Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Jumat, 10 Oktober 2008

MENDUDUKAN PRO KONTRA RUU PORNOGRAFI

Bahwa di masyarakat telah terjadi pro dan kontra terhadap rancangan undang-undang pornografi. Pro kontra meluas dan dapat menjadi pertentangan horizontal antar warga masyarakat bangsa Indonesia. Banyak penjelasan lebih bersifat provokatif, menjelekkan pihak yang lain. Penjelasan bernada menuding pihak yang lain sebagai pelaku kemaksiatan atau penolak hukum Tuhan.

Hal tersebut jelas telah melenceng terlalu jauh dari masalah sebenarnya. Hal itu terjadi karena mereka sebetulnya tidak memahami apa perbedaan sebenarnya dari masing-masing pihak.

Masalah perbedaan yang sebenarnya adalah pada cara pemberantasan pornografi dan pornoaksi, bukan pada setuju dan tidaknya ada pornografi dan pornoaksi – bukan pada upaya-upaya untuk menegakkan atau melawan hukum Tuhan.

Sebagai upaya untuk lebih paham, mari kita perhatikan dua pandang tersebut tanpa berpihak :

TITIK SEPAKAT

Pihak pro RUU dan kontra RUU sepakat bahwa pornografi harus diberantas.

TITIK BERBEDA

Pihak pro RUU : Setuju bahwa pemberantasan dilakukan dengan membuat Undang-undang sehingga dapat terjadi tindak paksa melalui prosedur hokum. Dengan demikian moral masyarakat dapat diperbaiki.

Pihak kontra RUU : tidak setuju melalui undang-undang,,tapi selesaikan melalui dakwah dan pendidikan. Pornografi dan pornoaksi menyentuh masalah moral pribadi yang sesuai dengan ilmu, ideologi dan budaya masing-masing.

ALASAN PERBEDAAN

Pihak pro RUU : dengan undang-undang dapat ditegakkan syari’at islam. Warga yang melakukan pornografi dan pornoaksi dapat dihukum.Pemberantasan pornografi dan pornoaksi mempunyai kekuatan hukum. Moral masyarakat dapat diperbaiki.

Pihak kontra RUU : undang-undang selayaknya lebih mengurusi hal-hal yang berada di ruang publik (hubungan sosial masyarakat umum), bukan hal-hal di ruang privat (pribadi).

Dikhawatirkan undang-undang menyentuh ruang privat yang berupa kepercayaan, keyakinan dan agama warga negara sehingga terjadi monopoli kebenaran oleh negara, perbedaan pendapat menjadi dosa dan tindakan melanggar hukum. Dikhawatirkan terjadi sebagaimana masa lalu - ketika masa khilafah daulah Abbasiyyah dan Umayyah.

Pada masa itu, ketika kholifah (presiden / pemerintah) mendukung mazhab mu’tazilah maka mazhab yang lain ditangkapi dan dihukum. Ketika kholifah berganti dan berganti mazhab yang didukungnya, maka giliran mu’tazilah yang ditangkapi dan dihukum.

Selain Itu, merupakan sebuah kenyataan bahwa perbedaan budaya, keyakinana, agama dan mazhab terjadi di Indonesia.

Adapun masalah kekuatan hukum untuk pemberantasan pornografi dan pornoaksi cukup dengan mengunakan pasal-pasal mengenai pelanggaran kesusilaan yang telah ada dalam perundang-undangan Indonesia (KUHP) tidak perlu undang-undang baru secara khusus.

Dalam fiqh Islam tidak ada hukum hadd (sangsi pelanggaran dan kejahatan) untuk pelanggaran aurat. Yang ada diperkenankan dilakukan ta’zir (sangsi untuk pendidikan) .

Untuk perda-perda yang berkaitan dengan pelacuran pun, perlu difikirkan ulang, karena fiqih Islam hanya memperkenan hukuman terhadap pelacuran apabila telah dibuktikan dengan empat orang saksi yang melihat langsung terjadinya persetubuhan / perzinahan. Sedangkan perda-perda yang dibuat, seperti di Tangerang cenderung dapat dikenakan hukuman pelacuran tanpa empat saksi dan cukup didasarkan pada kecurigaan.

Dalam fiqh Islam dinyatakan bahwa mereka yang menuduh pelacur (penzina) tanpa bukti empat saksi, maka si penuduh yang mendapatkan hadd qozaf (sangsi karena melakukan kejahatan pemfitnahan)

KELEMAHAN KEDUA PIHAK
Pihak pro RUU : pelaksanaan undang-undang menjadi sulit, karena masyarakat Indonesia yang pluralis (berbeda-beda).Undang-undang harus membuat banyak kekecualian, seperti untuk masyarakat papua yang berbudaya koteka dan masyarakat yang mck-nya di satu desa masih satu (mck umum) dan terbuka, seperti di sungai.

Undang-undang perlu membuat kekecualian terhadap daerah tertentu, seperti bali yang masyarakatnya secara umum berbeda pandangan. Kondisi tersebut membuat undang-undang tidak berwibawa terhadap seluruh warga negara. Negara seakan-akan tidak berdaulat di wilayah tertentu.

Kesulitan ditambah pula dengan kondisi nyata bahwa undang-undang yang ada pun telah nyata sulit ditegakkkan, di mana-mana terjadi pelanggaran undang-undang, di mana-mana terjadi pelanggaran hukum.

Undang-undang yang ada telah nyata sulit penerapannya dalam masyarakat karena lemahnya aparatur penegak hukum. Dengan undang-undang baru dan kondisi aparat yang sama, tetap sulit undang-undang itu diterapkan. Jadi masalahnya adalah aparat penegak hukum, bukan undang-undang

Pihak kontra RUU : undang-undang yang ada belum secara detil mengatur, sehingga setiap perkara pornografi dan pornoaksi menjadi permasalahan hukum yang sedemikan lentur untuk ditafsirkan sesuai kehendak penafsirnya. Kekuatan hukum untuk pemberantasan pornografi dan pornoaksi yang ada saat ini masih lemah.

Cukuplah kiranya untuk mendudukkan masalah sehingga, semua pihak dapat melihat secara jernih. Dengan demikian dapat dipahami posisi dan argument kedua belah pihak. Insya Allah tidak ada satu pihak pun yang setuju pornografi. Tidak ada satu pihak pun yang bermaksud menentang hukum Tuhan. Mereka hanya berbeda dalam melaksanakannya dalam tataran teknis, karena sudut pandang yang berbeda.


Tidak ada komentar: