernah dimuat diHarianPikiran Rakyat tgl 3 Februari 2009)

Fenomena golput terus meningkat dalam setiap pilkada. Kondisi ini tampaknya mulai mengkhawatirkan banyak pihak, terutama para elite politik. Tingginya angka golput melemahkan legitimasi kekuasaan yang diperoleh para elite kukuasaan politik.

Fenomena ini membawa sebagaian elit politik menarik sisi agama untuk berbicara tentang golput.

Bagaimana sebenarnya golput itu ?

KONSTITUSI

Dalam Konstitusi Indonesia, memilih dan dipilih adalah hak bukan kewajiban. Hal ini berbeda dengan konstitusi Amerika yang menempatkan memilih sebagai hak dan kewajiban. Bila memilih dan dipilih adalah kewajiban, maka siapa yang tidak melaksanakannya melanggar kewajiban. Para pelanggar kewajiban mendapatkan sangsi hukum. Bila memilih dan dipilih adalah hak, siapa pun bebas untuk mempergunakan ataupun melepaskan haknya tersebut.

Dalam konstitusi Indonesia, memilih adalah hak. Warga negara Indonesia dijamin oleh konstitusi kebebasannya untuk mempergunakan ataupun melepaskan hak memilih itu. Bila orang memilih golput artinya ia melepaskan haknya tersebut. Melepaskan hak bukanlah sebuah kejahatan. Siapa pun yang golput dilindungi keberadaannya oleh konstitusi Indonesia.

Yang sebenarnya bermasalah adalah undang-undang dan aturan pemilu yang memberikan batasan untuk orang yang berhak maju dalam pemilihan. Sebagai contoh, aturan bahwa pendidikan formalnya minimal SLTA, harus dari partai, maupun harus didukung oleh minimal 25 % suara. Aturan itu membelenggu dan merampas hak setiap individu warga negara untuk dipilih. Bila mengacu kepada status hak dipilih pada konstitusi, selayaknya mahkamah konstitusi harus membatalkan undang-undang atau pasal di undang-undang atau aturan yang melanggar konstitusi tersebut.

SYARI’AH

Memilih dan dipilih dalam masalah ini berkaitan dengan kepemimpinan. Islam mengharuskan umatnya untuk mengangkat pemimpin. Pengangkatan pemimpin adalah kewajiban (fardhu) menurut syari’ah. Dengan demikian, bila umat Islam tidak mengangkat pemimpin artinya mereka telah melanggar syari’ah.

Namun, mengangkat pemimpin adalah fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Mengangkat pemimpin adalah kewajiban yang dikenakan kepada seluruh anggota komunitas masyarakat, namun cukup dilakukan oleh sebagiannya saja.

Mengapa fardhu kifayah ? Apa dasarnya ?

Mari kita perhatikan sejarah khulafaur rasyidin. Setelah Rasulullah s.a.w. wafat, umat Islam mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. di Saqifah Bani Sa’idah. Proses tersebut dilakukan melalui musyawarah yang diikuti oleh sebagian kaum muslimin. Hasil musyawarah kemudian disepakati kaum muslimin yang lain dengan melaksanakan bai’at kepada Abu Bakar As-Shiddiq s.a. sebagai khalifah.

Pengangkatan ‘Umar bin Khaththab r.a. sebagai khalifah dilakukan melalui wasiat dari Abu Bakar As-Shiddiq r.a. Wasiat itu kemudian dilanjutkan dengan bai’at dari kaum muslimin.

Pengangkatan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. dilakukan melalui formatur yang ditetapkan khalifah ‘Umar bin Khththab r.a. Setelah itu dilanjutkan dengan bai’at oleh kaum muslimin.

Pengangkatan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib r.a. dilakukan atas permintaan masyarakat kepada beliau. Permintaan itu terkait dengan adanya kisruh politik sampai terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Umat Islam mengalami kekosongan kepemimpinan. Kekosongan itu ditindaklanjuti kaum muslimin dengan meminta ‘Ali bin Abi Thalib r.a. bersedia dibai’at sebagai khalifah.

Sejarah itu cukup menunjukkan bahwa memilih atau mengangkat pemimpin adalah fardhu kifayah. Dengan demikian, tidak memilih atau golput yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia tidak menjadi dosa selama ada anggota masyarakat yang lain yang melaksanakan kewajiban memilih.

