Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Jumat, 30 Oktober 2009

IMAM AL-BUKHORI BUKAN SALAF AS-SOLIH ?

Kata salaf as solih sudah tampil di pergaulan khazanah umat Islam sebagai jaminan kebenaran. Namun, siapa salaf as solih sebenarnya ?

Dalam penjelajahan yang saya lakukan, yang saya temukan salaf as solih adalah tiga generasi pertama umat Islam. Generasi itu adalah :

  1. Para sahabat r.a., yaitu yang langsung berguru kepada Rosulullah Muhammad s.a.w. Beliau semua bertemu dengan Rosulullah Muhammad s.a.w. saat masih hidup.
  2. Para tabi'in, yaitu mereka yang berguru kepada para sahabat r.a. Jadi tabi'in ini adalah para murid langsung sahabat r.a. Para tabi'in ini bertemu dengan para sahabat r.a. saat masih hidup.
  3. Para tabi'it tabi'in, yaitu mereka yang berguru kepada tabi'in. Jadi mereka adalah murid langsung para tabi'in. Para tabi'ut tabi'in ini bertemu dengan para tabi'in saat masih hidup.
Pemahaman ini saya temukan didasarkan kepada sabda Rosulullah Muhammad s.a.w. : "Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya (Muttafq 'alaih / H.R Bukhori dan Muslim)

Menurut penjelasan yang ada, yang dimaksud "pada masaku" adalah para sahabat r.a. Yang dimaksud kata "yang sesudahnya" yang pertama adalah para murid sahabat r.a. (tabi'in). Yang dimaksud kata "yang sesudahnya" yang kedua adalah para murid dari para murid sahabat r.a. (tabi'ut tabi'in).

Dengan menggunakan pemahaman itu, saya membuat kesimpulan bahwa Imam Al-Bukhori bukanlah termasuk salaf as solih. Mengapa ? Karena menurut sanad ilmunya beliau sudah generasi keenam. Ini di antara sanad ilmu Imam Al-Bukhori yang saya temukan :

  1. Imam Al-Bukhori, murid dari
  2. Imam Al-Humaidi, murid dari
  3. Imam Asy-Syafi'i, murid dari
  4. Imam Malik, murid dari
  5. Imam Nafi', murid dari
  6. Sahabat Abdullah bin 'Umar r.a., murid dari
  7. Rosulullah Muhammad s.a.w.
Demikian pula bila kita melihat hadits-hadits yang diriwayatkan dalam sohih bukhory, kita melihat Imam Al-Bukhori tidak berada pada kelompok sanad (mata rantai) di tiga generasi pertama.

Jadi......., siapa saja yang salaf as solih ?

Mungkin kita perlu lebih banyak meneliti, sehingga menemukan pemahaman yang lebih utuh dan dapat mendudukan sesuatu sesuai dengan seharusnya.



Selengkapnya...

Rabu, 28 Oktober 2009

KEMBALI KE AL-QURAN DAN ASSUNNAH (SAJA) TERNYATA KESALAHAN ?

Saat Rosululloh Muhammad s.a.w. mengutus Sahabat Mu'az bin Jabal r.a. ke Yaman, terjadi sebuah dialog.

Rosulullah Muhammad s.a.w. : "Bagaimana engkau memberikan keputusan (hukum) ketika kepadamu dihadapkan suatu kejadian ?"

Sahabat Mu'az bin Jabal r.a. : "Aku memberikan keputusan dengan KITABULLOH (AL-QURAN)"

Rosululloh Muhammad s.a.w. : "Jika tidak kamu dapati di kitabulloh ?"

Sahabat Mu'az bin Jabal r.a. : "Dengan SUNNAH ROSULULLOH"

Rosululloh Muhammad s.a.w. : "Jika tidak kamu dapati di sunnah rosululloh ?"

Sahabat Mu'az bin Jabal r.a. : "Aku akan berIJTIHAD dengan pendapatku, dan aku TIDAK AKAN MEMPERSEMPIT ijtihadku"

Rosululloh Muhammad s.a.w. menepuk dada Mu'az bin Jabal r.a. seraya bersabda : "Alhamdu lillah (segala puji bagi Allah) yang memberikan taufiq kepada utusan Rosulullah terhadap sesuatu yang Rosulullah meridoinya"

Kisah tersebut diriwayatkan dalam hadits yang sangat dikenal, terutama di kalangan mereka yang mempelajari syari'ah Islam berikut metodologinya.

Dari kisah itu didapat tiga metode mengambil keputusan dalam syari'ah Islam, yaitu :
  1. Mencari di kitabulloh (Al-Quran)
  2. Mencari di sunnah Rosululloh
  3. Berijtihad (menggunakan pendapat sendiri)
Ketika orang hanya mencari di kitabulloh dan sunnah Rosululloh, maka ia telah menyalahi hadits ini. Dengan demikian, mengatakan sesuatu itu bid'ah atau salah atau sesat karena tidak ada dalam kitabulloh (Al-Quran) dan sunnah Rosululloh adalah sangat lemah dan tidak bisa dipergunakan.

Bila sesuatu tidak didapatkan di kitabulloh dan sunnah Rosululloh, tidak dapat diputuskan atau dihukumi salah, sesat atau bid'ah. Masih ada metode ketiga yang harus ditempuh, yaitu ijtihad.

Dalam koridor inilah dipergunakan berbagai metodologi yang sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Yang disepakati para ulama mujtahid adalah dipergunakannya ijma' dan qiyas. Di antara yang tidak disepakati adalah dipergunakannya istihsan, maslahah mursalah, istishhab, dan 'urf.

Lepas dari masalah mana car aijtihad yang disepakati dan tidak disepakati, perlu digarisbawahi benar bahwa dalam hadits di atas sahabat Mu'az bin Jabal r.a. mengatakan bahwa beliau TIDAK AKAN MEMPERSEMPIT IJTIHAD beliau. Dengan demikian, janganlah berijtihad secara sempit - jangan mudah menyatakan sesuatu itu salah, sesat atau bid'ah.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi bahan untuk penelaahan lebih lanjut menjadikan kita semua arif dan bijaksana.



Selengkapnya...

Jumat, 23 Oktober 2009

JABATAN DAN INNA LILLAHI

Istirja' - mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji'un - saat ini mulai mewabah dipergunakan saat mendapat sebuah "amanah" jabatan.

Benarkah penggunaannya ?

Mari kita merenung.

1. Istirja' adalah ungkapan orang sabar saat menerima musibah (Q.S. Al-Baqoroh (2) ayat 156). Dengan istirja' "amanah' jabatan itu dipandang sebagai musibah.

2. Bila memperhatikan ayat sebelumnya (Q.S. Al-Baqoroh (2) ayat 155) musibah yang dimaksud adalah cobaan dari Allah yang berupa berbagai kekurangan, seperti ketakutan dan kelaparan. Apakah mendapat "amanah" jabatan termasuk dalam konteks ini ?

3.Saya yakin bahwa setiap orang tidak berupaya untuk mendapatkan musibah. Bila mendapat "amanah" jabatan adalah musibah, maka pasti orang itu tidak melakukan upaya atau manuver untuk memperolehnya.

4.Saya yakin bahwa setiap orang yang mendapat musibah ingin lepas dan terhindar dari musibah itu. Bila mendapat "amanah" jabatan adalah musibah, maka pasti orang itu ingin lepas dan menghindar dari jabatan itu. Dengan demikian ia pasti mengundurkan diri, karena dengan mengundurkan diri itulah ia lepas dan terhindar dari musibah itu.

5.Abi Dzar bertanya kepada Rasulullah, ''Wahai Rasulullah, maukah engkau mengangkat aku jadi pegawai?'' Lalu Rasulullah SAW menepukkantangannya ke atas kedua bahuku, kemudian bersabda, ''Wahai Abu Dzar,engkau orang yang lemah, sedangkan tugas itu adalah amanah dan kelakpada hari kiamat akan merupakan penyesalan dan kesedihan, kecualihanya orang-orang yang berhak menerimanya dan menunaikan amanah itudengan semestinya.'' (HR Muslim).

hmmmm...... jadi gimana ya ?

Apakah tidak lebih tepat bila istirja' itu dibacakan oleh rakyat bila mendapatkan para pemimpin yang menurut mereka tidak layak ?
Bukankah dipimpin orang yang tidak layak adalah musibah ?
Rakyat sulit untuk menghindarkan setelah ia terpilih. Rakyat hanya bisa bersabar yang salah satunya dengan istirja' itu.



Selengkapnya...

Kamis, 22 Oktober 2009

MENEGAKKAN SYARI'AH ISLAM


Menegakkan syari'ah Islam adalah kewajiban bagi umat Islam dengan landasan firman Allah, "Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan maka ia termasuk orang zholim" pada ayat lain " termasuk orang fasiq dan pada ayat lain termasuk orang kafir (Q.S. Al-Maidah : 44, 45, 47) . Demikian wacana yang berkembang.

Berkaitan dengan wacana itu, ada pertanyaan yang menjadi bahan renungan. APAKAH MENEGAKKAN SYARI'AH ADALAH MENJADIKAN SYARI'AH SEBAGAI UNDANG-UNDANG FORMAL ATAU MEMBUAT ORANG TAAT SYARI'AH ?

