Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Selasa, 14 April 2009

DIHUKUM JANGAN YA .......

Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi sangsi, yang dikenai hanyalah pelaku kesalahan.

Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi ketetapan aturan, maka yang dikenai adalah semua makhluk di alam semesta. Semua makluk menggunakan ketetapan dan berada pada suatu aturan tertentu yang telah ditetapkan Pencipta. Mereka terikat dengan ketentuan yang berlaku di alam semesta yang biasa disebut dengan sunnatullah oleh para agamawan dan hukum alam oleh para ilmuwan.

Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi undang-undang formal yang berarti hukum positif, inilah yang menjadi perbincangan dan perbedaan.

Dalam hidup manusia ada tiga ruang, yaitu ruang privat, ruang publik dan ruang yang merupakan irisan antara ruang privat dan ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang privat adalah adalah ruang pribadi yang mana bisa dikatakan merupakan urusan pribadi seseorang tanpa bersentuhan dengan hak dan kewajiban orang lain.Yang dimaksud ruang publik adalah ruang bersama bagi setiap individu yang mana di sana bersentuhan antara hak dan kewajiban pribadi dengan hak dan kewajiban orang lain. Yang dimaksud ruang irisan adalah ruang pribadi yang tampil di ruang publik.

Berkaitan dengan ketiga ruang tersebut, manusia terbagi menjadi tiga mazhab hukum, yaitu :

Mazhab pertama

Mazhab pertama adalah komunitas yang berpendapat bahwa semua ruang itu dapat diatur menggunakan undang-undang formal. Mazhab ini cenderung dianut oleh kelompok agamis formalis. Yang saya maksud dengan agamis formalis adalah mereka yang berjuang menengakkan syari’at (ketentuan keagamaan mereka) menjadi undang-undang secara formal (hukum positif). Biasanya mereka ditandai dengan meletakkan azas agama pada “partai politiknya”.

Kelompok ini berkeyakinan bahwa negara (aparatnya) dapat mengontrol dan memasuki semua ruang kehidupan manusia. Negara mengatur hubungan dengan sesama manusia. Negara dapat mengatur hubungan dengan Tuhan. Negara dapat mengatur hak dan urusan pribadi. Dengan demikian, ruang privat menjadi hilang, karena orang lain yang dalam hal ini aparatur negara dapat memasuki dan mengaturnya. Mengapa ? Karena ketika sebuah ruang dimasuki undang-undang, ada kewenangan paksa yang dimiliki aparatur negara pada ruang itu.

Bagi mereka, pemerintah seakan “aparat Tuhan”. Hukum ditentukan oleh Tuhan. Tidak ada kewenangan manusia untuk menentukan hukum. Bagi kelompok ini, akhirnya tidak ada pembagian antara ruang publik, ruang privat serta ruang irisan. Semua ruang sama. Semua harus diatur oleh hukum Tuhan. Tidak ada demokrasi.

Hukum bagi mereka akhirnya adalah apa yang mereka pahami sebagai hukum Tuhan. Mereka cenderung tidak menerima pendapat orang lain. Bila menerima perbedaan pendapat, sama artinya dengan menerima adanya ruang privat. Dengan demikian, mazhab ini cenderung memutlakan kebenaran sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka saja. Yang berbeda dengan mereka sesat.

Pada masa lalu ada contoh berat berkaitan dengan mazhab hukum seperti ini. Masa Daulah Abbasiyyah dipimpin oleh khalifah Al-Ma’mun, negara bermazhab mu’tazilah. Dengan ketentuan negara, semua umat Islam harus bermazhab mu’tazilah. Siapa yang tidak sepaham dengan mu’tazilah sesat dan dihukum. Ketika kholifah Al-Ma’mun diganti, kholifah yang baru menetapkan mazhab ahlus sunnah sebagai mazhab negara. Saat itu, berganti kaum mu’tazilah yang dinyatakan sesat dan dihukum.

