Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Rabu, 22 Desember 2010

MENGABAIKAN HADITS DO'IF MELANGGAR AL-QURAN

Hadits itu do'if, tidak bisa dipakai.
Hadits itu do'if, tidak diterima.
Hadits itu do'if tidak dipergunakan sebagai dalil.
Dalilnya hadits do'if, jadi tidak benar.
Dalilnya do'if, jadi bid'ah.

Ungkapan-ungkapan itu mungkin pernah kita terima dalam pembelajaran agama di kehidupan kita. Tapi benarkah ungkapan seperti itu ? Mari kita cek kebenaran ungkapan tersebut.

Hadits do'if biasanya dihadapkan secara berlawanan dengan hadits sohih. Hadits sohih dianggap benar dan hadits do'if dianggap salah.

Dalam masalah ini kita perlu memahami lebih mendalam penamaan derajat hadits dalam ilmu mustolah hadits. Bila kita terjemahkan, sohih artinya benar sedangkan do'if artinya lemah.

Sohih (benar) secara logika harusnya berlawanan dengan salah, bukan dengan do'if (lemah). Do'if (lemah) berlawanan dengan kuat bukan dengan sohih (benar).

Dengan memahami arti sohih dan do'if, dapat dipahami bahwa sohih dan do'if bukanlah berlawanan. Jadi perlu betul-betul dipahami bahwa do'if bukanlah salah.

Mengapa dikatakan s do'if (lemah) bukan salah ?

Sebuah hadits dikatakan do'if adalah karena diriwayatkan oleh orang yang fasiq (durhaka). Di antara kefasiqan itu adalah dia diketahui pernah atau suka berbohong. Jadi yang dinilai untuk menentukan do;if atau sohih adalah siapa yang meriwayatkan haditsnya, bukan isi haditsnya.

Pertanyaannya adalah apakah orang yang pernah atau suka berbohong pasti sama sekali tidak pernah berkata benar ? Apakah isi perkataan orang yang diketahui suka berbohong pasti selalu salah dan tidak ada yang benar walau satu kali atau sedikitpun ?

Kita ukur dengan diri kita saja. Apakah kita sendiri belum pernah berbohong satu kali pun ? Apakah kita belum pernah berkata benar satu kali pun ?

Nah, orang yang suka atau pernah berbohong mungkin saja suatu kali atau suatu saat dia berkata benar. Dan sangat mungkin bahwa dia berkata benar saat menyampaikan hadits tersebut.

Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa hadits do'if pun mempunyai kemungkinan benar. Bila hadits do'if mempunyai kemungkinan benar, maka tidak selayaknya hadits do'if diabaikan begitu saja. Yang harus dilakukan adalah melakukan penelitian atau klarifikasi terhadap isi hadits tersebut.

Melakukan penelitian ulang tersebut sesuai dengan perintah Allah : "bila orang fasiq membawa kabar, maka klarifikasilah/periksalah/tabayyunlah (in ja akum fasiqun binaba in fatabayyanu / Q.S. al-hujurot : 6)

Bila demikian perintah Allah SWT, maka membuang hadits do'if begitu saja adalah pelanggaran terhadap perintah Allah SWT. Yang sesuai perintah Allah SWT adalah meneliti kebenaran isinya. Kita tidak berhenti hanya sekedar setelah meneliti sanadnya (yang meriwayatkannya) saja

Konsekuensi dari hasil penelitian adalah bisa ditemukan bahwa isi hadits tersebut benar atau salah maupun tidak bisa dipastikan benar dan salahnya. Bila ditemukan bahwa isinya benar, maka hadits do'if sekalipun layak bahkan harus dipergunakan sebagai dalil.

Bagaimana kita menemukan isi hadits tersebut benar ?

Kita bisa menemukan kebenarannya melalui ditemukannya bukti-bukti penguat isi hadits tersebut pada Al-Quran, hadits-hadits yang lain maupun kenyataan dalam kehidupan.

Dengan demikian, kita perlu berhati-hati sehingga tidak mengabaikan begitu saja hadits do'if. Jangan sampai kita masuk kepada kategori beriman kepada sebagian dan ingkar terhadap sebagian, karena kita mengingkari kebenaran hanya karena itu diungkapkan dalam hadist yang sanadnya dipandang do'if, padahal isinya benar.

wallohu a'lam.

Selengkapnya...