Ada beberapa renungan turunan, di antaranya :

Masa Nabi Muhammad s.aw. ada orang yang mengatakan saya telah beriman, tapi Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang menerangkan bahwa mereka belum iman tapi baru islam (tunduk). Sebagian memahami kejadian ini sebagai contoh orang yang terpaksa atau dipaksa taat. Saat itu, mereka taat karena "takut" terhadap kekuatan "politik dan militer" Nabi Muhammad s.a.w., bukan muncul dari keimanan dan rasa kehambaan mereka di hadapan Allah SWT. Analisa ini didasarkan bahwa saat Nabi Muhammad s.a.w. wafat muncullah kelompok penentang zakat. Apakah ayat ini bukan peringatan kepada kita tentang efek lain dari formalitas syari'ah ?

Totalitas syari'ah Islam dapat dikatakan terdiri dari unsur aqidah (iman), unsur amal (islam), dan unsur akhlaq (ihsan). Nah yang mana yang dijadikan undang-undang formal ?

Bila seluruhnya, bagaimana formulasi undang-undang aqidah, bagaimana formulasi undang-undang amal dan bagaimana formulasi undang-undang akhlaq ? Kita akan sangat kesulitan dalam melakukan penilaian terhadap aqidah dan akhlaq, karena aqidah dan akhlaq berada di dalam "rahasia" manusia, bukan di dalam lahirnya. kita ambil contoh, bagaimana kita memformulasikan larangan sombong dan kewajiban tawadhu' serta sangsi hukumnya dalam undang-undang formal ?

Bila hanya bagian amal (lahiriyyah) saja, maka rasanya lebih cocok disebut dengan formalisasi fiqih Islam, bukan penegakkan syari'ah Islam. Mengapa ? Karena amal (lahiriyyah) bukanlah syari'ah Islam, tapi hanya bagian dari komponen syari'ah Islam yang ilmunya lebih kita kenal dengan istilah fiqih.

Bila penegakkan syari'ah berarti formalisasi syari'ah dalam bentuk undang-undang, maka perjuangannya berarti berpolitik. Gerakan formalisasi syari'ah adalah gerakan politik.

Bila penegakkan syari'ah berarti membangun ketaatan pada syari'ah maka perjuangannya adalah menghidupkan iman dan rasa kehambaan dalam diri manusia (Q.S. Al-An'am : 125). Iman dan rasa kehambaan tidak bisa dihidupkan dengan paksaan kekuasaan undang-undang.

Saat iman dan rasa kehambaan hidup orang taat pada syari'ah. Kita melihat jelas bagaimana orang shalat jum'ah walaupun tidak ada undang-undang formal harus shalat jum'ah.

Terakhir, ada sebuah kisah. Pernah di Syibam, ada seorang shalih memegang jabatan hakim. Selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang mengadukan masalahnya.

Suatu hari ia mengeluh kepada penduduk kota, “Mengapa di antara kalian tak ada yang berkelahi ? Mengapa tak ada yang bersengketa ?"

Penduduk Syibam menjawab, “Penghuni kota ini antara yang satu dan yang lain telah didamaikan Al-Quran. Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah (Q.S. Asy-Syura (42) ayat 40). Mereka tidak butuh engkau. Apa yang hendak engkau hakimi jika mereka telah bersatu ?” Baca kisah lengkapnya di blog : hikayat indah.

Allohu A'lam



Selengkapnya...

Minggu, 27 September 2009

BISNIS "MLM PULSA" HARAM ?


Tulisan ini bukan bertujuan menghakimi atau menyampaikan fatwa. Tulisan ini adalah ajakan untuk menelaah lebih lanjut. Karena itu, judul tulisan ini diberi tanda tanya.

Penelaahan seksama dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa bisnis yang kita lakukan betul-betul merupakan mu'amalah yang dibenarkan oleh syariat Islam. Dengan itu kita mendapatkan rizqi yang bisa diyakini halal dan berkah, bersih dari riba dan hal-hal lain yang diharamkan.

Berkaitan dengan bisnis MLM PULSA ada beberapa pertanyaan yang perlu ditelaah dan ditemukan jawabannya untuk memastikan halal dan haramnya.

Pertama

Praktek di lapangan ditemukan banyak sekali yang nampaknya tidak menjual apapun. Para pengikut MLM Pulsa hanya berkutat dalam mencari anggota. Ia mendapatkan penghasilan dari uang yang dibayarkan oleh anggota baru, bukan dari sesuatu yang dia jual. Si pembayar tidak mendapatkan komoditas apapun sebagai penukar dari uang yang dibayarkannya.

Bila kondisi prakteknya seperti itu maka bisa dikatakan bukan jual beli. Bukankah jual belia adalah tukar-menukar komoditas atau menukar uang dengan barang ?

Kedua

Bila yang dipandang komoditas adalah pulsanya, maka perlu juga ditinjau ulang terutama berkaitan dengan harga.

Pulsa adalah nama lain dari uang. Mengapa ? Silahkan buka fasilitas cek pulsa. Untuk para pemakai simpati misalnya kontak *888#. Akan ditemukan jawaban berupa tulisan "Sisa pulsa Rp............. dst. "Rp" adalah lambang rupiah.

Dengan demikian, membeli pulsa adalah menukar uang. Rupiah ditukar dengan rupiah. Penukaran uang atau penukaran barang sejenis tidak boleh ada yang lebih atau kurang. Penukaran uang harus sama. 20.000 rupiah harus ditukar dengan 20.000 rupiah pula. Demikian pula nilai lainnya. Bila terjadi perbedaan nilai, maka dikategorikan riba.

Perhatikan Sabda Rasulullah s.a.w. :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rosulullah s.a.w. telah bersabda, "Menjual (menukar) emas dengan emas harus sama timbangannya, sama nilainya (kualitasnya), menjual (menukar) perak dengan perak harus sama timbangannya, sama nilainya. Barang siapa menambahi dan meminta lebih, sungguh itu telah jadi riba. (H.R. Muslim)

Bagaimana jual beli pulsa yang terjadi tambah dan lebih itu ? Apakah itu bukan riba ?

Ketiga

Ini masalah yang sangat subyektif. Ada yang berpikir bahwa sistem MLM pulsa adalah sistem yang tidak berkeadilan. Mengapa ?

Sistem ini mengakibatkan mereka yang masuk duluan dapat menjadi lebih kaya walau dengan ongkang-ongkang kaki. Pendapatan atau kekayaannya tidak sesuai dengan keringat yang dia keluarkan. Tidak sesuai pula dengan resiko yang dia tanggung

Apakah ini toyyib ? Adakah ini berkah ?

Penutup

Mungkin masih ada masalah lain yang tidak tercantum. Sementara tiga masalah itu cukup untuk jadi bahan pertimbangan, panelaahan dan perenungan ulang. Halal atau haram ? Berkah atau tidak ? Toyyib atau tidak ?




Selengkapnya...

Kamis, 13 Agustus 2009

TARAWIH 8 RAKA'AT DAN 3 WITIR TERNYATA DO'IF ?

Kajian ini menggunakan sudut pandang sejarah. Sudut pandang sejarah adalah pembuktian terhadap sanad. Apabila sanad sambung menyambung melalui orang yang adil dan terpercaya serta kuat hapalannya sampai Rasulullah s.a.w., maka dikatakan sohih. Bila sanad tidak tersambung seperti itu, maka tidak dapat dikatakan sebagai sanad sohih.

Para pengamal tarawih delapan raka’at dan tiga witir (11 raka’at) mendasarkan amalnya pada hadis yang diterima dari ummul mukminin ‘Aisyah r.a.yang menyampaikan bahwa Rasululah s.a.w. tidak shalat malam di bulan ramadhan dan di luar bulan ramadhan lebih dari sebelas raka’at.

Dalil tersebut saya coba telusuri pada dua sisi. Pertama sisi sanad hadis. Kedua pada sisi sanad pemahaman dan pengamalan hadis.

Dari sisi sanad hadis, hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dengan sanad sohih. Sohihnya sanad hadis ini diakui oleh seluruh mukmin muslim di seluruh penjuru dunia.

Namun benarkah hadis itu dalil tarawih ? Jangan-jangan salah memahami hadis.

Sejauh penelusuran saya, tidak ditemukan sanad sohih yang menunjukkan bahwa hadis tersebut dipahami dan diamalkan sebagai hadis tarawih.

Bila meneliti sejarah amal sohabat r.a., hadis yang sangat jelas menunjukkan tentang shalat tarawih para sohabat r.a. adalah yang tercantum di almuwato (kitab hadis pertama di dunia). Pada almuwato secara jelas disebutan bahwa pada masa Kholifah Umar r.a. tarawih diberjama’ahkan dan dilaksanakan sebanyak dua puluh roka’at.

Selama berabad-abad dari satu generasi ke generasi lain di berbagai komunitas di seluruh dunia, umat Islam melaksanakan tarawih 20 roka’at. Masjid-masjid tua di seluruh dunia, termasuk masjid nabawi di Madinah dan masjidil harom di Mekkah mempunyai riwayat mengamalkan tarawih 20 roka’at ini dari sejak masa sohabat.