Terhadap kelompok ini di antara kritik yang disampaikan dikaitkan dengan firman Allah, “la ikroha fid din (tidak ada paksaan dalam beragama)”. Agama berada di ruang privat. Dengan demikian, tidak diperkenankan satu orang memaksa orang lain dalam urusan di ruang privat. Perbedaan agama dan pemahaman keagamaan adalah kenyataan.

Mazhab kedua

Mazhab kedua adalah komunitas yang berpendapat bahwa undang-undang diberlakukan pada ruang publik dan ruang irisan, tidak pada ruang privat. Ruang privat adalah urusan pribadi yang diatur oleh keyakinannya masing-masing.

Kelompok ini menolak pemberlakuan undang-undang pada urusan keagamaan. Mereka berkeyakinan urusan ini adalah urusan pribadi yang tidak boleh dipaksa orang lain.

Dalam urusan sosial budaya dan etika, mereka memasukkannya pada ranah undang-undang. Mereka memperkenankan undang-undang tentang hal-hal privat di ruang publik.

Penganut mazhab kedua ini kadang tepeleset memasuki ruang privat. Terpeleset yang sangat mungkin terjadi, karena pemisahan mereka tidak tegas. Demikian pula oleh para penganutnya yang oportunis cenderung dilakukan sebagai negosiasi politik – tergantung kepentingan dan keuntungan politiknya.

Mazhab ketiga

Mazhab ketiga adalah komunitas yang berpendapat bahwa undang-undang hanya berlaku pada ruang publik. Adapun ruang privat diatur oleh keyakinan pribadi. Dan ruang irisan diatur oleh etika sosial.

Bagi mereka, ruang privat adalah ruang spiritual yang sangat pribadi. Ruang irisan adalah ruang sosial budaya yang dibangun dengan rasa dan etika. Ruang publik adalah ruang duniawi yang negosiable. Ruang publik itu dibangun dengan kesepakatan formal yang orang dapat dipaksa untuk mengikuti dan melaksanakannya, karena berkaitan langsung dengan hak orang lain.

Mazhab ini yang sering dikritik sebagai kelompok sekuler – memisahkan agama dari negara. Kritik ini ada benarnya, bila melihat undang-undang formal. Mereka memang tidak menerima agama menjadi undang-undang atau hukum positif. Mereka berpendapat agama adalah hal privat, sedangkan undang-undang hanya boleh mencakup ruang publik. Undang-undang adalah wilayah musyawarah dan negosiasi. Agama adalah wilayah keyakinan yang tidak dapat dinegosiasikan.

Menganut pendapat mazhab ini bukan berarti tidak beragama dan tidak melaksanakan agama. Agama memang tidak mereka terima apabila dibuat sebuah undang-undang, namun mereka menerima agama sebagai nilai-nilai yang harus dilaksanakan setiap penganutnya pada segala aspek kehidupan. Mereka memandang agama adalah urusan privat yang menjadi bagian menyatu dengan diri setiap pribadi. Agama harus dilaksanakan sebagai sebuah keyakinan dan keikhlasan bukan sebagai sebuah paksaan, apalagi melalui aparatur negara.

Dalam syari’at Islam mereka menganut bahwa hadd hanya ada di ruang publik. Untuk pelanggaran terhadap ruang irisan yang berlaku adalah ta’zir. Sedangkan di ruang privat tidak ada hadd maupun ta’zir. Kalaupun di ruang privat ada ta’zir, itu berkaitan dengan kewajiban di wilayah pendidikan yang artinya berada di ruang irisan.

Mazhab ketiga ini menerima demokrasi. Bagi mereka demokrasi berada di wilayah negara yang berarti di wilayah publik. Wilayah itu adalah wilayah duniawi yang negosiable. Wilayah ini adalah wilayah manusia, sesuai sabda Nabi, “antum a’lamu bi umuri dunyakum”.

PENUTUP

Perbedaan ini akan terus ada. Yang paling penting adalah bagaimana mendidik diri sendiri dan umat manusia untuk siap hidup dalam perbedaan dengan damai. Tidak ada jalan untuk damai kecuali menerima adanya perbedaan.

Semoga berkah dan bermanfaat untuk kita semua. Amiin.



Selengkapnya...