Senin, 20 Desember 2010

JALAN LURUS BUKAN HANYA JALAN PARA NABI

Setiap hari kaum muslimin memohon ditunjukkan ke jalan yang lurus, paling tidak 17 kali. Setiap raka'at shalat akan dibaca "ihdinas sirotol mustaqim".

Mengapa jalan lurus selalu diminta ? Apa jalan lurus itu ?

Jalan lurus adalah jalan orang-orang yang mendapat nikmat dari Allah, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat. Dalam Al-Fatihah diungkapkan, "Sirotollazina an'amta 'alaihim goiril magdubi 'alaihim walad dollin".

Lalu siapa orang yang memperoleh nikmat Allah itu ?

Surat An-Nisa ayat 69 menjelaskan bahwa yang memperoleh nikmat Allah adalah :
  • Para nabi
  • Para siddiq
  • Para syuhada
  • Para solih
Bila penjelasan di surat an-nisa ini dipadukan dengan surat al-fatihah, maka ditemukan bahwa jalan yang lurus (assirot almustaqim) adalah jalannya empat kelompok tersebut.

Fenomena yang muncul adalah ternyata Allah tidak mencukupkan hanya mengungkapkan jalannya para nabi sebagai satu-satunya jalan yang lurus. Allah melanjutkan dengan mengesahkan jalan lain yang juga termasuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang siddiq, syuhada dan solih.

Dalam makna ini, kita menemukan isyarat bahwa ada yang tidak dilakukan para nabi, namun diterima oleh Allah sebagai bagian dari jalan yang lurus. Apa itu ? Yaitu pendapat dan amal orang-orang siddiq, syuhada dan solih.

Bila jalan mereka termasuk jalan yang lurus, maka sah untuk mengikuti mereka dalam beragama mencari rido Allah SWT, seperti mengikuti jalan para Nabi.

Selain itu, dalam pengungkapan kata siddiq, syuhada dan solih, Allah SWT menggunakan kalimat jama'. Jama' berarti menunjukkan banyak, yaitu tiga atau lebih dari tiga.

Kalimat jama' tersebut memberikan isyarat bahwa ada banyak jalan yang sama-sama diterima dan diridoi oleh Allah SWT. Artinya, berbeda pendapat dan amal dibenarkan dan dimungkinkan perbedaan itu tetap sama-sama berada dalam jalan yang lurus.

Dalam makna ini, kita menemukan dalil yang membenarkan adanya mazhab dan perbedaannya. Mengapa mengikuti mazhab syafi'i ? Karena imam syafi'i termasuk di antara orang-orang siddiq, syuhada dan solih. Seperti itu pula mengapa mengiktui mazhab hanafi, hambali maupun maliki.

Demikian pula, dalil tersebut membenarkan adanya berbagai toriqoh yang boleh diikuti. Mengapa mengikuti toriqoh qodiriyyah ? Karena Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani termasuk di antara para siddiq, syuhada dan solih. Demikian pula dengan toriqoh-toriqoh yang lain.


Selengkapnya...

Sabtu, 13 November 2010

RASULULLOH TIDAK MENGERJAKANNYA BUKANLAH DALIL

Itu bid'ah, karena Rosululloh s.a.w. tidak pernah mengerjakannya. Itu salah, karena Rosululloh s.a.w. tidak pernah melakukannya. Itu sesat, karena Rosululloh s.a.w. tidak pernah memperbuatnya.

Ungkapan-ungkapan seperti itu mungkin beberapa kali atau sering kita dengar. Tapi benarkah ungkapan seperti itu ? Atau jangan-jangan ungkapan itu salah ?

Kalimat-kalimat di atas adalah contoh penggunaan ungkapan "Rosululloh s.a.w. tidak pernah mengerjakannya" sebagai dalil untuk menunjukkan berbagai hal yang terlarang. Dengan demikian, ungkapan tersebut seakan menjadi dalil ijmali, yaitu dalil yang berlaku umum untuk segala hal. Ungkapan tersebut tidak diungkapkan sebagi dalil tafsili (dalil yang hanya berlaku secara spesifik untuk hal tertentu saja).

Ungkapan tersebut, biasa diperkuat dengan dalil "bahwa segala sesuatu yang tidak Rosululloh s.a.w. perbuat adalah bid'ah, dan setiap bid'ah ada;ah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka"

Benarkah demikian ?

Mari kita periksa.