Amal tarawih yang lain adalah 36 roka’at yang dilakukan di Madinah menurut fatwa mazhab maliki. Amal lain yang ditemukan adalah 40 roka’at.

Amal tarawih umat Islam sebanyak delapan roka’at dan tiga witir (11 roka’at) baru ada di abad 19 M, setelah sebelumnya tidak ada. Amal itu pun cenderung muncul di Indonesia.

Dengan demikian, pemahaman dan pengamalan hadis tersebut sebagai dalil tarawih putus sanad. Bahkan mungkin bid’ah, karena merupakan pemahaman baru yang lahir di abad sembilan belas, setelah sebelumnya sejak abad 7 (masa sohabat r.a.) s.d. abad 19 (selama 12 abad) tidak ditemukan bukti sejarah bahwa umat Islam memahami dan atau mengamalkan hadis tersebut (shalat Rosululloh s.a.w 11 roka’at) sebagai hadis tarawih.

Bila hadis itu memang benar hadis tarawih, sangat tidak mungkin selama berabad-abad (12 abad) seluruh umat Islam tidak ada yang mengamalkannya sebagai dalil tarawih. Apalagi hadisnya sangat jelas adanya, sehingga seharusnya seluruh penjuru dunia Islam tahu dan paham tentang hadis itu.

Penelusuran sejarah kedua dilakukan terhadap amal Imam Al-Bukhori sebagai periwayat hadisnya. Amal Imam Al-Bukhori sangat penting, karena dapat menunjukkan benar tidaknya pemahaman hadisnya. Tidak mungkin Imam Al-Bukhori tidak memahami atau bahkan mengkhianati hadis yang diriwayatkannya. Bila Imam Al-Bukhori tidak mengamalkan atau mengkhianati hadis yang diriwayatkannya, maka Imam Al-Bukhori bisa dikatakan fasiq atau ahlul bid’ah. Dan bila Imam Al-Bukhori fasiq atau ahlul bid’ah maka seluruh riwayat Imam Al-Bukhori tidak sohih.

Tidak ditemukan bukti sejarah bahwa Imam Al-Bukhori shalat tarawih delapan raka’at dan tiga witir. Bukti sejarah yang ada menunjukkan bahwa Imam Al-Bukhori dalam fiqh adalah pegikut mazhab syafi’i. Imam Al-Bukhori adalah murid dari Imam Al-Humaidi, Imam Az-Za’faroni dan Imam Al Karabisi yang ketiganya adalah murid Imam Asy-Syafi’i dan bermazhab syafi’i. Dalam fatwa mazhab syafi’i, tarawih adalah 20 roka’at. Dengan demikian sangat kuat kemungkinan bahwa tarawih Imam Al-Bukhori adalah 20 roka’at.

Tida pula ditemukan bukti sejarah bahwa di tempat Imam al-Bukhori tinggal, masjidnya melaksanakan tarawih 8 raka’at dan 3 witir. Sejarah yang ada cenderung menunjukkan bukti bahwa pada masa Imam A-Bukhori, masjid di sana tarawih 20 roka’at.

Dengan tidak ditemukannya bukti sejarah bahwa Imam Al-Bukhori tarawih delapan roka’at dan tiga witir, pemahaman hadis tersebut sebagai dalil tarawih pun menjadi lemah, karena bertentangan dengan amal Imam Al-Bukhori sendiri.

Adakah yang memiliki bukti sejarah amal tarawih 8 raka’at dan tiga witir ? Komunitas umat Islam di daerah mana dan di masjid apa yang sejak masa sohabat r.a. sampai saat ini yang secara turun-temurun tarawih 8 raka’at dan tiga witir ? Bila ada bukti sejarahnya, tolong berikan kepada saya untuk melengkapi kajian sejarah saya agar saya tidak salah paham.

Sementara waktu, dengan tidak ditemukannya bukti sejarah sebagaimana dipaparkan di atas, saya berkesimpulan bahwa tarawih 8 roka’at dan 3 witir adalah do’if, bahkan kalau boleh ekstrim sangat mungkin bid’ah, karena merupakan pemahaman dan amal yang baru muncul di abad 19 setelah sebelumnya tidak ada.

Adapun mempergunakan hadis dari ummul mukminin ‘Aisyah r.a. bahwa Rosululloh s.a.w. tidak shalat di bulan ramadhan dan di selain ramadhan lebih dari 11 roka’at sebagai dalil tarawih cenderung sebagai kesalahan dalam memahami hadis. Tidak ditemukan dukungan sejarah amal kaum muslimin bahwa hadis itu adalah dalil tarawih. Bahkan tidak pula didukung oleh amal Imam Al-Bukhori sebagai periwayat hadisnya.

Tarawih yang sohih adalah 20 roka’at, karena memiliki bukti sejarah amal dari sejak masa sohabat r.a. sampai ke masa kini di seluruh penjuru dunia Islam. Adapun bila kritik disampaikan bahwa tarawih 20 roka’at adalah dari sohabat ‘Umar r.a., maka pertanyaannya adalah apakah orang di abad 19 (dan kita semua) lebih paham dan lebih taqwa dari sohabat ‘Umar r.a. yang berguru langsung kepada Rosululloh s.a.w. dan termasuk sohabat yang dijamin ahli surga ? Apakah orang di abad 19 (dan kita semua) lebih paham dari umat Islam di seluruh penjuru dunia selama 12 abad ?




Selengkapnya...

Selasa, 14 April 2009

DIHUKUM JANGAN YA .......

Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi sangsi, yang dikenai hanyalah pelaku kesalahan.

Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi ketetapan aturan, maka yang dikenai adalah semua makhluk di alam semesta. Semua makluk menggunakan ketetapan dan berada pada suatu aturan tertentu yang telah ditetapkan Pencipta. Mereka terikat dengan ketentuan yang berlaku di alam semesta yang biasa disebut dengan sunnatullah oleh para agamawan dan hukum alam oleh para ilmuwan.

Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi undang-undang formal yang berarti hukum positif, inilah yang menjadi perbincangan dan perbedaan.

Dalam hidup manusia ada tiga ruang, yaitu ruang privat, ruang publik dan ruang yang merupakan irisan antara ruang privat dan ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang privat adalah adalah ruang pribadi yang mana bisa dikatakan merupakan urusan pribadi seseorang tanpa bersentuhan dengan hak dan kewajiban orang lain.Yang dimaksud ruang publik adalah ruang bersama bagi setiap individu yang mana di sana bersentuhan antara hak dan kewajiban pribadi dengan hak dan kewajiban orang lain. Yang dimaksud ruang irisan adalah ruang pribadi yang tampil di ruang publik.

Berkaitan dengan ketiga ruang tersebut, manusia terbagi menjadi tiga mazhab hukum, yaitu :

Mazhab pertama

Mazhab pertama adalah komunitas yang berpendapat bahwa semua ruang itu dapat diatur menggunakan undang-undang formal. Mazhab ini cenderung dianut oleh kelompok agamis formalis. Yang saya maksud dengan agamis formalis adalah mereka yang berjuang menengakkan syari’at (ketentuan keagamaan mereka) menjadi undang-undang secara formal (hukum positif). Biasanya mereka ditandai dengan meletakkan azas agama pada “partai politiknya”.

Kelompok ini berkeyakinan bahwa negara (aparatnya) dapat mengontrol dan memasuki semua ruang kehidupan manusia. Negara mengatur hubungan dengan sesama manusia. Negara dapat mengatur hubungan dengan Tuhan. Negara dapat mengatur hak dan urusan pribadi. Dengan demikian, ruang privat menjadi hilang, karena orang lain yang dalam hal ini aparatur negara dapat memasuki dan mengaturnya. Mengapa ? Karena ketika sebuah ruang dimasuki undang-undang, ada kewenangan paksa yang dimiliki aparatur negara pada ruang itu.

Bagi mereka, pemerintah seakan “aparat Tuhan”. Hukum ditentukan oleh Tuhan. Tidak ada kewenangan manusia untuk menentukan hukum. Bagi kelompok ini, akhirnya tidak ada pembagian antara ruang publik, ruang privat serta ruang irisan. Semua ruang sama. Semua harus diatur oleh hukum Tuhan. Tidak ada demokrasi.

Hukum bagi mereka akhirnya adalah apa yang mereka pahami sebagai hukum Tuhan. Mereka cenderung tidak menerima pendapat orang lain. Bila menerima perbedaan pendapat, sama artinya dengan menerima adanya ruang privat. Dengan demikian, mazhab ini cenderung memutlakan kebenaran sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka saja. Yang berbeda dengan mereka sesat.

Pada masa lalu ada contoh berat berkaitan dengan mazhab hukum seperti ini. Masa Daulah Abbasiyyah dipimpin oleh khalifah Al-Ma’mun, negara bermazhab mu’tazilah. Dengan ketentuan negara, semua umat Islam harus bermazhab mu’tazilah. Siapa yang tidak sepaham dengan mu’tazilah sesat dan dihukum. Ketika kholifah Al-Ma’mun diganti, kholifah yang baru menetapkan mazhab ahlus sunnah sebagai mazhab negara. Saat itu, berganti kaum mu’tazilah yang dinyatakan sesat dan dihukum.

