Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Rabu, 22 Desember 2010

MENGABAIKAN HADITS DO'IF MELANGGAR AL-QURAN

Hadits itu do'if, tidak bisa dipakai.
Hadits itu do'if, tidak diterima.
Hadits itu do'if tidak dipergunakan sebagai dalil.
Dalilnya hadits do'if, jadi tidak benar.
Dalilnya do'if, jadi bid'ah.

Ungkapan-ungkapan itu mungkin pernah kita terima dalam pembelajaran agama di kehidupan kita. Tapi benarkah ungkapan seperti itu ? Mari kita cek kebenaran ungkapan tersebut.

Hadits do'if biasanya dihadapkan secara berlawanan dengan hadits sohih. Hadits sohih dianggap benar dan hadits do'if dianggap salah.

Dalam masalah ini kita perlu memahami lebih mendalam penamaan derajat hadits dalam ilmu mustolah hadits. Bila kita terjemahkan, sohih artinya benar sedangkan do'if artinya lemah.

Sohih (benar) secara logika harusnya berlawanan dengan salah, bukan dengan do'if (lemah). Do'if (lemah) berlawanan dengan kuat bukan dengan sohih (benar).

Dengan memahami arti sohih dan do'if, dapat dipahami bahwa sohih dan do'if bukanlah berlawanan. Jadi perlu betul-betul dipahami bahwa do'if bukanlah salah.

Mengapa dikatakan s do'if (lemah) bukan salah ?

Sebuah hadits dikatakan do'if adalah karena diriwayatkan oleh orang yang fasiq (durhaka). Di antara kefasiqan itu adalah dia diketahui pernah atau suka berbohong. Jadi yang dinilai untuk menentukan do;if atau sohih adalah siapa yang meriwayatkan haditsnya, bukan isi haditsnya.

Pertanyaannya adalah apakah orang yang pernah atau suka berbohong pasti sama sekali tidak pernah berkata benar ? Apakah isi perkataan orang yang diketahui suka berbohong pasti selalu salah dan tidak ada yang benar walau satu kali atau sedikitpun ?

Kita ukur dengan diri kita saja. Apakah kita sendiri belum pernah berbohong satu kali pun ? Apakah kita belum pernah berkata benar satu kali pun ?

Nah, orang yang suka atau pernah berbohong mungkin saja suatu kali atau suatu saat dia berkata benar. Dan sangat mungkin bahwa dia berkata benar saat menyampaikan hadits tersebut.

Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa hadits do'if pun mempunyai kemungkinan benar. Bila hadits do'if mempunyai kemungkinan benar, maka tidak selayaknya hadits do'if diabaikan begitu saja. Yang harus dilakukan adalah melakukan penelitian atau klarifikasi terhadap isi hadits tersebut.

Melakukan penelitian ulang tersebut sesuai dengan perintah Allah : "bila orang fasiq membawa kabar, maka klarifikasilah/periksalah/tabayyunlah (in ja akum fasiqun binaba in fatabayyanu / Q.S. al-hujurot : 6)

Bila demikian perintah Allah SWT, maka membuang hadits do'if begitu saja adalah pelanggaran terhadap perintah Allah SWT. Yang sesuai perintah Allah SWT adalah meneliti kebenaran isinya. Kita tidak berhenti hanya sekedar setelah meneliti sanadnya (yang meriwayatkannya) saja

Konsekuensi dari hasil penelitian adalah bisa ditemukan bahwa isi hadits tersebut benar atau salah maupun tidak bisa dipastikan benar dan salahnya. Bila ditemukan bahwa isinya benar, maka hadits do'if sekalipun layak bahkan harus dipergunakan sebagai dalil.

Bagaimana kita menemukan isi hadits tersebut benar ?

Kita bisa menemukan kebenarannya melalui ditemukannya bukti-bukti penguat isi hadits tersebut pada Al-Quran, hadits-hadits yang lain maupun kenyataan dalam kehidupan.

Dengan demikian, kita perlu berhati-hati sehingga tidak mengabaikan begitu saja hadits do'if. Jangan sampai kita masuk kepada kategori beriman kepada sebagian dan ingkar terhadap sebagian, karena kita mengingkari kebenaran hanya karena itu diungkapkan dalam hadist yang sanadnya dipandang do'if, padahal isinya benar.

wallohu a'lam.

Selengkapnya...

Senin, 20 Desember 2010

JALAN LURUS BUKAN HANYA JALAN PARA NABI

Setiap hari kaum muslimin memohon ditunjukkan ke jalan yang lurus, paling tidak 17 kali. Setiap raka'at shalat akan dibaca "ihdinas sirotol mustaqim".

Mengapa jalan lurus selalu diminta ? Apa jalan lurus itu ?

Jalan lurus adalah jalan orang-orang yang mendapat nikmat dari Allah, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat. Dalam Al-Fatihah diungkapkan, "Sirotollazina an'amta 'alaihim goiril magdubi 'alaihim walad dollin".

Lalu siapa orang yang memperoleh nikmat Allah itu ?

Surat An-Nisa ayat 69 menjelaskan bahwa yang memperoleh nikmat Allah adalah :
  • Para nabi
  • Para siddiq
  • Para syuhada
  • Para solih
Bila penjelasan di surat an-nisa ini dipadukan dengan surat al-fatihah, maka ditemukan bahwa jalan yang lurus (assirot almustaqim) adalah jalannya empat kelompok tersebut.

Fenomena yang muncul adalah ternyata Allah tidak mencukupkan hanya mengungkapkan jalannya para nabi sebagai satu-satunya jalan yang lurus. Allah melanjutkan dengan mengesahkan jalan lain yang juga termasuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang siddiq, syuhada dan solih.

Dalam makna ini, kita menemukan isyarat bahwa ada yang tidak dilakukan para nabi, namun diterima oleh Allah sebagai bagian dari jalan yang lurus. Apa itu ? Yaitu pendapat dan amal orang-orang siddiq, syuhada dan solih.

Bila jalan mereka termasuk jalan yang lurus, maka sah untuk mengikuti mereka dalam beragama mencari rido Allah SWT, seperti mengikuti jalan para Nabi.

Selain itu, dalam pengungkapan kata siddiq, syuhada dan solih, Allah SWT menggunakan kalimat jama'. Jama' berarti menunjukkan banyak, yaitu tiga atau lebih dari tiga.

Kalimat jama' tersebut memberikan isyarat bahwa ada banyak jalan yang sama-sama diterima dan diridoi oleh Allah SWT. Artinya, berbeda pendapat dan amal dibenarkan dan dimungkinkan perbedaan itu tetap sama-sama berada dalam jalan yang lurus.

Dalam makna ini, kita menemukan dalil yang membenarkan adanya mazhab dan perbedaannya. Mengapa mengikuti mazhab syafi'i ? Karena imam syafi'i termasuk di antara orang-orang siddiq, syuhada dan solih. Seperti itu pula mengapa mengiktui mazhab hanafi, hambali maupun maliki.

Demikian pula, dalil tersebut membenarkan adanya berbagai toriqoh yang boleh diikuti. Mengapa mengikuti toriqoh qodiriyyah ? Karena Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani termasuk di antara para siddiq, syuhada dan solih. Demikian pula dengan toriqoh-toriqoh yang lain.


Selengkapnya...