Pertama dalam Al-Quran

Yang akan kita temukan dalam Al-Quran adalah "apa yang Rosululloh berikan pada kalian ambillah dan apa yang Rosululloh larang tinggalkanlah (Q.S. Al-Hasyr (59) : 7)".

Ternyata ayat Al-Quran memerintahkan meninggalkan apa yang Rosululloh s.a.w. larang, bukan yang Rosululloh s.a.w. tidak perbuat.

Kedua dalam As-Sunnah

Yang akan kita temukan dalam As-Sunnah adalah "Pertama mencari di kitabulloh. Bila tidak ada, maka langkah kedua adalah mencari pada sunnah Rosululloh. Bila pada sunnah Rosululloh s.a.w. tidak ada, maka langkah ketiga berijtihad"

As-Sunnah adalah segala ucapan, perbuatan dan sikap diam Rosululloh s.a.w. Rosululloh s.a.w. tidak mengerjakan sesuatu tidak termasuk dalam As-Sunnah.

Dan ditemukan bahwa yang tidak ada dalam As-Sunnah bukan sesat, terlarang atau bid'ah, tapi diputuskan melalui ijtihad.

Ketiga melihat kenyataan hidup

Akan kita temukan kenyataan hidup bahwa banyak hal dalam kehidupan kita yang tidak dilakukan oleh Rosululloh s.a.w. Di antara yang tidak dilakukan oleh Rosululloh s.a.w. adalah makan nasi, zakat profesi, naik mobil dan membangun menara masjid.

Bila "tidak dilakukan Rosululloh s.a.w. berarti sesat atau bid'ah atau salah" adalah dalil ijmali (berlaku umum pada berbagai hal), maka makan nasi, zakat profesi, naik mobil dan membangun menara masjid adalah sesat, bid'ah dan salah karena tidak dilakukan oleh Rosululloh s.a.w. Benarkah makan nasi haram ?

Bayangkan berapa banyak hal lain yang juga tidak dilakukan oleh Rosululloh s.a.w.

Keempat melihat kaidah usul dan kaidah fiqh

Kita akan temukan bahwa tidak melakukan sesuatu (at-tarku) tidak lah menunjukkan haram (at-tarku la yadullu 'alat tahrim), bahkan at-tarku tidaklah dipandang sebagai dalil (at-tarku laisa bidalilin).

Yang akan kita temukan sebagai petunjuk atau dalil haram adalah larangan (an-nahyu yadullu 'alat tahrim atau Al-aslu fin nahyi at-tahrim).

Dengan keempat sudut pandang tersebut, tidak ada satu pun yang mendukung bahwa "Rosululloh s.a.w. tidak melakukannya" sebagai dalil yang menunjukkan itu haram, sesat atau bid'ah". Bahkan tidak ada yang mendukung bahwa Rosululloh s.a.w. tidak melakukannya adalah sebuah dalil untuk menentukan hukum.

Dengan demikian, mengatakan sesuatu itu haram, sesat atau bid'ah dengan dalil (alasan) bahwa Rosululloh s.a.w. tidak mengerjakannya adalah tidak benar dan tidak memiliki landasan dalam agama.

hmmm....mari kita terus belajar dan merenung...

Selengkapnya...

Minggu, 22 Agustus 2010

BID'AH ATAU BUKAN


Bid'ah adalah perkara yang ditakuti oleh umat Islam. Bid'ah adalah sesuatu yang ditolak dan dipandang sesat serta diancam dengan neraka. Semua umat Islam berupaya menjauhi bid'ah. Semua umat islam berupaya menegakkan sunnah.

Namun, perbedaan pendapat tentang bid'ah tidak pernah berakhir. Umat Islam pada dasarnya saat ini terbagi menjadi dua kelompok besar dalam memahami bid'ah.
  1. Kelompok pertama pada intinya memahami bid'ah adalah segala hal yang tidak dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w.
  2. Kelompok kedua pada intinya memahami bid'ah sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran yang disampaikan Rosululloh Muhammad s.a.w.
Kelompok pertama tidak memberi peluang kepada hal apapun yang tidak dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Sedangkan kelompok kedua memberikan peluang kepada amal yang tidak dilakukan oleh Rosululloh s.a.w. namun tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w.

