Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Sabtu, 27 Desember 2008

KHILAFAH, Menghancurkan atau Menguntungkan Umat ?

KHILAFAH MEMIMPIN DUNIA ?

Apaan sih itu ?

Khilafah atau kekholifahan adalah sesuatu yang mungkin samar bagi muslim Indonesia. Muslim Indonesia mungkin belum memahami secara jelas apa yang dimaksud dengan khilafah. Dengan demikian, muslim Indonesia tidak dapat bersikap secara baik dan jelas dalam menanggapi masalah khilafah. Muslim Indonesia tidak jelas mendukung atau tidak .Penulis sendiri termasuk yang masih mencari apa yang dimaksud sebenarnya.

Sejauh yang penulis temukan, khilafah adalah sebuah konsep kepemimpinan umat. Kepemimpinan umat setidaknya mempunyai tiga kemungkinan pemahaman dalam konteks penerapannya. Pertama, khilafah sebagai sebuah imperium dunia. Kedua, khilafah sebagai kepemimpinan keagamaan. Ketiga, khilafah sebagai konfederasi atau semacamnya.

Bila khilafah dipahami sebagai imperium dunia, khilafah berarti sebuah “Negara Islam” yang berdaulat di seluruh dunia. Menegakkan khilafah artinya membuat Negara. Saat ini, mengharuskan penegakkan khilafah berarti meniadakan Negara yang sudah ada dan mengupayakan pembuatan Negara baru. Dengan demikian, pada penegakkan khilafah nuansa sebagai gerakan politik lebih kental dari pada gerakan keagamaan, bahkan mungkin cenderung sebagai gerakan politik berbaju agama.

Pemahaman ini akan menempatkan muslim yang meyakininya menjadi pemberontak di Negara tempat tinggalnya. Apabila ini memang benar, maka umat muslim akan terusir dari tempat tinggalnya. Di mana pun ia berada, ia akan dipandang sebagai gerakan sparatis yang akan menghancurkan sebuah Negara yang berdaulat.

Kondisi ini akan menempatkan umat muslim seperti apa yang dialami Bani Isroil. Mereka terusir dan tidak mempunyai tempat tinggal yang jelas. Mereka menjadi pengungsi di tanah pengasingan. Tanah yang dicita-citakan adalah tanah yang ditempati orang lain. Di mana pun berada, ia akan menjadi musuh untuk yang lain.

Kemungkinan kedua adalah khilafah dipahami sebagai kepemimpinan keagamaan. Apabila dicari bandingannya, maka mungkin seperti Khilafah Ahmadiyyah Qodiani dan Tahta Suci Vatikan untuk Katholik. Mungkin senada dengan Imamah dalam pandangan syi’ah.

Dalam makna ini, kholifah sebagai pemegang tampuk khilafah adalah pemimpin agama. Wewenangnya terbatas pada hal-hal keagamaan. Kholifah tidak berwenang berkaitan dengan politik, pengadilan dan perundang-undangan dan hal lain yangberkaitan dengan tata negara.

Bila makna ini yang diterima, maka cenderung dekat atau sepaham dengan sekulerisme. Agama dan Negara adalah sesuatu yang terpisah. Otoritas Negara berbeda dengan otoritas agama.

Bila makna ini dikaitkan dengan khulafaur rosyidin, timbul kesenjangan antara makna dan kenyataan sejarah. Pada masa khulafaur rosyidin, kholifah adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin.

Selain itu, mungkin terjadi kemutlakan penafsiran terhadap agama. Kholifah sebagai pemegang otoritas keagamaan adalah pemegang kebenaran. Tafsir yang benar tentang teks suci (Al-Quran dan As-Sunnah) adalah tafsir kholifah. Yang berbeda dengan kholifah adalah kelompok yang sesat.

Kondisi pemutlakan kebenaran ini setidaknya pernah terjadi pada masa lalu. Masa kholifah Al-Ma’mun, mu’tazilah adalah benar dan yang lain sesat. Kholifah berpindah, maka pemahaman siapa yang benar pun berubah. Bayangkan, apa yang terjadi dengan perbedaan mazhab yang hari ini adalah sebuah kenyataan.

Kemungkinan makna ketiga adalah khilafah dipahami sebagai konfederasi atau sejenisnya. Dengan makna ini khilafah mungkin seperti persemakmuran Inggris (British Commonwealth of Nations). Mungkin pula seperti UNI Eropa. Mungkin pula seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Khilafah dengan makna ini dapat terjadi dengan sebuah perjanjian antara Negara yang telah ada. Namun, perjanjian tersebut hanya merupakan ikatan tidak berarti kedaulatan. Alat kelengkapan bersama hanya berhubungan dengan pemerintah tiap Negara, tidak berhubungan langsung dengan warga negaranya. Setiap perjanjian dalam ikatan konfederasi harus dituangkan dahulu dalam perundang-undangan Negara yang bersangkutan, baru berlaku untuk warga negaranya.

Ikatan dapat pula terjadi bukan karena perjanjian, tetapi karena sesuatu yang psikologis dan emosional, seperti kesejarahan, adat istiadat maupun agama. Ikatan ini pun tidak menjadikan suatu Negara kehilangan kedaulatan dan timbul Negara lain yang berdaulat.

Bila makna ini yang dipergunakan, maka cukuplah kiranya memberdayakan OKI sebagai khilafah.

Akhirnya, para pengusung penegakkan khilafah perlu menjelaskan secara gamblang apa yang mereka maksud dengan khilafah itu. Bagaimana hubungan khilafah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah mereka mengakui kedaultan Negara yang telah ada ? Ini harus secara tegas dijelaskan, sehingga umat memahami apakah penegakan khilafah itu perlu didukung ataukah tidak.

Wallohu a’lam.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

ass..
untuk mendapat penjelasan silakan update infonya di link2 berikut:

www.hizbut-tahrir.or.id
www.khilafah1924.org
www.mediaumat.com

semoga Allah memberi kemudahan dalam pencariannya..
wassalam.