Terhadap kelompok ini di antara kritik yang disampaikan dikaitkan dengan firman Allah, “la ikroha fid din (tidak ada paksaan dalam beragama)”. Agama berada di ruang privat. Dengan demikian, tidak diperkenankan satu orang memaksa orang lain dalam urusan di ruang privat. Perbedaan agama dan pemahaman keagamaan adalah kenyataan.

Mazhab kedua

Mazhab kedua adalah komunitas yang berpendapat bahwa undang-undang diberlakukan pada ruang publik dan ruang irisan, tidak pada ruang privat. Ruang privat adalah urusan pribadi yang diatur oleh keyakinannya masing-masing.

Kelompok ini menolak pemberlakuan undang-undang pada urusan keagamaan. Mereka berkeyakinan urusan ini adalah urusan pribadi yang tidak boleh dipaksa orang lain.

Dalam urusan sosial budaya dan etika, mereka memasukkannya pada ranah undang-undang. Mereka memperkenankan undang-undang tentang hal-hal privat di ruang publik.

Penganut mazhab kedua ini kadang tepeleset memasuki ruang privat. Terpeleset yang sangat mungkin terjadi, karena pemisahan mereka tidak tegas. Demikian pula oleh para penganutnya yang oportunis cenderung dilakukan sebagai negosiasi politik – tergantung kepentingan dan keuntungan politiknya.

Mazhab ketiga

Mazhab ketiga adalah komunitas yang berpendapat bahwa undang-undang hanya berlaku pada ruang publik. Adapun ruang privat diatur oleh keyakinan pribadi. Dan ruang irisan diatur oleh etika sosial.

Bagi mereka, ruang privat adalah ruang spiritual yang sangat pribadi. Ruang irisan adalah ruang sosial budaya yang dibangun dengan rasa dan etika. Ruang publik adalah ruang duniawi yang negosiable. Ruang publik itu dibangun dengan kesepakatan formal yang orang dapat dipaksa untuk mengikuti dan melaksanakannya, karena berkaitan langsung dengan hak orang lain.

Mazhab ini yang sering dikritik sebagai kelompok sekuler – memisahkan agama dari negara. Kritik ini ada benarnya, bila melihat undang-undang formal. Mereka memang tidak menerima agama menjadi undang-undang atau hukum positif. Mereka berpendapat agama adalah hal privat, sedangkan undang-undang hanya boleh mencakup ruang publik. Undang-undang adalah wilayah musyawarah dan negosiasi. Agama adalah wilayah keyakinan yang tidak dapat dinegosiasikan.

Menganut pendapat mazhab ini bukan berarti tidak beragama dan tidak melaksanakan agama. Agama memang tidak mereka terima apabila dibuat sebuah undang-undang, namun mereka menerima agama sebagai nilai-nilai yang harus dilaksanakan setiap penganutnya pada segala aspek kehidupan. Mereka memandang agama adalah urusan privat yang menjadi bagian menyatu dengan diri setiap pribadi. Agama harus dilaksanakan sebagai sebuah keyakinan dan keikhlasan bukan sebagai sebuah paksaan, apalagi melalui aparatur negara.

Dalam syari’at Islam mereka menganut bahwa hadd hanya ada di ruang publik. Untuk pelanggaran terhadap ruang irisan yang berlaku adalah ta’zir. Sedangkan di ruang privat tidak ada hadd maupun ta’zir. Kalaupun di ruang privat ada ta’zir, itu berkaitan dengan kewajiban di wilayah pendidikan yang artinya berada di ruang irisan.

Mazhab ketiga ini menerima demokrasi. Bagi mereka demokrasi berada di wilayah negara yang berarti di wilayah publik. Wilayah itu adalah wilayah duniawi yang negosiable. Wilayah ini adalah wilayah manusia, sesuai sabda Nabi, “antum a’lamu bi umuri dunyakum”.

PENUTUP

Perbedaan ini akan terus ada. Yang paling penting adalah bagaimana mendidik diri sendiri dan umat manusia untuk siap hidup dalam perbedaan dengan damai. Tidak ada jalan untuk damai kecuali menerima adanya perbedaan.

Semoga berkah dan bermanfaat untuk kita semua. Amiin.



Selengkapnya...

ISLAM DAN DEMOKRASI


Demokrasi termasuk hal yang diperselisihkan oleh umat Islam (khilafiyyah). Satu komunitas mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian dari kekafiran. Komunitas yang lain mengatakan bahwa demokrasi diterima dan dibenarkan syari’at Islam. Ada pula komunitas ketiga yang mengatakan bahwa demokrasi hanya sebagai washilah dakwah saja.

Dimana titik perbedaannya ? Di mana titik pertemuannya ?

PERBEDAAN

Komunitas ketiga (yang mengatakan demokrasi sebagai washilah da’wah saja) sebenarnya mereka yang tidak mempunyai pendirian yang jelas. Ada benarnya, bila ada yang mengatakan bahwa mereka mencoba menghalalkan segala cara. Mengapa ? Ungkapan demokrasi hanya sebagai washilah da’wah menyiratkan dua hal. Pertama, jawaban mereka lari dari masalah pokok, yaitu diterima dan tidaknya esensi demokrasi oleh syari’at Islam. Kedua, menyiratkan pengakuan bahwa demokrasi itu salah, namun tidak bersedia meninggalkannya, sehingga mereduksinya menjadi hanya sekedar alat da’wah untuk membenarkan sikapnya mengikuti demokrasi. Kondisi ini perlu dibandingkan, dengan bolehkah mencuri untuk bersedekah ?

Dengan demikian, sebenarnya perbedaan hanya melibatkan dua pendapat, yaitu menerima dan tidak menerima. Titik perbedaan adalah pada penyikapan terhadap makna demokrasi.

Demokrasi dimaknakan sebagai kekuasaan di tangan rakyat. Sebagai pemilik kekuasaan, rakyat berhak membuat undang-undang. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui sistem perwakilan. Penunjukan perwakilan dilakukan melalui pemilu.

Mereka yang menolak demokrasi berhujjah bahwa haqq dan bathil telah jelas dan yang berhak menentukannya adalah Allah. Tidak ada kewenangan pada manusia untuk membuat undang-undang. Dasar utama yang diajukan adalah firman Allah, “inil hukmu illa lillah / menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (Q.S Al-An’am : 57) serta “kemudian apabila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan rasul-Nya (A-Sunnah) (Q.S. An-Nisa : 59)”.

Kelompok pertama ini akan bingung ketika berkaitan dengan hal-hal yang tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ambillah contoh lalu lintas. Tidak ada aturan Al-Quran dan As-Sunnah yang menetapkan merah harus berhenti, kuning hati-hati dan hijau jalan terus. Tidak ada pula ayat aAl-Quran atau As-Sunnah yang menetapkan berjalan itu di kiri atau di kanan, di sini boleh parkir atau tidak. Semua itu ditetapkan oleh manusia. Bagi mereka tidak ada kewenangan manusia membuat hukum.

Sedangkan mereka yang menerima demokrasi berhujjah bahwa syari’at Islam membuka pintu ijtihad. Keberadaan ijtihad dalam syari’at Islam diterima secara ijma’ (sepakat). Ijtihad adalah keputusan manusia dalam menetapkan hukum. Artinya manusia mendapat wewenang. Untuk membuat keputusan itu manusia mengerahkan kemampuan akalnya. Pengerahan kemampuan akal ini didukung dan diperintahkan dalam Al-Quran pada ayat yang sangat banyak.

Keberadaan ijtihad dikaitkan dengan amanah yang diberikan Allah kepada manusia. Amanah itu adalah mengemban tugas sebagai kholifatullah fil ‘ard. Kholifah berarti wakil. Dengan demikian, sebagai wakil Allah, sudah seharusnya mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu untuk melaksanakan tugas perwakilan itu. Hal itu yang ditunjukkan oleh firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin di antara kalian (Q.S. An-Nisa : 59)”.

Selain itu, demokrasi berada pada wilayah kenegaraan. Wilayah ini dipandang berada pada urusan duniawi. Dengan demikian berada pada koridor hadits “Antum a’lamu biumuri dunyakum (kalian lebih tahu berkaitan dengan urusan dunia kalian)”. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya cara yang baku yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. dalam urusan kenegaraan yang dibuktikan dengan berbedanya cara yang dilakukan dalam proses pengangkatan khulafaur rosyidin.

PERSAMAAN

Kedua komunitas yang berbeda dalam penerimaan terhadap esensi demokrasi bertemu pada tekhnis yang dilakukan. Tekhnis yang sama adalah musyawarah. Baik mereka yang menerima demokrasi maupun yang tidak, sama-sama mengakui keberadan musyawarah sebagai mekanisme yang diterima syari’at Islam.

Untuk musyawarah, mau tidak mau manusia akan berhadapan dengan sistem perwakilan. Di sinilah manusia tidak akan lepas dari yang namanya pemilihan di antara mereka. Di sinilah kemudian ada mekanisme yang bernama pemilu.