Menyikapi kondisi ini, seyogyanya kedua pihak mulai dengan konsistensi dirinya terhadap pendapatnya. Setelah konsisten, baru kemudian menjadikan konsistensinya itu sebagai teladan. Dengan demikian, dapat dijadikan ukuran oleh umat untuk memilih dengan baik, sebagaimana Rosululloh Muhammad s.a.w. berdakwah dengan keteladanan. Umat dapat merasakan bagaimana beragama dengan mengikuti pandangan-pandangan tersebut.

Kita ambil contoh beberapa hal yang ada dalam praktek di masyarakat :

Peringatan Maulid Nabi.
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti peringatan maulid nabi, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan peringatan maulid nabi, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w.

Peringatan isro dan mi'roj
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti peringatan isro dan mi'roj, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan peringatan isro dan mi'roj, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w.

Peringatan nuzulul quran
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti peringatan nuzulul quran, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan peringatan nuzulul quran, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w.

Perayaan menyambut tahun baru hijriyyah
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti perayaan menyambut tahun baru hijriyyah, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan perayaan menyambut tahun baru hijriyyah, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w.

Ceramah tarawih
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti ceramah tarawih, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan peringatan ceramah tarawih, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w. Ingat ceramah tarawih menambahi shalat tarawih dengan khuthbah (ceramah) sebelum shalat tarawih yang ini tidak pernah dilakukan Rosululloh Muhammad s.a.w.

Kuliah Shubuh
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti kuliah shubuh (tradisi ramadhan), karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan kuliah shubuh, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w. Ingat kuliah shubuh ini pun seperti ceramah tarawih. Bedanya ceramah tarawih ditambahkan sebelum shalat, kuliah shubuh ditambahkan setelah shalat.

Kajian menjelang berbuka
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti kajian menjelang berbuka, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan kajian menjelang berbuka, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w. Ingat berbuka adalah bagian dari ibadah puasa. Membuat kajian menjelang berbuka adalah menambahi ibadah buka puasa.

Khuthbah Jum'ah, Idul Fithri, Idul Adhha, Istisqo dan Gerhana dengan selain bahasa Arab
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti Khuthbah Jum'ah, Idul Fithri, Idul Adhha, Istisqo dan Gerhana dengan selain bahasa Arab, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan Khuthbah Jum'ah, Idul Fithri, Idul Adhha, Istisqo dan Gerhana dengan selain bahasa Arab, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w. Ingat khuthbah pada shalat-shalat tersebut adalah bagian dari ritual peribadahan yang telah jelas bagaimana prakteknya Rosululloh Muhammad s.a.w. Ingat tidak sah shalat jum'ah tanpa khuthbah.

Yasinan dan Shalawatan
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti yasinan dan shalawatan, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan yasinan dan shalawatan, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w.

MABIT (malam bina iman dan taqwa)
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti MABIT, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan MABIT, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w.

Pengajian bulanan dan mingguan
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti pengajian bulanan dan mingguan, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan pengajian bulanan dan mingguan, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w. Ingat pengajian bulanan dan mingguan intinya sama dengan maulidan dan rajaban. Maulidan adalah menetapkan adanya pengajian setiap bulan maulid. Rajaban adalah menetapkan adanya pengajian setiap bulan rajab. Bulanan adalah menetapkan adanya pengajian setiap bulan. Mingguan adalah menetapkan adanya pengajian setiap minggu.

Halal bi halal
Kelompok pertama harusnya tidak melaksanakan dan mengikuti halal bi halal, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh Muhammad s.a.w. Kelompok kedua harusnya mengikuti dan melaksanakan halal bi halal, karena memandang tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh Muhammad s.a.w. Ingat halal bi halal dikaitkan dengan idul fitri

Mungkin sementara cukup. Bila dibutuhkan, insya Allah akan ditambahkan lagi pada kesempatan lain.

Selengkapnya...

Senin, 05 Juli 2010

FENOMENA SISI LAIN ISRO MI'ROJ


Bila ditelaah, isro dan mi'roj menunjukkan sesuatu yang mungkin akan sangat mengagetkan, karena berbeda dengan citra pemahaman yang ada secara umum.

Di seluruh dunia, kaum muslimin meyakini peristiwa isro dan mi'roj Nabi Muhammad s.a.w. Kaum muslimin meyakini dalam isro dan mi'roj tersebut, Nabi Muhammad s.a.w. bertemu dengan para Nabi terdahulu, shalat bersama para Nabi terdahulu, mendapat do'a dari para nabi terdahulu dan menerima nasehat dari para Nabi terdahulu. Bahkan perintah shalat yang lima waktu pun merupakan hasil dari diterimanya oleh Nabi Muhammad s.a.w. masukan dari Nabi Musa a.s.

