Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Jumat, 10 Oktober 2008

BENCANA DIBALIK RUU PORNOGRAFI ; Perspektif Kekhawatiran

Pro kontra pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi dan bergulir menjadi isu yang ditebarkan oleh kelompok-kelompok, organisasi-organisasi maupun pribadi-pribadi. Penggalangan massa untuk mendukung sikapnya juga dilakukan oleh pihak yang pro maupun yang kontra.

Apabila dilakukan dengan keikhlasan dan saling menghormati serta menghargai perbedaan pendapat, kondisi tersebut merupakan dinamika yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya terjadi upaya-upaya yang dapat membuat warga bangsa menjadi cerdas. Selain itu, dapat pula terjadi langkah maju untuk dapat terbangunnya persepsi positif terhadap pluralisme dalam makna bahwa perbedaan adalah sebuah kenyataan bukan sebuah bencana.

Selain pro kontra terhadap keberadaanya, sebenarnya kemunculan RUU Pornografi dapat dikatakan sebagai “tragedi dan bencana” bagi bangsa dan negara. Bagaimana dapat demikian ? Apabila kita melihat RUU Pornografi sebagai akibat atau penyikapan dari realita kondisi sosial, maka kita akan dapat menemukan kebenaran pernyataan tersebut.

Munculnya RUU Pornografi setidaknya merupakan bukti dari beberapa hal. Di antaranya :
  • Kegagalan institusi keagamaan
  • Kegagalan institusi pendidikan
  • Kehancuran keluarga
  • Kehancuran sosial budaya
  • Kelemahan agamawan dan para pendidik
  • Kegagalan seluruh bangsa
  • Kegagalan pemerintah dalam membangun bangsa dan negara
  • Dilecehkannya Al-Quran dan As-Sunnah


  • KEGAGALAN INSTITUSI KEAGAMAAN DAN PENDIDIKAN

    RUU Pornografi adalah bukti kegagalan institusi keagamaan dan pendidikan. Ketika RUU Pornografi dimunculkan sebagai upaya menjaga dan memperbaiki moral, ditunjukkan bahwa institusi keagamaan dan pendidikan telah gagal dalam menjaga dan memperbaiki moral. Apabila institusi keagamaan dan pendidikan berhasil dalam melaksanakan fungsi dan kewajibannya, tidaklah bangsa kita membutuhkan UU Pornografi sebagai penjaga dan pemelihara moral. Tanpa UU Pornografi, bangsa yang beragama dan terdidik secara moral akan mempunyai kemampuan untuk berhadapan dengan rongrongan terhadap moralitasnya. Benarlah sebagaimana yang K.H. Abdurrahman Wahid katakan bahwa “semua lembaga keagamaan telah gagal.”

    Wibawa institusi keagamaan telah meluncur ke titik nadir. Fatwa sudah tidak didengar. Masjid sudah kosong. Pengajian sudah kehilangan harganya. Acara-acara keagamaan mungkin hanya “lifestyle” sesuai trend, bukan pengejawantahan dari substansi keagamaan itu sendiri. Dakwah telah menjadi tontonan bukan lagi tuntunan. Dakwah adalah industri “entertainment”. Muballigh adalah artis - selebritis. Popularitas da’i lebih penting dari keshalehan dan derajat ilmiyyahnya.

    Institusi pendidikan beralih fungsi secara substansial. Pada masa lalu dikenal lagu tentang pamitan seorang anak untuk belajar agar menjadi murid “budiman”, masa kini lagu tersebut diganti dengan kata murid “berprestasi”. Belum lagi kecenderungan yang dapat dicurigai sebagai “industrialisasi pendidikan” – pendidikan hanya buat mereka yang punya duit, dan tujuannya pun buat cari duit (kerja).

    Apabila perspektif tersebut dipergunakan, maka institusi keagamaan seyogyanya tidak hanya menjadi corong dan pengerah massa dalam pro kontra RUU Pornografi. Yang lebih penting bagi seluruh institusi keagamaan dan institusi pendidikan adalah melakukan otokritik. Reformasi terhadap institusi keagamaan dan institusi pendidikan adalah sebuah keharusan. Bahkan mungkin saat ini kita perlu revolusi pendidikan.

    KEHANCURAN KELUARGA DAN SOSIAL BUDAYA

    Munculnya RUU Pornografi jelas menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya sudah rusak berantakan. Etika sosial sudah tidak jelas. Kontrol sosial sudah tidak berjalan. Kepedulian sosial sudah terdegradasi. Dengan demikian masyarakat harus dipaksa oleh undang-undang.

    Gotong royong dan kebersamaan yang menjadi identitas bangsa sudah meluncur ke titik nadir. Warga negara sudah bergerak menuju manusia yang individualistik. Private domain sudah seakan diyakini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak beririsan dengan publik domain. Gue ya gue. Elu ya elu. Hancurlah manusia sebagai makhluk sosial.