ISLAM DAN DEMOKRASI


Demokrasi termasuk hal yang diperselisihkan oleh umat Islam (khilafiyyah). Satu komunitas mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian dari kekafiran. Komunitas yang lain mengatakan bahwa demokrasi diterima dan dibenarkan syari’at Islam. Ada pula komunitas ketiga yang mengatakan bahwa demokrasi hanya sebagai washilah dakwah saja.

Dimana titik perbedaannya ? Di mana titik pertemuannya ?

PERBEDAAN

Komunitas ketiga (yang mengatakan demokrasi sebagai washilah da’wah saja) sebenarnya mereka yang tidak mempunyai pendirian yang jelas. Ada benarnya, bila ada yang mengatakan bahwa mereka mencoba menghalalkan segala cara. Mengapa ? Ungkapan demokrasi hanya sebagai washilah da’wah menyiratkan dua hal. Pertama, jawaban mereka lari dari masalah pokok, yaitu diterima dan tidaknya esensi demokrasi oleh syari’at Islam. Kedua, menyiratkan pengakuan bahwa demokrasi itu salah, namun tidak bersedia meninggalkannya, sehingga mereduksinya menjadi hanya sekedar alat da’wah untuk membenarkan sikapnya mengikuti demokrasi. Kondisi ini perlu dibandingkan, dengan bolehkah mencuri untuk bersedekah ?

Dengan demikian, sebenarnya perbedaan hanya melibatkan dua pendapat, yaitu menerima dan tidak menerima. Titik perbedaan adalah pada penyikapan terhadap makna demokrasi.

Demokrasi dimaknakan sebagai kekuasaan di tangan rakyat. Sebagai pemilik kekuasaan, rakyat berhak membuat undang-undang. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui sistem perwakilan. Penunjukan perwakilan dilakukan melalui pemilu.

Mereka yang menolak demokrasi berhujjah bahwa haqq dan bathil telah jelas dan yang berhak menentukannya adalah Allah. Tidak ada kewenangan pada manusia untuk membuat undang-undang. Dasar utama yang diajukan adalah firman Allah, “inil hukmu illa lillah / menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (Q.S Al-An’am : 57) serta “kemudian apabila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan rasul-Nya (A-Sunnah) (Q.S. An-Nisa : 59)”.

Kelompok pertama ini akan bingung ketika berkaitan dengan hal-hal yang tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ambillah contoh lalu lintas. Tidak ada aturan Al-Quran dan As-Sunnah yang menetapkan merah harus berhenti, kuning hati-hati dan hijau jalan terus. Tidak ada pula ayat aAl-Quran atau As-Sunnah yang menetapkan berjalan itu di kiri atau di kanan, di sini boleh parkir atau tidak. Semua itu ditetapkan oleh manusia. Bagi mereka tidak ada kewenangan manusia membuat hukum.

Sedangkan mereka yang menerima demokrasi berhujjah bahwa syari’at Islam membuka pintu ijtihad. Keberadaan ijtihad dalam syari’at Islam diterima secara ijma’ (sepakat). Ijtihad adalah keputusan manusia dalam menetapkan hukum. Artinya manusia mendapat wewenang. Untuk membuat keputusan itu manusia mengerahkan kemampuan akalnya. Pengerahan kemampuan akal ini didukung dan diperintahkan dalam Al-Quran pada ayat yang sangat banyak.

Keberadaan ijtihad dikaitkan dengan amanah yang diberikan Allah kepada manusia. Amanah itu adalah mengemban tugas sebagai kholifatullah fil ‘ard. Kholifah berarti wakil. Dengan demikian, sebagai wakil Allah, sudah seharusnya mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu untuk melaksanakan tugas perwakilan itu. Hal itu yang ditunjukkan oleh firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin di antara kalian (Q.S. An-Nisa : 59)”.

Selain itu, demokrasi berada pada wilayah kenegaraan. Wilayah ini dipandang berada pada urusan duniawi. Dengan demikian berada pada koridor hadits “Antum a’lamu biumuri dunyakum (kalian lebih tahu berkaitan dengan urusan dunia kalian)”. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya cara yang baku yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. dalam urusan kenegaraan yang dibuktikan dengan berbedanya cara yang dilakukan dalam proses pengangkatan khulafaur rosyidin.