Kejadian tersebut setidaknya menunjukkan :

1. Dimungkinkan adanya pertemuan mereka yang telah meninggal dunia dengan yang masih hidup. Hal ini ditunjukkan dengan pertemuan Nabi Muhammad s.a.w. dengan para nabi terdahulu yang jelas telah meninggal dunia.

2. Ada kekecualian terhadap hadits "ketika anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal.....". Ternyata ada orang yang masih dapat beramal saat telah meninggal dunia. Hal ini ditunjukkan dengan shalatnya para Nabi yang terdahulu bersama Nabi Muhammad s.a.w. Bukankah shalat adalah amal ? Demikian pula do'a dan nasehat adalah amal.

3.D imungkinkan yang masih hidup bercakap-cakap, bahkan belajar dan mendapatkan nasehat dari yang telah meninggal dunia. hal ini ditunjukkan oleh dialog Nabi Muhammad s.a.w. dengan para Nabi terdahulu yang telah meninggal dunia. Demikian pula dengan adanya nasehat dari Nabi Musa a.s. kepada Nabi Muhammad s.a.w.

Dari sisi ini, isro Mi'roj tersebut dapat menunjukkan :
1. Sahnya pemahaman yang membenarkan menghadap Nabi Muhammad s.a.w. saat beliau telah wafat dan meminta beliau mendo'akan. Bukankah itu ditunjukkan pula dilakukan oleh para Nabi yang terdahulu yang telah meninggal dunia saat bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w.

2. Sahnya pemahaman yang membenarkan adanya pertemuan antara yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia. Sekaligus sahnya apa yang dikenal dengan istilah barzakhi, yaitu belajar atau mendapatkan nasehat dari mereka yang telah meninggal dunia.

Pemahaman tersebut mungkin akan dikritik dengan ungkapan "kejadian-kejadian itu adalah mukjizat khusus untuk Nabi Muhammad s.a.w. dan tidak berlaku untuk umatnya"

Kritik ini setidaknya akan mendapatkan dua jawaban :

1. Nabi Muhammad adalah contoh teladan. Tidaklah menjadi contoh teladan, apabila apa yang beliau lakukan tidak bisa dilakukan oleh umatnya, kecuali bila memang ada dalil yang mengkhususkan bahwa itu hanya berlaku untuk Nabi Muhammad s.a.w.

2. Pada surat Al-isro ayat pertama, Allah sampaikan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. mengalami kejadian-kejadian tersebut saat dalam kedudukannya sebagai 'abdi / hamba (subhanallazi asro bi'abdihi...../maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya.....), bukan Nabi dan bukan Rosul. Kedudukan sebagai hamba inilah kedudukan yang sama antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan manusia yang lain, walau dengan pencapaian kesempurnaan kehambaan yang berbeda.

Ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa hal tersebut terjadi pada Nabi atau Rosul yang jelas tidak bisa dicapai oleh manusia yang lain. Hal yang berkaitan dengan Nabi dan atau Rosul inilah yang tidak bisa diperoleh manusia yang lain, karena tidak ada manusia lain yang menjadi Nabi dan atau Rosul setelah Nabi Muhammad s.a.w.

Nampaknya banyak yang harus kita pelajari dan kaji ulang dalam agama ini. Banyak hal yang belum kita ketahui dan pahami dengan menyeluruh. Yuk mari mengaji lagi.....

Wallohu a'lam

Selengkapnya...

Jumat, 02 April 2010

LIBURKAH JUM'AH MENURUT AJARAN ISLAM ?

Yahudi dan Nashrani menggunakan hari raya mingguannya untuk libur. Yahudi libur di hari Sabtu. Nashrani libur di hari Minggu.

Apakah umat Islam libur pula hari Jum'at ?

Bani Isroil memang dikisahkan di dalam Al-Quran diperintahkan libur pada hari Sabtu dan diperintahkan mengisi sabtu itu dengan beribadah kepada Allah. Para pelanggar ketentuan hari sabtu ini dihukum dengan dikutuk menjadi "kera yang hina" (Q.S. Al-Baqoroh : 63-66)

Apakah umat Nabi Muhammad s.a.w. sama diperintahkan libur pada hari jum'at dan mengisi hari jum'at dengan beribadah kepada Allah SWT seperti bani Isroil ?