Bila keberadaan pemilu ditolak, bagaimana menentukan siapa yang berhak untuk menjadi wakil dalam musyawarah ? Ingat, Islam tidak menerima konsep penunjukan oleh Tuhan, kecuali untuk mengangkat Rasul-Nya. Yang menunjuk siapa yang berhak musyawarah adalah sesama manusia. Jelaslah kedua pihak apabila akan melaksanakan musyawarah akhirnya mengadakan pemilihan juga. Tidak ada mekanisme lain di luar pemilihan. Pemilihan dilakukan oleh masyarakat banyak dalam sistem “demokrasi” dan oleh pemimpin yangtelah ada bila menggunakan sistem feodal atau diktator.

Menggunakan sistem feodal atau diktator berarti menempatkan negara berada dalam konstitusi kerajaan. Perlu diingat, walaupun sejarah kepemimpinan negara umat Islam (katakanlah : khilafah ; coba baca juga artikel saya tentang khilafah) menunjukkan adanya sistem kerajaan, namun sistem itu berlaku setelah masa khulafaur rosyidin berakhir.

Apabila mereka yang berhak musyawarah ditentukan oleh kholifah, siapa yang saat ini berhak menjadi kholifah ? Siapa yang mengangkat kholifah ? Bagaimana kholifah diangkat ? Bila kholifah diangkat melalui musyawarah, masalah menjadi seperti telur dan ayam. Mana yang lebih dulu. Ayam atau telur ? Dewan syuro (yang melaksanakan musyawarah) atau kholifah ? Bukankah dewan syuro diangkat oleh kholifah dan kholifah diangkat oleh dewan syuro ?

Bila ada musyawarah artinya ada kewenangan yang diemban oleh dewan syuro. Kewenangan itu adalah mengambil keputusan atau ketetapan. Keputusan berupa ketetapan atas sesuatu disebut hukum (alhukmu itsbatusy syai lisy syai). Dengan demikian, artinya penerimaan terhadap musyawarah sebenarnya penerimaan terhadap adanya kewenangan manusia untuk memutuskan hukum (berkaitan dengan wilayah hukum lihat artikel saya yang akan datang).

PENUTUP

Akhirnya mari kita terus mengkaji dan mengamalkan apa yang kita yakini dengan teguh. Berpegang teguhlah pada dua kalimah syahadat. Mari kita mengingat bahwa perbedaan sebenarnya bukan pada ayat Al-Quran dan As-Sunnah. Perbedaan sebenarnya pada cara kita memahami. Perbedaan itu akhirnya hanya berbeda pemahaman. Bila demikian, artinya tidak ada yang mutlak benar. Semuanya adalah pendapat manusia. Manusia bisa meniti kebenaran dan dapat terpeleset pada kesalahan.

Ketika kita mengatakan ini berdasarkan ayat Al-Quran dan As-Sunnah, sebenarnya itu adalah pemahaman kita terhadap ayat Al-Quran dan As-Sunnah tersebut. Artinya, kita harus siap menerima adanya pemahaman lain yang dicapai oleh orang lain. Bila kita sudah memutlakan kebenaran pemahaman kita sendiri, merenunglah jangan-jangan kita secara tidak langsung sudah menempatkan diri jadi Tuhan atau Nabi.

Semoga berkah dan bermanfaat.




Selengkapnya...

Rabu, 18 Februari 2009

VALENTINE DAY ????

Valentine day adalah fenomena yang masih terus marak berkembang di berbagai belahan dunia. Umat Islam - terutama remajanya – semakin banyak yang terlibat dalam momentum tersebut.

Berkaitan hal ini, muncul dua komunitas muslim. Komunitas pertama adalah yang ikut serta dengan beraneka variasi pendapat dan aktifitasnya. Kedua adalah mereka yang tidak ikut serta bervalentine dan memegang hukum haram dan bid’ah bagi valentine days itu.

Komunitas yang memegang hukum haram dan bid’ah mayoritas mengetengahkan alasan bahwa valentine days adalah budaya (kebudayaan) non muslim. Dalil yang diketengahkan adalah hadits Rasul : "Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah saw., bersabda 'Barang siapa yang menyerupai (bertasyabbuh) suatu kaum, maka ia termasuk di kalangan mereka'." (H.R. Abu Daud dan disahihkan Ibnu Hibban).

Bila itu alasan (illat hukum) – budaya (kebudayaan) non muslim - dan dibangun dengan dalil keserupaan membuat kita termasuk mereka yang diserupai, maka umat Islam akan berhadapan dengan masalah luar biasa.

Apa masalahnya ??

Menurut para budayawan, kebudayaan sebagai produk manusia mencakup tujuh aspek.
  • Ilmu pengetahuan dan tekhnologi
  • Politik
  • Ekonomi
  • Sosial
  • Bahasa
  • Seni

Alasan hukum haram valentine karena merupakan budaya (kebudayaan) non muslim akan berefek pada haramnya semua produk budaya (kebudayaan) non muslim pada semua aspek. Kita ambil beberapa contoh :
  1. Olimpiade haram, karena pesta olahraga dunia ini awalnya adalah ritual pemujaan para dewa/dewi di Bukit Olympus-Yunani.
  2. Sepak bola haram, karena asalnya adalah ritual pemujaan bulan serta Yin-Yang di Cina (dicatat oleh Li You sekitar 55-135 Masehi). Selain itu sepak bola juga sudah dikenal suku Indian Astek di Amerika Latin beberapa abad lalu sebagai ritual kepada dewa untu menolak bala.
  3. Teori Evolusi haram, karena teori ini berpendapat manusia tidak berasal dari Adam-Hawa yg diciptakan Tuhan.
  4. Teori Fisika Kuantum haram, karena teori ini berpendapat bahwa alam semesta ini tidak diatur oleh kehendak Tuhan, melainkan oleh hukum probabilitas yg ditemukan oleh Blaise Pascal dari permainan judi dadu.
  5. Ilmu Statistik haram, karena dasar ilmu ini adalah permainan judi dadu seperti yang ditemukan oleh Blaise Pascal.
  6. Pergi ke Candi Borobudur (dan semua candi lain) haram, karena candi ini tempat ritual agama Buddha/Hindu, maka umat muslim diharamkan pergi ke sana.
  7. Tugu Monumen Nasional (Monas) haram, karena arsitekturnya merupakan simbol lingga (penis) dalam tradisi spiritual tantra, maka umat Islam haramkan wisata atau berkunjung ke Monas.
  8. Gedung DPR/MPR haram, karena arsitektur gedung ini menyerupai yoni (vagina) yang merupakan simbol dari spiritual Tantra, maka anggota DPR RI yang muslim haram hukumnya berkantor di sana.
  9. Bilangan nol haram, karena bilangan nol diusulkan oleh para brahmana Hindu (Brahmagupta dan Mahavira) pada abad ke-7 berdasarkan konsep Sunyata/Brahman-Atman.
  10. Menara Masjid haram, karena menara itu berasal dari kata manarah. Menarah adalah tempat untuk Api yang disembah kaum Majusi/Zoroaster.
  11. Kata Surga haram, baik dalam terjemahan Al-Quran atau bukan, karena kata Surga itu berasal dari bahasa Sansekerta dalam tradisi spiritual Hindu, yaitu: "Svarga".
  12. Ungkapan "Bhineka Tunggal Ika" yang terdapat pada lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia: Garuda-Pancasila haram, karena ungkapan tersebut berasal dari kitab "Kakawin Sutasoma" karya Mpu Tantular yang bertolak dari tradisi spiritual Hindu dan Buddha di Nusantara.
  13. Berbahasa Inggris haram, karena itu kebudayaan orang Inggris yang pada masa lalu merupakan pilar utama nasrani.
  14. Komputer, mobil, pesawat terbang, internet dan lainnya haram, karena itu produk tekhnologi yang ditemukan non muslim.
  15. Rumus phytagoras haram, karena itu produk pemikir dan ilmuwan Yunani.
  16. Huruf latin dan aneka huruf yang lain haram, karena berasal dari berbagai bangsa yang asalnya bukan muslim.
  17. dan masih banyak lagi produk kebudayaan

Bagaimana ini ??? Wah wah wah !!!

Akhirnya, saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini bukan untuk mendukung mereka yang memperkenankan valentine day dan menggugat mereka yang mengharamkan. Tulisan ini saya maksudkan sebagai pintu untuk merenung, bertafakkur dan introspeksi diri.Nampaknya hari ini umat Islam harus membangun pemahaman agamanya lebih mendalam. Umat Islam harus menjelajahi dalil agamanya lebih luas. Dengan pemahaman yang lebih komprehensif, keyakinan dan sikap akan berdasarkan dalil (hujjah / argumen) yang kuat dan dapat dipertanggungjawabakan. Umat Islam tidak terjebak bersikeras dengan argumen yang mudah dipatahkan dan dipermasalahkan.

Allahu a’lam



Selengkapnya...

TRADISI MENULIS DI PESANTREN

(tulisan ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat tanggal 4 Februari 2009)


Tradisi menulis umat Islam

Tulis menulis adalah tradisi umat Islam yang terus berkembang dari sejak masa generasi awal (salafus shalih). Aneka ragam karya tulis menjadi bagian dari khazanah umat Islam di berbagai negeri. Dalam berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan, umat Islam memiliki karya tulis.