Namun, agama akan memberikan penilaian terhadap motivasi atau niat golput. Bila motivasi golput itu karena rasa tidak peduli kepada nasib bangsa dan negara, sama artinya dengan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab dinilai sebagai orang tercela menurut syari’ah. Bila motivasi golput itu adalah amar ma’ruf nahyi munkar (sebagai peringatan terhadap elit politik atas perilakunya yang tercela), orang tersebut adalah pejuang dan pemberi nasehat. Para pejuang dan pemberi nasehat dinilai sebagai orang terpuji menurut syari’ah.

Sebaliknya, perlu pula diperhatikan motivasi mereka yang memilih. Bila motivasi memilih adalah tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, mereka adalah para pejuang. Pejuang adalah mereka yang dinilai terpuji menurut syari’ah. Bila motivasi memilih adalah kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompoknya, mereka dinilai sebagai orang egois. Egisme dinilai sebagai sifat tercela menurut syari’ah. Bahkan, egoisme ini dikategorikan ‘ashabiyyah. Rasulullah s.a.w. menyampaikan bahwa bukan termasuk umatku mereka yang berjuang dan bertindak atas nama ‘ashabiyyah (kepentingan pribadi atau kelompok dan golongannya saja).

Urusan golput tidak lepas dari urusan politik. Semakin tinggi golput semakin rendah legitimasi elite politik pemegang kekuasaan hasil pemilihan. Dengan demikian, menurunkan tingkat golput adalah kepentingan politik. Bila dikaitkan dengan permintaan fatwa haram atas golput, hal ini sebenarnya merupakan politisasi agama, membuat agama sebagai alat politik.

Secara teoritis dan realitas yang ada, golput menjamur dan lebih cepat berkembang di masyarakat perkotaan. Dengan demikian, permintaan untuk keluarnya fatwa haram patut dicurigai sebagai politisasi agama. Fatwa itu menjadi alat untuk menekan masyarakat dengan ditakuti-takuti oleh surga dan neraka. Pada akhirnya fatwa itu patut dicurigai akan dipergunakan sebagai alat kampanye.

Selain itu, permintaan fatwa itu menunjukkan elite politik sedang lari dan mengalihkan diri dari masalah sebenarnya. Golput sebenarnya merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap elite politik. Dengan demikian, masalah sebenarnya bukan halal dan haram, namun perilaku elit politik.

Bila golput disikapi elit politik dengan meminta fatwa haram, elit politik sedang berusaha menutupi masalah sebenarnya. Mereka tidak mau menyadari dan tidak mengakui kesalahannya yang membuat masyarakat kesal dan tidak mempercayai mereka lagi. Permintaan fatwa itu pun menunjukkan bahwa elit politik masih mempunyai paradigma kekuasaan.

Dari sisi perilaku, tindakan ini menunjukkan elite politik tidak bersedia untuk introspeksi diri. Elite politik tidak mau memperbaiki diri. Dalam kampanye menuju pemilu 9 April 2009 pun tampak, kekecewaan masyarakat adalah pada perilaku mereka. Namun, mayoritas kampanye bukan menunjukkan kualitas ilmu, amal dan akhlaq. Mayoritas kampanye dilakukan dengan pendekatan ekonomi. Masyarakat diiming-imingi dengan pemberian sesuatu. Suara masyarakat dibeli dengan bakti sosial, pengobatan gratis, khitanan massal, bola voli dan lain sebagainya. Para tokoh diiming-imingi bantuan untuk pribadinya dan atau lembaga serta organisasinya Secara maknawi, menurut saya, tindakan mengiming-imingi itu termasuk money politics. Secara syari’ah, tindakan tersebut merupakan suap dan haram.

Hasil bahtsul masail Nahdlatul ‘Ulama menunjukkan bahwa suap tidak hanya haram memberi dan menerimanya saja. Suap pun mengakibatkan jabatan atau pekerjaan yang diperoleh serta gaji yang diperoleh dari jabatan itu haram pula.

Mari kita mencoba memahami secara jernih dan lebih menyeluruh. Semoga menjadi manfaat untukperbaikan bangsa dan negara kita ke depan.Amiin.

Waalhu a'lam bissowab


Selengkapnya...

MENAKAR FATWA HARAM ROKOK

MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa rokok diharamkan untuk empat kategori. Pertama untuk anak-anak. Kedua untuk remaja. Ketiga untuk wanita (ibu hamil). Keempat untuk pengurus MUI.

Kita lepaskan dulu dari perbedaan pendapat tentang haram dan makruhnya rokok. Mari kita menakar fatwa haram rokok untuk empat kategori tersebut. Apa landasan syari’ahnya ?