Mari kita jelajahi.

Al-Quran petunjuk bagi umat Muhammad s.a.w. menunjukkan hukum jum'at pada surat Al-Jumu'ah ayat 9 - 11.

Ayat 9 berbicara tentang sebelum shalat jum'at :

"Hai orang-oran yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui"

Pada ayat 9 ini jelas, bahwa sebelum adzan shalat jum'at dikumandangkan, umat muhammad s.a.w. diperkenankan untuk berdagang dan melakukan aktifitas (keduniawian) lainnya. Seluruh aktifitas itu harus ditinggalkan saat adzan dikumandangkan. Dengan demikian jelaslah bahwa sebelum shalat jum'at bukan waktu libur bagi umat Muhammad s.a.w.

Ayat 10 berbicara tentang setelah shalat jum'at :

"Apabila shalat telah selesai ditunaikan, maka bertebaranlah kalian di muka bumi ; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung"

Pada ayat sembilan ini jelas bahwa setelah selesai shalat jum'at diperintahkan untuk beraktifitas mencari karunia Allah (rizki dan ilmu di antaranya). Dengan demikian jelaslah bahwa setelah shalat jum'at bukan waktu libur bagi umat Muhammad s.a.w.

Dengan dua ayat ini ditunjukkan bahwa sebelum dan sesudah shalat jum'at bukanlah waktu libur bagi umat Muhammad s.a.w. Dengan demikian tidak pada tempatnya umat Muhammad s.a.w. membuat jum'at sebagai hari libur, karena tidak sesuai dengan petunjuk Al-Quran.

Ayat 11 berbicara tentang peringatan meninggalkan shalat jum'at :

"Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar menuju kepadanya (perniagan dan permainan) dan mereka meninggalkan kamu sedang berdiri (berkhuthbah). Katakanlah, "Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dari pada permainan dan perniagaan", dan Allah sebaik-baik pemberi rizki."

Ayat ini jelas menunjukkan ada dua hal yang membuat orang meninggalkan shalat jumat, yaitu aktifitas ekonomi dan permainan (bersenang-senang / berekreasi)

Bila kajian kita arahkan kepada kondisi sosial yang ada, kita temukan ;

Pertama, aktifitas ekonomi yang sedemikian padat. Apabila kita melaksanakan begitu saja sesuai dengan teks ayat 9, maka banyak orang akan tertinggal khuthbah, bahkan tertinggal shalat jum'ah. Mengapa ?

Orang baru meninggalkan aktifitasnya saat adzan berkumandang. Saat itu mereka perlu waktu untuk bergerak menuju masjid tempat shalat jum'at dan bersuci untuk melaksanakan shalat jum'at. Dengan jumlah yang banyak dan fasilitas bersuci yang ada, maka akan terjadi antrian yang panjang dan waktu yang cukup lama. Waktu itu bisa membuat waktu jum'at terlewat.

Bila kita cermati kondisi ini, maka kita sangat memahami ijthad sohabat 'Utsman bin 'Affan r.a. yang membuat adzan dua kali. Saat adzan pertama dikumandangkan, bila orang baru meninggalkan aktifitasnya, maka masih ada waktu baginya sebelum khotib naik mimbar. Waktu yang ada berkisar 10 menit. Khotib naik mimbar, salam, kemudian adzan kedua, ini katakanlah sekitar 5 menit. Jadi ada waktu sekitar 15 menit sebelum khuthbah disampaikan.

Bandingkan dengan satu adzan. Prakteknya adalah Khotib naik mimbar, salam, kemudian adzan. Maka waktu yang tersedia sekitar lima menit. Mungkin waktu lima menit itu baru keluar dari kantor dan belum ngantri di tempat wudhu.

Bila dikatakan bahwa kita harus bersiap-siap sebelum adzan dikumandangkan, itu hal baik, namun bukan kewajiban. Ayat 9 itu jelas menunjukkan meninggalkan pekerjaan itu saat adzan berkumandang.

Alhamdu lillah, ijtihad sohabat 'Utsman bin 'Affan r.a. dengan dua adzan adalah solusi pelaksanaan masalah ini, sehingga orang tidak tertinggal khuthbah jum'ah. Ijtihad ini bisa dipahami sebagai pelaksanaan antisipasi dari peringatan pada ayat 11-nya.