Tradisi ini, menjadi bagian dari tradisi pesantren di Indonesia sebagai benteng dan gerbang ilmiyyah Islam. Berbagai karya tulis dari yang klasik sampai modern menjadi kajian di pesantren. Dari karya tulis yang ringan sampai yang menjelimet merupakan makanan keseharian para santri dan ajengan.

Materi kurikulum di pesantren tidak sekedar mempelajari fiqh, tauhid dan tashawwuf. Ilmu bahasa merupakan salah satu kajian utama para santri. Dari mulai sejarah bahasa, tata bahasa, filsafat bahasa sampai sastra bisa dikatakan materi yang wajib dikuasai para santri sebelum dapat dipandang sebagai ajengan.

Sistem kajian asli pesantren adalah sistem bedah kitab. Seorang ajengan akan membahas sebuah kitab dengan memperhatikan betul kebahasaan dan tingkat sastra kitab tersebut. Setiap kata akan dimaknakan. Mengapa kata itu dipergunakan ? Mengapa kalimatnya seperti itu ? Apa konsekuensi kata dan kalimat itu ?

Selain kitab aslinya yang dinamakan matan, dikaji pula kitab syarh dan hasyiyyah. Syarh adalah penjelasan dari kitab matan yang ditulis seakan menjadi kesatuan kitab baru.. Hasyiyyah adalah penjelasan terhadap matan dan atau syarah yang ditulis dengan format komentar terhadap hal-hal tertentu dari kitab syarh atau matan.

Santri mengenal kitab taqrib dalam fiqih. Kitab ini dijelaskan menjadi kitab syarh berjudul fathul qarib. Fathul qarib dikenal memiliki banyak hasyiyyah, di antaranya Al-Bajuri.

Selain tradisi matan, syarah dan hasyiyyah, berkembang pula tradisi narasi dan syair. Banyak kitab matan yang berbentuk sya’ir, dibuatkan syarahnya berbentuk narasi. Banyak pula kitab narasi yang dibuatkan kitab baru berbentuk sya’ir.

Al-Ajurumiyyah adalah matan narasi untuk kajian tata bahasa ‘Arab yang menjadi kajian utama santri pemula. Lepas Al-Ajurumiyyah, santri mengenal kitab ‘Imritihi. Imrithi adalah bentuyk nazhm (nadoman ; sunda) atau syair dari Al-Ajurumiyyah.

Dalam fiqh, santri menganel pula syair dan matan tersebut. Safinah sebagai matan dalam ilmu fiqh yang dikaji santri pemula disyarahi menjadi kitab Kasyifatus saja. Selain itu, dinazhmkan pula menjadi kitab Inaratud Duja.

Tradisi ini tidak hanya sekedar menjadi kajian, namun berkembang pula menjadi karya-karya baru para ajengan dan santri santri Indonesia. Bila kita menengok madrasah-madrasah diniyyah di pedesaan kita akan menjumpai para murid madrasah diniyyah mendapatkan pelajaran berbentuk nadoman (syair) dalam bahasa daerahnya. Orang sunda dengan nadom sunda. Orang Jawa dengan nadom Jawa.Nadoman-nadoman tersebut adalah karya para ajengan dan santri Indonesia.

Nadoman dan karya tulis tersebut, tidak lepas dari nilai-nilai sastrawi. Bisa kita temukan bagaimana para ajengan itu membuat syair-syair yang murwakanti (bersajak). Bahkan dapat dibermati dalam berbagai moment tabligh, ceramah dan taushiyyah, tradisi murwakanti menjadi bagian dari model dan gaya penyampaian para ajengan.

Latar belakang nilai karya tulis pesantren

Karya para santri dan ajengan ini berkembang dari nilai-nilai spiritual. Rasa, rumasa dan raksa adalah tiga hal utama yang dipergunakan. Simak bagaimana kisah masyhur tentang Syaikh Ibnu Malik ketika menyusun kitab Nazhm Al-Fiyyah. Saat beliau sampai pada syair yang mengungkapkan kelebihan karyanya dari karya Syaikh Ibnu Mu’thi, beliau terhenti dan kehilangan inspirasi. Inspirasi itu kembali setelah beliau bertemu dalam mimpi dengan syaikh Ibnu Mu’thi, kemudian beliau menuliskan syair yang menunjukkan bahwa walaupun yang beliau susun lebih baik, namun yang lebih berhak mendapatkan pujian adalah Syaikh Ibnu Mu’thi karena posisinya sebagai pendahulu. Nilai kesombongan dan tawadhu’ yang menjadi inti dari kisah itu.

Nilai-nilai spiritual itu kadang kala menjadi sesuatu yang kontroversial ketika memasuki wilayah tashawwuf falsafi atau tashawwuf cinta. Ungkapan sastrawi romantisme cinta Tuhan, kadang membawa simbol-simbol yang secara lahiriyyah seakan bertentangan dengan akal dan iman.

Umat Islam terbagi menjadi dua kelompok besar dalam menyikapinya. Kelompok pertama memandang ungkapan-ungkapan kontroversial itu sebagai kesesatan. Islam tidak memperkenankan ungkapan-ungkapan tersebut. Para penulis dan penyairnya dikatakan telah sesat, bahkan sampai dikatakan murtad.

Kelompok kedua memandang ungkapan-ungkapan kontroversial itu wajar saja sebagai bagian dari sastra yang berasal dari rasa romantisme. Sebuah ungkapan sastra romantis tidak bisa dipahami secara redaksional leterlek. Ungkapan-ungkapan seperti itu perlu penelaahan mendalam terhadap makna-makna sebenarnya yang bersembunyi dibalik kata-kata.

Kelompok kedua, di antaranya menunjukkan contoh bagaimana dua sejoli yang sedang dilanda cinta mengatakan “engkau dan aku adalah satu”. Tidak logis, karena engkau dan aku adalah dua bukan satu. Namun, romantisme tidak melihat logika matematika itu. Ramantisme merujuk pada rasa dan rumasa yang melatarbelakangi ungkapan itu. Cinta membuat orang merasakan kebersamaan dan kesatuan.

Metamorfosa karya tulis anak pesantren

Karya santri dan ajengan berkembang dan mengalami pasang dan surut. Sebuah gaya penulisan yang berkembang dan trend di satu kurun berubah pada kurun yang lain. Thema yang menjadi trend berubah pula pada setiap kurun.

Pada masa lalu, nadoman adalah karya favorit santri dan ajengan. Nadoman ini berkembang luas dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Nadoman-nadoman menjadi bahan ajar di madrasah. Nadoman-nadoman menjadi pembuka pengajian. Nadoman-nadoman menjadi buah tutur dan lagu rakyat.

Seiring perjalanan waktu nadoman surut dan digantikan puisi. Trend nadoman berganti dengan trend menulis puisi. Muncullah para penyair berlatar belakang pesantren.

Trend puisi berkembang disertai dengan penulisan lagu. Anak pesantren merambah dunia tarik suara. Anak pesantren membuat grup qashidah. Anak pesantren membuat grup nasyid. Bahkan anak pesantren membuat grup band.

Trend puisi bergeser kepada trend menulis novel. Muncullah ayat-ayat cinta, ketika cinta bertasbih, trilogi ma’rifat cinta dan lai8n sebagainya.

Trend ini sedang bergerak lagi menjadi trend penulisan skenario. Trend ini berawal dari kesadaran anak pesantren untuk berdakwah memanfaatkan dunia entertainment. Trend ini mulai menemukan energi maju dimulai dengan sinetron bernuansa religi setiap ramadhan. Momentum menuju trend dimulai dengan suksesnya film ayat-ayat cinta.

Metamorfosa akan terus terjadi. Trend penulisan akan selalu berubah. Mungkin akan kembali pula ke trend masa lalu. Nadoman suatu saat akan kembali menemukan kejayaannya.

Penutup

Prinsip bagi dunia menulis pesantren sebenarnya bukanlah bentuknya. Prinsip penulisan di dunia pesantren adalah nilai-nilai spiritual yang melatarbelakanginya.

Nilai-nilai spiritual itulah yang harus dijaga agar tetap menjadi dasar danmotivasi setiap karya. Upaya mengalihkan kepada nilai-nilai materialistik harus dicegah.

Santri dan ajengan memang membutuhkan alat duniawi untuk hidupnya dengan wajar. Namun, alat duniawi jangan berubah menjadi nilai prinsip yang melatarbelakangi karya yang dilakukan.

Tetaplah dengan mahabbatullah (cinta Allah). Bertahanlah dari godaan hubbudunya (cinta dunia).


Selengkapnya...

GOLPUT HALAL, GOLPUT HARAM

(tulisan ini pernah dimuat diHarianPikiran Rakyat tgl 3 Februari 2009)

Fenomena golput terus meningkat dalam setiap pilkada. Kondisi ini tampaknya mulai mengkhawatirkan banyak pihak, terutama para elite politik. Tingginya angka golput melemahkan legitimasi kekuasaan yang diperoleh para elite kukuasaan politik.

Fenomena ini membawa sebagaian elit politik menarik sisi agama untuk berbicara tentang golput.

Bagaimana sebenarnya golput itu ?