    Individualistik ini menghancurkan keluarga dan rumah tangga. Keutuhan rumah tangga adalah karena kepedulian dan kesanggupan untuk berbagi, saling berempati, simpati dan partisipasi. Tata nilai “gue ya gue elu ya elu” telah menghancurkan arti penting kebersamaan. Anak tidak peduli pada orangtuanya. Orangtua melupakan anaknya. Institusi keluarga sudah tidak ada harganya. Orang tua sudah tidak ada wibawanya. Keluarga tidak dapat menjadi institusi pembinaan dan pengawasan. Perceraian menjadi lumrah bukan aib.

    Ketika memilih pasangan hidup, anak berkata, “Gue yang mau kawin bukan bokap”. Ketika mau sekolah, “Gue yang mau sekolah bukan nyokap”. Orang tua pun berkata, “Kamu yang menjalani, terserah kamu saja”. Di mana kepedulian dan kebersamaan sebuah keluarga ditempatkan pada ungkapan tersebut ? Keluarga hancur, berikutnya masyarakat berantakan.

    Apabila perspektif ini digunakan, maka masyarakat bukan seharusnya sibuk untuk beramai-ramai terlibat pro kontra RUU Pornografi. Masyarakat seharusnya melakukan introspeksi dan reformasi terhadap tatanan dan perilaku sosial budayanya. Ini mungkin hikmah dari bencana beruntun yang mendera bangsa. Kita harus kembali belajar untuk peduli.

    KELEMAHAN PARA AGAMAWAN DAN PARA PENDIDIK

    Kemunculan RUU Pornografi menunjukkan bahwa agamawan dan para pendidikan sudah sedemikian lemah. Agamawan dan pendidik sudah tidak punya wibawa dan kemampuan untuk mendidik dan menuntun umat. Umat sudah tidak memperdulikan mereka lagi, sehingga umat perlu dipaksa dengan undang-undang.

    Kondisi ini mungkin berawal dari dihancurkannya citra para ulama dengan slogan manis kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah. Slogan tersebut secara tidak langsung telah mereduksi posisi dan wibawa para ulama. Fatwa ulama sudah tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang harus diikuti.

    Kondisi ini mungkin semakin berat dengan turunnya kapasitas dan kapabilitas keteladanan yang ditampakkan oleh para ulama. Para ulama asyik dengan politik meninggalkan pembinaan umat. Para ulama bertengkar di antara mereka sendiri karena berbeda afiliasi politik yang dicurigai bermotifkan berbedanya kompensasi politik yang diperoleh. Saat umat lapar, para ulama asyik menggelar pertemuan makan-makan di hotel-hotel dan restaurant mewah. Saat umat harus berjalankan kaki, para ulama membeli kendaraan baru dan asyik hilir mudik dengan kendaraan mewah. Saat umat tergusur dari rumahnya, para ulama “membeli rumah” baru.

    DILECEHKANNYA AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

    Munculnya Rancangan Undang-undang Pornografi adalah bukti telah dilecehkannya Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini dapat dipahami dari dua sisi yang berbeda. Pertama dari sisi kewibawaan Al-Quran dan As-Sunnah. Kedua dari sisi pengamalan dan pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah.

    Dari sisi wibawa, munculnya RUU pornografi seakan melecehkan wibawa Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran dan As-Sunnah dipandang tidak cukup berwibawa untuk membangun moral dan etika. Umat dipandang akan lebih menurut apabila dipaksa oleh Undang-undang daripada dididik oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Undang-undang seakan-akan dipandang lebih berwibawa daripada Al-Quran dan As-Sunnah. Undang-undang lebih berefek dan lebih ditaati daripada Al-Quran dan As-Sunnah.

    Dari sisi pengamalan dan pemahaman, munculnya RUU Pornografi menunjukkan bahwa umat sudah tidak memahami dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan, mungkin mereka sudah menyingkirkan keharusan memahami dan mengamalkannya Al-Quran dan As-Sunnah dalam kehidupannya. Ukuran pendidikan adalah kemampuan bekerja dan mendapatkan uang, bukan pemahaman dan pengamalan Al-Quran dan As-Sunnah. Uang ditempatkan lebih tinggi dari pada memahami dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah.

    Bila kedua sisi ini benar, maka umat memerlukan pembaharuan keimanan. Yang sangat mendesak bagi umat adalah perubahan pardigam berpikir, dari materialistik kepada spiritualistik. Perubahan dari ukuran uang kepada ukuran iman.

    Akhirnya, semua latarbelakang munculnya Rancangan Undang-undang Pornografi adalah bukti kegagalan pembangunan bangsa Indonesia. Semua itu adalah bukti gagalnya para pemimpin bangsa. Pemerintah telah gagal. Agamawan dan budayawan pun telah gagal.


    Tidak ada komentar: