Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Jumat, 08 Januari 2010

PULRALISME YES PLURALISME NO

Dalam sambutan saat pemakaman K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur), presiden RI - Susilo Bambang Yudoyono - menyampaikan penghargaan dengat menyebut Gus Dur sebagai bapak pluralisme dan bapak multikulturalisme.

Penghargaan tersebut diterima dengan suka cita dan pengakuan yang sama oleh banyak orang dari berbagai kalangan agama, budaya dan etnik bahkan negara. Bamun, bagi sebagian kalangan, pemberian gelar tersebut menjadi masalah. Titik masalah berkaitan dengan fatwa haram dan sesatnya pluralisme menurut MUI.

Fatwa MUI tersebut menjadi titik masalah lebih lanjut dengan diajukannya Gus Dur sebagai Pahlawan nasional. Bagaimana mungkin seorang pahlawan menganut aliran sesat ?

Mari kita kaji.

Dalam masalah pluralisme, bila kita melakukan kajian yang terbuka akan ditemukan berbagai makna yang berbeda. Di antara makna-makna tersebut adalah :

MAKAN MENURUT MUI :
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga

MAKNA YANG MENJADI KONVENSI :
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk

MAKNA MENURUT KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA (PUSAT BAHASA) :
Pularisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politik)

MAKNA MENURUT THE CONTEMPORARY ENGLISH - INDONESIA (PETER SALIM) :
Plurasisme adalah sifat, keadaan jamak (sosioligi) keadaan di mana kelompok yang besar dan kecil dapat mempertahankan identitasnya di dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan ; teori filsafat yang mengatakan bahwa kenyataan terdiri dari dua unsur atau lebih

MAKNA MENURUT WEBSTER'S THIRD NEW INTERNATIONAL DICTIONARY (MERIAM - WEBSTER INC., SPRINGFIELD, MASSACHUCETTS, USA):
Pluraslisme adalah the quality or state of being plural (ethical pluralism, which speculated on the variety of political systems that became possible once the moral value of group life was acknowledged)

Dengan demikian, ketika ada orang yang berbicara tentang pluralisme, maka kita harus melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Makna yang mana yang dimaksud ? Kita tidak dapat secara langsung mengatakan bahwa pluralisme yang dimaksud adalah yang diharamkan dan dipandang sesat oleh MUI.

Cara tabayyun ini tidak hanya berlaku untuk masalah Gus Dur, namun harus juga dilakukan pada setiap orang yang mengikuti, mengatakan, menyebarkan dan mengajarkan pluralisme. Kita tidak bisa langsung memvonis mereka sesat sebagaimana fatwa MUI. Mungkin saja mereka menggunakan kata pluralisme untuk makna yang berbeda dengan makna dalam fatwa MUI.

Sebagai bagian dari upaya husnuz zonn (berbaik sangka), kita bisa memaknakan pluralisme dalam ucapan presiden menggunakan makna yang menjadi konvensi atau yang sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia, bukan seperti yang dimaknakan oleh MUI. Dengan demikian, masalah bisa kita pandang menemukan pemecahannya.

Semoga menjadi bahan untuk memperkaya khazanah ilmiah kita dan menghindarkan kita dari kejahilan.

Selengkapnya...

Minggu, 03 Januari 2010

GUS DUR PASTI MASUK SURGA ??

Hey, berani sekali anda berkata begitu. Apakah anda telah mendapat SK sebagai panitia seleksi surga dari Allah ? Atau anda telah merasa menjadi Tuhan ? Atau anda telah mengkultuskan Gus Dur ?

Bukan, bukan karena itu semua. Gus Dur pasti masuk surga adalah sebuah opini. Tapi bukan opini tak berdasar. Sebagai muslim, ada hadits rujukan yang dapat direnungkan.


Dari Anas r.a. : Ada jenazah diiringi lewat di hadapan para sahabat, lalu mereka memuji kebaikannya. Kemudian Nabi s.a.w. bersabda, “wajabat (sudah dapat dipastikan baginya)”. Sesudah itu datang pula jenazah lain diiringi dan orang-orang mengungkapkan keburukannya. Nabi pun bersabda, “wajabat”. Kemudian sahabat ‘Umar bin Khaththab r,a, bertanya, “Apa yang dimaksud dengan wajabat ?” Nabi s.a.w. menjawab, “(yaitu) jenazah yang kalian memuji kebaikannya, sudah dapat dipastikan sorga baginya dan jenazah yang kalian ungkapkan keburukannya sudah dapat dipastikan neraka baginya, sebab kalian semua merupakan para saksi Allah di bumi” (H.R. Bukhory-Muslim / muttafaq ‘alaih)

Gus Dur adalah orang yang saat jenazahnya diantarkan mendapatkan pujian tentang kebaikannya dari berbagai pihak. Bukan saja muslim, non muslim sekali pun mengakui jasa-jasanya. Tidakkah ia termasuk dalam kategori hadits tersebut ? semoga benar amin.
Hadits ini rujukan para ‘ulama, sehingga menjadi sebuah tradisi saat mengantarkan jenazah. Setiap jenazah akan diberangkatkan selalu ditanyakan, “Apakah semua yang hadir bersaksi bahawa jenazah ini seorang mukmin muslim yang shalih ?” Inilah upaya pertolongan dari semua saudara, tetangga dan kaum muslimin pada saudaranya yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Dengan kesaksian semua yang hadir, diharapkan jenazah termasuk kategori orang yang dipastikan masuk surga.

Memang ada masalah yang pernah terlontar. Pertama, apabila kita tidak tahu sama sekali tentang jenazah, apakah juga membuat kesaksian ? Kedua, apabila kita tahu buruknya perilaku si jenazah dan kita bersaksi baik bukan sebuah kebohongan ?

Masalah pertama ada dua jawaban yang sederhana. Pertama, tidak ada orang yang sama sekali tidak pernah berbuat baik sekali pun sepanjang hayatnya. Paling tidak, kita bisa yakin bahwa ia pernah tersenyum dalam hidupnya. Senyum adalah sebuah kebaikan. Bila senyum dipandang terlalu kecil, mungkin dia sudah berumah tangga. Berumah tangga artinya sebuah kebaikan. Ia telah mengikuti sunnah rosulullah s.a.w. Mungkin ia pernah sekolah atau mengaji. Sekolah dan mengaji adalah kebaikan. Mungkin ia memiliki pekerjaan. Bekerja adalah kebaikan.

Kedua, Islam mengajarkan berbaik sangka dan menjauhi berburuk sangka. Dengan demikian, selama kita tidak tahu keburukannya, maka kita harus menempatkannya sebagai orang baik.

Pada masalah yang kedua, ada dua jawaban pula. Pertama, Islam mengajarkan untuk tidak mencela orang yang telah meninggal dunia. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal , sebab mereka sudah mhabis masa kerjanya” (H.R. Bukhori).

Kedua, Islam mengajarkan untuk menutupi ‘aib orang lain. Rosululloh s.a.w menyampaikan, “Siapa yang menutupi aib-aib orang lain, maka Allah pasti menutupi aib-aibnya di hari kiamat”

Hmmmm…… bagaimana ya…..?


Selengkapnya...