PERSAMAAN

Kedua komunitas yang berbeda dalam penerimaan terhadap esensi demokrasi bertemu pada tekhnis yang dilakukan. Tekhnis yang sama adalah musyawarah. Baik mereka yang menerima demokrasi maupun yang tidak, sama-sama mengakui keberadan musyawarah sebagai mekanisme yang diterima syari’at Islam.

Untuk musyawarah, mau tidak mau manusia akan berhadapan dengan sistem perwakilan. Di sinilah manusia tidak akan lepas dari yang namanya pemilihan di antara mereka. Di sinilah kemudian ada mekanisme yang bernama pemilu.

Bila keberadaan pemilu ditolak, bagaimana menentukan siapa yang berhak untuk menjadi wakil dalam musyawarah ? Ingat, Islam tidak menerima konsep penunjukan oleh Tuhan, kecuali untuk mengangkat Rasul-Nya. Yang menunjuk siapa yang berhak musyawarah adalah sesama manusia. Jelaslah kedua pihak apabila akan melaksanakan musyawarah akhirnya mengadakan pemilihan juga. Tidak ada mekanisme lain di luar pemilihan. Pemilihan dilakukan oleh masyarakat banyak dalam sistem “demokrasi” dan oleh pemimpin yangtelah ada bila menggunakan sistem feodal atau diktator.

Menggunakan sistem feodal atau diktator berarti menempatkan negara berada dalam konstitusi kerajaan. Perlu diingat, walaupun sejarah kepemimpinan negara umat Islam (katakanlah : khilafah ; coba baca juga artikel saya tentang khilafah) menunjukkan adanya sistem kerajaan, namun sistem itu berlaku setelah masa khulafaur rosyidin berakhir.

Apabila mereka yang berhak musyawarah ditentukan oleh kholifah, siapa yang saat ini berhak menjadi kholifah ? Siapa yang mengangkat kholifah ? Bagaimana kholifah diangkat ? Bila kholifah diangkat melalui musyawarah, masalah menjadi seperti telur dan ayam. Mana yang lebih dulu. Ayam atau telur ? Dewan syuro (yang melaksanakan musyawarah) atau kholifah ? Bukankah dewan syuro diangkat oleh kholifah dan kholifah diangkat oleh dewan syuro ?

Bila ada musyawarah artinya ada kewenangan yang diemban oleh dewan syuro. Kewenangan itu adalah mengambil keputusan atau ketetapan. Keputusan berupa ketetapan atas sesuatu disebut hukum (alhukmu itsbatusy syai lisy syai). Dengan demikian, artinya penerimaan terhadap musyawarah sebenarnya penerimaan terhadap adanya kewenangan manusia untuk memutuskan hukum (berkaitan dengan wilayah hukum lihat artikel saya yang akan datang).

PENUTUP

Akhirnya mari kita terus mengkaji dan mengamalkan apa yang kita yakini dengan teguh. Berpegang teguhlah pada dua kalimah syahadat. Mari kita mengingat bahwa perbedaan sebenarnya bukan pada ayat Al-Quran dan As-Sunnah. Perbedaan sebenarnya pada cara kita memahami. Perbedaan itu akhirnya hanya berbeda pemahaman. Bila demikian, artinya tidak ada yang mutlak benar. Semuanya adalah pendapat manusia. Manusia bisa meniti kebenaran dan dapat terpeleset pada kesalahan.

Ketika kita mengatakan ini berdasarkan ayat Al-Quran dan As-Sunnah, sebenarnya itu adalah pemahaman kita terhadap ayat Al-Quran dan As-Sunnah tersebut. Artinya, kita harus siap menerima adanya pemahaman lain yang dicapai oleh orang lain. Bila kita sudah memutlakan kebenaran pemahaman kita sendiri, merenunglah jangan-jangan kita secara tidak langsung sudah menempatkan diri jadi Tuhan atau Nabi.

Semoga berkah dan bermanfaat.




Selengkapnya...