Kedua, rekreasi atau bermain sedemikian mewabah dalam kebudayaan masyarakat kita. kebiasaan "weekend" sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Pada saat libur weekend, orang bepergian jauh, berekreasi, bermain dan berkumpul acara keluarga. Mengapa ? karena weekend itu adalah hari libur.

Bila libur jatuh hari jum'at, maka umat Muhammad s.a.w. berada dalam kondisi safar (bepergian jauh). Dengan kondisi safar itu, maka umat Muammad s.a.w. saat hari jum'at mendapatkan keringanan tidak wajib melaksanakan shalat jum'at. Bisa dibayangkan bahwa setiap minggu ada banyak orang (bisa jadi suatu ketika mayoritas) umat Muhammad s.a.w. tidak shalat jum'at dan tidak berdosa karena itu.

Dengan demikian, kebijakan libur hari jum'at bukan mendukung pelaksanaan shalat jum'at, malah bisa jadi mendukung meninggalkan shalat jum'at, karena menjadi waktu berpergian jauh untuk rekreasi, bermain dan acara-acara lain.

Di sini, kita pahami tepatnya para 'ulama yang tidak berjuang menjadikan jum'at sebagai hari libur. Biarlah hari libur tetap hari sabtu dan hari minggu. Tidak membuat jum'at sebagai hari libur bisa dipandang sebagai pelaksanana antisipasi dari peringatan pada ayat 11-nya.

Wallohu a'lam

Selengkapnya...

Jumat, 08 Januari 2010

PULRALISME YES PLURALISME NO

Dalam sambutan saat pemakaman K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur), presiden RI - Susilo Bambang Yudoyono - menyampaikan penghargaan dengat menyebut Gus Dur sebagai bapak pluralisme dan bapak multikulturalisme.

Penghargaan tersebut diterima dengan suka cita dan pengakuan yang sama oleh banyak orang dari berbagai kalangan agama, budaya dan etnik bahkan negara. Bamun, bagi sebagian kalangan, pemberian gelar tersebut menjadi masalah. Titik masalah berkaitan dengan fatwa haram dan sesatnya pluralisme menurut MUI.

Fatwa MUI tersebut menjadi titik masalah lebih lanjut dengan diajukannya Gus Dur sebagai Pahlawan nasional. Bagaimana mungkin seorang pahlawan menganut aliran sesat ?

Mari kita kaji.

Dalam masalah pluralisme, bila kita melakukan kajian yang terbuka akan ditemukan berbagai makna yang berbeda. Di antara makna-makna tersebut adalah :

MAKAN MENURUT MUI :
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga

MAKNA YANG MENJADI KONVENSI :
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk

MAKNA MENURUT KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA (PUSAT BAHASA) :
Pularisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politik)

MAKNA MENURUT THE CONTEMPORARY ENGLISH - INDONESIA (PETER SALIM) :
Plurasisme adalah sifat, keadaan jamak (sosioligi) keadaan di mana kelompok yang besar dan kecil dapat mempertahankan identitasnya di dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan ; teori filsafat yang mengatakan bahwa kenyataan terdiri dari dua unsur atau lebih

MAKNA MENURUT WEBSTER'S THIRD NEW INTERNATIONAL DICTIONARY (MERIAM - WEBSTER INC., SPRINGFIELD, MASSACHUCETTS, USA):
Pluraslisme adalah the quality or state of being plural (ethical pluralism, which speculated on the variety of political systems that became possible once the moral value of group life was acknowledged)

Dengan demikian, ketika ada orang yang berbicara tentang pluralisme, maka kita harus melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Makna yang mana yang dimaksud ? Kita tidak dapat secara langsung mengatakan bahwa pluralisme yang dimaksud adalah yang diharamkan dan dipandang sesat oleh MUI.

Cara tabayyun ini tidak hanya berlaku untuk masalah Gus Dur, namun harus juga dilakukan pada setiap orang yang mengikuti, mengatakan, menyebarkan dan mengajarkan pluralisme. Kita tidak bisa langsung memvonis mereka sesat sebagaimana fatwa MUI. Mungkin saja mereka menggunakan kata pluralisme untuk makna yang berbeda dengan makna dalam fatwa MUI.