KONSTITUSI

Dalam Konstitusi Indonesia, memilih dan dipilih adalah hak bukan kewajiban. Hal ini berbeda dengan konstitusi Amerika yang menempatkan memilih sebagai hak dan kewajiban. Bila memilih dan dipilih adalah kewajiban, maka siapa yang tidak melaksanakannya melanggar kewajiban. Para pelanggar kewajiban mendapatkan sangsi hukum. Bila memilih dan dipilih adalah hak, siapa pun bebas untuk mempergunakan ataupun melepaskan haknya tersebut.

Dalam konstitusi Indonesia, memilih adalah hak. Warga negara Indonesia dijamin oleh konstitusi kebebasannya untuk mempergunakan ataupun melepaskan hak memilih itu. Bila orang memilih golput artinya ia melepaskan haknya tersebut. Melepaskan hak bukanlah sebuah kejahatan. Siapa pun yang golput dilindungi keberadaannya oleh konstitusi Indonesia.

Yang sebenarnya bermasalah adalah undang-undang dan aturan pemilu yang memberikan batasan untuk orang yang berhak maju dalam pemilihan. Sebagai contoh, aturan bahwa pendidikan formalnya minimal SLTA, harus dari partai, maupun harus didukung oleh minimal 25 % suara. Aturan itu membelenggu dan merampas hak setiap individu warga negara untuk dipilih. Bila mengacu kepada status hak dipilih pada konstitusi, selayaknya mahkamah konstitusi harus membatalkan undang-undang atau pasal di undang-undang atau aturan yang melanggar konstitusi tersebut.

SYARI’AH

Memilih dan dipilih dalam masalah ini berkaitan dengan kepemimpinan. Islam mengharuskan umatnya untuk mengangkat pemimpin. Pengangkatan pemimpin adalah kewajiban (fardhu) menurut syari’ah. Dengan demikian, bila umat Islam tidak mengangkat pemimpin artinya mereka telah melanggar syari’ah.

Namun, mengangkat pemimpin adalah fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Mengangkat pemimpin adalah kewajiban yang dikenakan kepada seluruh anggota komunitas masyarakat, namun cukup dilakukan oleh sebagiannya saja.

Mengapa fardhu kifayah ? Apa dasarnya ?

Mari kita perhatikan sejarah khulafaur rasyidin. Setelah Rasulullah s.a.w. wafat, umat Islam mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. di Saqifah Bani Sa’idah. Proses tersebut dilakukan melalui musyawarah yang diikuti oleh sebagian kaum muslimin. Hasil musyawarah kemudian disepakati kaum muslimin yang lain dengan melaksanakan bai’at kepada Abu Bakar As-Shiddiq s.a. sebagai khalifah.

Pengangkatan ‘Umar bin Khaththab r.a. sebagai khalifah dilakukan melalui wasiat dari Abu Bakar As-Shiddiq r.a. Wasiat itu kemudian dilanjutkan dengan bai’at dari kaum muslimin.

Pengangkatan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. dilakukan melalui formatur yang ditetapkan khalifah ‘Umar bin Khththab r.a. Setelah itu dilanjutkan dengan bai’at oleh kaum muslimin.

Pengangkatan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib r.a. dilakukan atas permintaan masyarakat kepada beliau. Permintaan itu terkait dengan adanya kisruh politik sampai terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Umat Islam mengalami kekosongan kepemimpinan. Kekosongan itu ditindaklanjuti kaum muslimin dengan meminta ‘Ali bin Abi Thalib r.a. bersedia dibai’at sebagai khalifah.

Sejarah itu cukup menunjukkan bahwa memilih atau mengangkat pemimpin adalah fardhu kifayah. Dengan demikian, tidak memilih atau golput yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia tidak menjadi dosa selama ada anggota masyarakat yang lain yang melaksanakan kewajiban memilih.

Namun, agama akan memberikan penilaian terhadap motivasi atau niat golput. Bila motivasi golput itu karena rasa tidak peduli kepada nasib bangsa dan negara, sama artinya dengan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab dinilai sebagai orang tercela menurut syari’ah. Bila motivasi golput itu adalah amar ma’ruf nahyi munkar (sebagai peringatan terhadap elit politik atas perilakunya yang tercela), orang tersebut adalah pejuang dan pemberi nasehat. Para pejuang dan pemberi nasehat dinilai sebagai orang terpuji menurut syari’ah.

Sebaliknya, perlu pula diperhatikan motivasi mereka yang memilih. Bila motivasi memilih adalah tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, mereka adalah para pejuang. Pejuang adalah mereka yang dinilai terpuji menurut syari’ah. Bila motivasi memilih adalah kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompoknya, mereka dinilai sebagai orang egois. Egisme dinilai sebagai sifat tercela menurut syari’ah. Bahkan, egoisme ini dikategorikan ‘ashabiyyah. Rasulullah s.a.w. menyampaikan bahwa bukan termasuk umatku mereka yang berjuang dan bertindak atas nama ‘ashabiyyah (kepentingan pribadi atau kelompok dan golongannya saja).

Urusan golput tidak lepas dari urusan politik. Semakin tinggi golput semakin rendah legitimasi elite politik pemegang kekuasaan hasil pemilihan. Dengan demikian, menurunkan tingkat golput adalah kepentingan politik. Bila dikaitkan dengan permintaan fatwa haram atas golput, hal ini sebenarnya merupakan politisasi agama, membuat agama sebagai alat politik.

Secara teoritis dan realitas yang ada, golput menjamur dan lebih cepat berkembang di masyarakat perkotaan. Dengan demikian, permintaan untuk keluarnya fatwa haram patut dicurigai sebagai politisasi agama. Fatwa itu menjadi alat untuk menekan masyarakat dengan ditakuti-takuti oleh surga dan neraka. Pada akhirnya fatwa itu patut dicurigai akan dipergunakan sebagai alat kampanye.

Selain itu, permintaan fatwa itu menunjukkan elite politik sedang lari dan mengalihkan diri dari masalah sebenarnya. Golput sebenarnya merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap elite politik. Dengan demikian, masalah sebenarnya bukan halal dan haram, namun perilaku elit politik.

Bila golput disikapi elit politik dengan meminta fatwa haram, elit politik sedang berusaha menutupi masalah sebenarnya. Mereka tidak mau menyadari dan tidak mengakui kesalahannya yang membuat masyarakat kesal dan tidak mempercayai mereka lagi. Permintaan fatwa itu pun menunjukkan bahwa elit politik masih mempunyai paradigma kekuasaan.

Dari sisi perilaku, tindakan ini menunjukkan elite politik tidak bersedia untuk introspeksi diri. Elite politik tidak mau memperbaiki diri. Dalam kampanye menuju pemilu 9 April 2009 pun tampak, kekecewaan masyarakat adalah pada perilaku mereka. Namun, mayoritas kampanye bukan menunjukkan kualitas ilmu, amal dan akhlaq. Mayoritas kampanye dilakukan dengan pendekatan ekonomi. Masyarakat diiming-imingi dengan pemberian sesuatu. Suara masyarakat dibeli dengan bakti sosial, pengobatan gratis, khitanan massal, bola voli dan lain sebagainya. Para tokoh diiming-imingi bantuan untuk pribadinya dan atau lembaga serta organisasinya Secara maknawi, menurut saya, tindakan mengiming-imingi itu termasuk money politics. Secara syari’ah, tindakan tersebut merupakan suap dan haram.

Hasil bahtsul masail Nahdlatul ‘Ulama menunjukkan bahwa suap tidak hanya haram memberi dan menerimanya saja. Suap pun mengakibatkan jabatan atau pekerjaan yang diperoleh serta gaji yang diperoleh dari jabatan itu haram pula.

Mari kita mencoba memahami secara jernih dan lebih menyeluruh. Semoga menjadi manfaat untukperbaikan bangsa dan negara kita ke depan.Amiin.

Waalhu a'lam bissowab


Selengkapnya...

MENAKAR FATWA HARAM ROKOK

MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa rokok diharamkan untuk empat kategori. Pertama untuk anak-anak. Kedua untuk remaja. Ketiga untuk wanita (ibu hamil). Keempat untuk pengurus MUI.

Kita lepaskan dulu dari perbedaan pendapat tentang haram dan makruhnya rokok. Mari kita menakar fatwa haram rokok untuk empat kategori tersebut. Apa landasan syari’ahnya ?

Secara mendasar dan diakui bersama bahwa ketentuan syari’ah berimplikasi pahala dan dosa. Hal itu berarti surga dan neraka. Fatwa haram rokok menempatkan para peroko sebagai pendosa dan calon penghuni neraka.

Ketentuan syari’ah - dalam arti pahala dan dosa - disepakati dikenakan untuk mereka yang mukallaf. Mukallaf adalah mereka yang baligh dan berakal sehat. Selain mereka yang baligh dan berakal sehat tidak dikenai hukum dosa. Rasulullah Muhammad s.a.w. menyampaikan bahwa tidak dicatatkan amal (tidak dikenai dosa) dari tiga kelompok, pertama anak-anak sampai ia baligh, kedua orang tidur sampai ia bangun dan ketiga orang gila sampai ia waras.