Secara mendasar dan diakui bersama bahwa ketentuan syari’ah berimplikasi pahala dan dosa. Hal itu berarti surga dan neraka. Fatwa haram rokok menempatkan para peroko sebagai pendosa dan calon penghuni neraka.

Ketentuan syari’ah - dalam arti pahala dan dosa - disepakati dikenakan untuk mereka yang mukallaf. Mukallaf adalah mereka yang baligh dan berakal sehat. Selain mereka yang baligh dan berakal sehat tidak dikenai hukum dosa. Rasulullah Muhammad s.a.w. menyampaikan bahwa tidak dicatatkan amal (tidak dikenai dosa) dari tiga kelompok, pertama anak-anak sampai ia baligh, kedua orang tidur sampai ia bangun dan ketiga orang gila sampai ia waras.

Ketentuan mendasar itu sudah dengan jelas membantah fatwa MUI tentang haram rokok untuk anak-anak. Anak-anak tidak termasuk mukallaf. Anak-anak tidak dikenai sangsi dosa.

Bila dikaitkan dengan pendidikan anak dan hifzun nasl (menjaga kelangsungan generasi penerus), maka seharusnya yang dikenai fatwa adalah orang tua dan para pendidiknya. Larangan merokok buat anak-anak seharusnya difatwakan dengan wajib bagi orang tua dan pendidikan untuk melarang anak-anak merokok. Perhatikan fatwa tentang shalat ! Tidak ada fatwa haram anak-anak meninggalkan shalat. Fatwa yang ada adalah orang tua dan pendidik harus mengajari anak dan menyuruhnya shalat saat ia berusia tujuh tahun dan menghukumnya bila meninggalkan shalat setelah ia berusia sepuluh tahun.

Fatwa haram untuk remaja sangat tidak berdasar. Siapa yang dikatakan remaja ? Dalam syari’ah tidak ada pemilahan anak-anak, remaja dan dewasa. Pemilahan hanya anak-anak dan baligh.

Bila dikatakan remaja itu anak usia SMP dan SMA, maka kita kan menemukan dua kategori. Anak SMP mungkin ada sudah baligh ada yang belum. Anak SMA sudah baligh seluruhnya. Untuk yang belum baligh dikenai fatwa anak-anak. Untuk yang sudah baligh dikenai fatwa mukallaf. Mukallaf tidak dibedakan karena usia. Satu fatwa bagi mukallaf berlaku untuk semua usia.

Fatwa haram untuk pengurus MUI lebih tidak berdasar lagi. Apa yang membedakan status pengurus MUI dengan mukallaf yang lain di hadapan syari’ah ? Tidak ada. Ingatkah MUI bahwa ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada kerahiban ?

Bila fatwa ini diberlakukan, maka salah satu konsekuensi logia adalah para waulama yang tetap berpendapat rokok itu makruh dan mereka adalah perokok harus keluar dari kepengurusan MUI. Saya yakin, bila ini terjadi, MUI akan kosong karena ditinggalkan mayoritas pengurusnya.

Fatwa haram untuk wanita hamil menjadi fatwa paling mungkin bisa diterima. Bila hanya sekedar haram bagi perempuan, Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam status di hadapan hukum. Ada perbedaan pun prinsipnya hanya berkaitan dengan fitrah kewanitaan dan kelaki-lakiannya, seperti kehamilan dan menstruasi.

Bila haram merokok dikenakan pada perempuan dengan syarat ia hamil, maka ini memang khas perempuan. Mungkin ini memerlukan kajian yang lebih mendalam. Namun, setidaknya ada alasan syari’ah yang bisa diterima. Masalah fatwa ini bisa dikategorikan pada hifzun nasl (menjaga kelangsungan generasi penerus).

Akhirnya bila kita coba takar dengan prinsip dasar syari’ah, kita hanya menemukan tanda tanya besar pada fatwa MUI tentang haram merokok itu.

Ya Allah, kemana lagi saya harus mencari fatwa bila begini kondisinya ?

Ya Allah mungkin inilah saat para sufi ditunjukkan kebenarannya. Mereka memegang teguh nasehat Rasulullah s.a.w. “istafti qalbaka (mintalah fatwa pada hati nuranimu) !” Saat ini yang harus kita lakukan akan membersihkan dan menjernihkan hati dari kungkungan hawa nafsu sebagaimana yang dilakukan para sufi. Lalu kita meminta fatwa pada kejernihan dan kebeningan hati itu. Hanya hati yang bersihlah yang menangkap dengan jelas cahaya petunjuk ilahi.

Walllahu a’lamu bish showab.


Selengkapnya...