Sebagai bagian dari upaya husnuz zonn (berbaik sangka), kita bisa memaknakan pluralisme dalam ucapan presiden menggunakan makna yang menjadi konvensi atau yang sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia, bukan seperti yang dimaknakan oleh MUI. Dengan demikian, masalah bisa kita pandang menemukan pemecahannya.

Semoga menjadi bahan untuk memperkaya khazanah ilmiah kita dan menghindarkan kita dari kejahilan.

Selengkapnya...

Minggu, 03 Januari 2010

GUS DUR PASTI MASUK SURGA ??

Hey, berani sekali anda berkata begitu. Apakah anda telah mendapat SK sebagai panitia seleksi surga dari Allah ? Atau anda telah merasa menjadi Tuhan ? Atau anda telah mengkultuskan Gus Dur ?

Bukan, bukan karena itu semua. Gus Dur pasti masuk surga adalah sebuah opini. Tapi bukan opini tak berdasar. Sebagai muslim, ada hadits rujukan yang dapat direnungkan.


Dari Anas r.a. : Ada jenazah diiringi lewat di hadapan para sahabat, lalu mereka memuji kebaikannya. Kemudian Nabi s.a.w. bersabda, “wajabat (sudah dapat dipastikan baginya)”. Sesudah itu datang pula jenazah lain diiringi dan orang-orang mengungkapkan keburukannya. Nabi pun bersabda, “wajabat”. Kemudian sahabat ‘Umar bin Khaththab r,a, bertanya, “Apa yang dimaksud dengan wajabat ?” Nabi s.a.w. menjawab, “(yaitu) jenazah yang kalian memuji kebaikannya, sudah dapat dipastikan sorga baginya dan jenazah yang kalian ungkapkan keburukannya sudah dapat dipastikan neraka baginya, sebab kalian semua merupakan para saksi Allah di bumi” (H.R. Bukhory-Muslim / muttafaq ‘alaih)

Gus Dur adalah orang yang saat jenazahnya diantarkan mendapatkan pujian tentang kebaikannya dari berbagai pihak. Bukan saja muslim, non muslim sekali pun mengakui jasa-jasanya. Tidakkah ia termasuk dalam kategori hadits tersebut ? semoga benar amin.
Hadits ini rujukan para ‘ulama, sehingga menjadi sebuah tradisi saat mengantarkan jenazah. Setiap jenazah akan diberangkatkan selalu ditanyakan, “Apakah semua yang hadir bersaksi bahawa jenazah ini seorang mukmin muslim yang shalih ?” Inilah upaya pertolongan dari semua saudara, tetangga dan kaum muslimin pada saudaranya yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Dengan kesaksian semua yang hadir, diharapkan jenazah termasuk kategori orang yang dipastikan masuk surga.

Memang ada masalah yang pernah terlontar. Pertama, apabila kita tidak tahu sama sekali tentang jenazah, apakah juga membuat kesaksian ? Kedua, apabila kita tahu buruknya perilaku si jenazah dan kita bersaksi baik bukan sebuah kebohongan ?

Masalah pertama ada dua jawaban yang sederhana. Pertama, tidak ada orang yang sama sekali tidak pernah berbuat baik sekali pun sepanjang hayatnya. Paling tidak, kita bisa yakin bahwa ia pernah tersenyum dalam hidupnya. Senyum adalah sebuah kebaikan. Bila senyum dipandang terlalu kecil, mungkin dia sudah berumah tangga. Berumah tangga artinya sebuah kebaikan. Ia telah mengikuti sunnah rosulullah s.a.w. Mungkin ia pernah sekolah atau mengaji. Sekolah dan mengaji adalah kebaikan. Mungkin ia memiliki pekerjaan. Bekerja adalah kebaikan.

Kedua, Islam mengajarkan berbaik sangka dan menjauhi berburuk sangka. Dengan demikian, selama kita tidak tahu keburukannya, maka kita harus menempatkannya sebagai orang baik.

Pada masalah yang kedua, ada dua jawaban pula. Pertama, Islam mengajarkan untuk tidak mencela orang yang telah meninggal dunia. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal , sebab mereka sudah mhabis masa kerjanya” (H.R. Bukhori).

Kedua, Islam mengajarkan untuk menutupi ‘aib orang lain. Rosululloh s.a.w menyampaikan, “Siapa yang menutupi aib-aib orang lain, maka Allah pasti menutupi aib-aibnya di hari kiamat”

Hmmmm…… bagaimana ya…..?


Selengkapnya...