Ketentuan mendasar itu sudah dengan jelas membantah fatwa MUI tentang haram rokok untuk anak-anak. Anak-anak tidak termasuk mukallaf. Anak-anak tidak dikenai sangsi dosa.

Bila dikaitkan dengan pendidikan anak dan hifzun nasl (menjaga kelangsungan generasi penerus), maka seharusnya yang dikenai fatwa adalah orang tua dan para pendidiknya. Larangan merokok buat anak-anak seharusnya difatwakan dengan wajib bagi orang tua dan pendidikan untuk melarang anak-anak merokok. Perhatikan fatwa tentang shalat ! Tidak ada fatwa haram anak-anak meninggalkan shalat. Fatwa yang ada adalah orang tua dan pendidik harus mengajari anak dan menyuruhnya shalat saat ia berusia tujuh tahun dan menghukumnya bila meninggalkan shalat setelah ia berusia sepuluh tahun.

Fatwa haram untuk remaja sangat tidak berdasar. Siapa yang dikatakan remaja ? Dalam syari’ah tidak ada pemilahan anak-anak, remaja dan dewasa. Pemilahan hanya anak-anak dan baligh.

Bila dikatakan remaja itu anak usia SMP dan SMA, maka kita kan menemukan dua kategori. Anak SMP mungkin ada sudah baligh ada yang belum. Anak SMA sudah baligh seluruhnya. Untuk yang belum baligh dikenai fatwa anak-anak. Untuk yang sudah baligh dikenai fatwa mukallaf. Mukallaf tidak dibedakan karena usia. Satu fatwa bagi mukallaf berlaku untuk semua usia.

Fatwa haram untuk pengurus MUI lebih tidak berdasar lagi. Apa yang membedakan status pengurus MUI dengan mukallaf yang lain di hadapan syari’ah ? Tidak ada. Ingatkah MUI bahwa ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada kerahiban ?

Bila fatwa ini diberlakukan, maka salah satu konsekuensi logia adalah para waulama yang tetap berpendapat rokok itu makruh dan mereka adalah perokok harus keluar dari kepengurusan MUI. Saya yakin, bila ini terjadi, MUI akan kosong karena ditinggalkan mayoritas pengurusnya.

Fatwa haram untuk wanita hamil menjadi fatwa paling mungkin bisa diterima. Bila hanya sekedar haram bagi perempuan, Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam status di hadapan hukum. Ada perbedaan pun prinsipnya hanya berkaitan dengan fitrah kewanitaan dan kelaki-lakiannya, seperti kehamilan dan menstruasi.

Bila haram merokok dikenakan pada perempuan dengan syarat ia hamil, maka ini memang khas perempuan. Mungkin ini memerlukan kajian yang lebih mendalam. Namun, setidaknya ada alasan syari’ah yang bisa diterima. Masalah fatwa ini bisa dikategorikan pada hifzun nasl (menjaga kelangsungan generasi penerus).

Akhirnya bila kita coba takar dengan prinsip dasar syari’ah, kita hanya menemukan tanda tanya besar pada fatwa MUI tentang haram merokok itu.

Ya Allah, kemana lagi saya harus mencari fatwa bila begini kondisinya ?

Ya Allah mungkin inilah saat para sufi ditunjukkan kebenarannya. Mereka memegang teguh nasehat Rasulullah s.a.w. “istafti qalbaka (mintalah fatwa pada hati nuranimu) !” Saat ini yang harus kita lakukan akan membersihkan dan menjernihkan hati dari kungkungan hawa nafsu sebagaimana yang dilakukan para sufi. Lalu kita meminta fatwa pada kejernihan dan kebeningan hati itu. Hanya hati yang bersihlah yang menangkap dengan jelas cahaya petunjuk ilahi.

Walllahu a’lamu bish showab.


Selengkapnya...

Sabtu, 10 Januari 2009

KAPITALISASI vs SPIRITUALISASI

Perjuangan dan pergerakan umat Islam selalu diwarnai oleh dua kubu yang tidak sepakat. Kubu pertama adalah penegak syari’ah berbentuk formalisasi syari’ah dalam undang-undang atau konstitusi. Kedua adalah penegak syari’ah dalam sebuah kuultur kehidupan.

Sepanjang sejarah pergumulan umat Islam, kedua kubu ini sebenarnya dapat saling melengkapi. Namun, pada senyatanya sampai saat ini kedua kubu tidak akur dan cenderung tidak bersahabat. Kondisi ini ironis, karena sebenarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu tegaknya syari’ah.

Mengapa itu terjadi ?

Formalisasi Islam dalam bentuk negara Islam atau undang-undang syari’ah versus kulturalisasi Islam, menurut penulis, saat ini hanya wacana yang cenderung jadi topeng saja. Senyatanya yang terjadi adalah kapitalisasi versus spiritualisasi menurut istilah penulis.

Apabila ditelisik ke dalam, kelompok-kelompok pergerakan Islam hari ini sebetulnya sedang berebut kapital. Gerakan politik hanya merupakan alat untuk merebut penguasaan terhadap kapital. Dukungan terhadap partai dan kandidat dalam pemilu, baik oleh perorangan, organisasi keagamaan maupun tokoh keagamaan, cenderung lebih didominasi oleh pertimbangan kapital. Dukungan dikonversi dengan nilai kapital tertentu sebagai kompensasinya.

Pergerakan yang jadi potret dakwah sekali pun, hari ini diukur dengan kapital. Sudah bukan rahasia kalau sebagian para da’i akrab dengan tawar-menawar harga untuk tampil sebagai penceramah. Film, sinetron, lagu religius diukur oleh pasar yang artinya nilai kapital untuk para produser dan pelakunya. Bahkan masjid sekali pun, hari ini lebih cenderung mulai diarahkan menjadi pasar. Lihatlah konsentrasi pemberdayaan masjid adalah pemberdayaan ekonomi, bahkan sebagian masjid telah merubah pelataran, teras dan pintu masuknya menjadi pasar, menjadi toko, menjadi warung. Padahal dua hal itu diminta Rosululloh Muhammad s.a.w. untuk dipisahkan.

Kemajuan dan keterbelakangan umat diukur dari penguasaan ekonomi. Umat dipandang terbelakang karena miskin secara ekonomi. Salah ? Tidak, namun bila itu parameter utamanya, maka artinya parameternya adalah kapital.

Pesantren, madrasah bahkan TKA/TPA sudah mulai berubah menjadi perusahaan. Sadar atau tidak sadar, pesantren yang dianggap maju dan baik adalah pesantren yang berhasil membangun ekonominya, berhasil membangun perusahaan di pesantren, yang gedung-gedungnya mentereng. Nilai-nilai spiritual - aspek ketaqwaan - dari para kiai dan ustadz –nya sudah mulai tergeser.

Itulah kenyataan. Artinya, sekarang ini adalah era kapital. Umat Islam bukan sedang melakukan politisasi atau kulturalisasi Islam, namun sedang melakukan kapitalisasi Islam. Politiknya pun politik kapital.

Namun, masih ada segelintir yang berbeda. Mereka cenderung hari ini tersisihkan dari hingar bingarnya dunia. Mereka yang melakukan spiritualisasi Islam. Mereka membangun Islam sebagai nilai-nilai spiritual yang kemudian menjadi nafas dalam gerak kehidupan. Ukuran maju dan mundur bagi mereka bukan kapital, namun akhlaq. Mereka mencoba untuk memegang teguh sabda Rosululloh Muhammad s.a.w. “innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq (Sungguh Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia)”.

Bila Islam itu sebuah agama atau diin dalam bahasa Arab, maka perlu diperhatikan dan ditelaah apa sebenarnya Islam yang dibawa oleh Rosululloh Muhammad .s.a.w. Rasulullah SAW. pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “ya Rasullullah,apakah agama itu?” Rasulullah SAW. Bersabda, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi SAW. dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Dia bersabda, “akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi SAW. dari sebelah kirinya,”apakah agama itu?” Beliau bersabda,”akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatanginya dari belakang dan bertanya, “apakah agama itu?” Rasulullah SAW. menoleh kepadanya dan bersabda,”belum jugakah kau mengerti? Agama itu akhlak yang baik. Sebagai misal, janganlah engkau marah”.

Kelompok yang sedang memilki trend berkembang membesar adalah kelompok golput. Kelompok golput adalah kelompok abu-abu. Sebagian kelompok golput diwarnai kapitalisasi. Alasan golput didominasi lebih baik kerja daripada nyoblos atau nyoblos atau tidak nyoblos sama saja tidak akan merubah ekonomiku.

Sebagian lain kelompok golput diwarnai spiritualisasi. Mereka melihat tidak ada pilihan, semua kandidat cenderung menawarkan kapitalisasi. Semua tidak menunjukkan akhlaqul karimah, kampanyenya saja cenderung akal-akalan dan mengakali peraturan – cenderung melihat peraturan dari teksnya bukan dari spiritnya. Mengakali teks mengabaikan spirit.

Siapa yang masuk surga ? Orang miskin atau orang kaya ? Penguasa atau rakyat jelata ? Jelas, yang masuk surga yang beriman dan beramal shaleh, tidak peduli apa ia miskin atau kaya, tidak peduli apa ia pejabat negara atau rakyat jelata.

Wallohu a’lam


Selengkapnya...