Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Jumat, 10 Oktober 2008

HARAMKAH ROKOK ?

Wacana haram rokok terus mengemuka. Desakan terhadap MUI untuk mengeluarkan fatwa haram rokok terus berkembang. Komnas perlindungan anak dan menteri kesehatan pun memberikan dukungannya.

Secara sosiologis, wacana ini akan sangat bermasalah di MUI. Mengapa ? sebagian ulama, bahkan yang ketua dan ketua komisi fatwa adalah para perokok. Apalagi kalau melihat para ulama pemimpin pesantren salaf, mayoritas mereka adalah perokok.

Namun, lepas dari itu semua, MUI harus jujur membahas secara ilmiyyah berdasarkan ketentuan syari’ah. Kebiasaan merokok para ulama jangan dijadikan dalil atau ewuh pakewuh dalam membahas hukum rokok. Kejujuran dalam syari’ah dan ilmiyyah harus dijunjung tinggi oleh para ulama.

Bila kita melihat mazhab yang ada, umat Islam terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang memandang segala sesuatu harus ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kelompok ini cenderung untuk memaknakan ada dan tidaknya dalam Al-Quran dan As-Sunnah dari teksnya. Bila tidak ada teks dalam Al-Quran dan As-Sunnah, maka hal itu tidak sesuai dengan syari’ah.

Kedua, kelompok yang memandang bahwa Al-Quran dan As-Sunnah adalah usul (dasar / akar), sedangkan dalam hal furu’ (cabang) tidak perlu ada teks Al-Quran dan As-Sunnah-nya. Furu’ adalah keputusan yang didasarkan pada pemahaman terhadap teks dan konteks dari teks Al-Quran dan As-Sunnah. Selama berada dalam koridor makna, semangat, illat yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, maka itu sah sebagai ketentuan syari’ah furu’iyyah.

Bila kita merujuk cara kelompok pertama, menurut saya, rokok jelas tidak haram. Mengapa ? Karena sejauh yang saya dapatkan tidak ditemukan teks Al-Quran dan As-Sunnah yang menyatakan haramnya rokok.

Bila ini dikaitkan dengan ayat Al-Quran “wa laa tulquu biaidiikum ilat tahlukah (dan janganlah menjatuhkan diri kalian sendiri pada kerusakan)”. Dan rokok dikatakan berbahaya untuk kesehatan, sehingga sebagian dari kerusakan (tahlukah) itu. Maka jelas ini sudah keluar dari cara berpikir kelompok pertama. Cara itu sudah memasuki cara berpikir kelompok kedua. Rokok membahayakan kesehatan dan itu termasuk kategori “tahlukah” adalah pemahaman, bukan teks.

Sehingga, bila kelompok pertama ini jujur dan konsisten dengan keyakinannya, maka keputusannya rokok tidak haram. Tidak ditemukan teks Al-Quran maupun As-Sunnah yang menyatakan rokok haram.

Bila kita merujuk kepada keyakinan kelompok kedua, maka kita akan bertemu dengan rumusan maqoshidusy syari’ah (prinsip maksud syari’ah). Salah satu maksud syari’ah adalah menegakkan ke-maslahat-an.

Ke-maslahat-an dipertimbangkan pada lima hal pokok, yaitu agama (diin), diri (nafs), akal (aql), kepemilikan dan nafkah (maal) dan generasi penerus (nasl). Kelimanya mempunyai tiga derajat. Pertama, doruriyyah (primer). Kedua, hajiyyah (sekunder). Ketiga, tahsiniyyah (sekunder).

Doruriyyah adalah sesuatu yang harus dipertahankan untuk kelangsungan kemaslahatan manusia dan tidak boleh tidak. Sesuatu yang menjaganya secara langsung dikategorikan wajib. Sesuatu yang membahayakannya secara langsung dikategorikan haram.

Hajiyyah adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemudahan dalam kelangsungan kemaslahatan hidup. Sesuatu yang mendukungnya dikategorikan sunnah. Sesuatu yang menyulitkan atau membahayakannya secara tidak langsung dikatakan makruuh.

Tahsiniyyah adalah sesuatu yang berkaitan dengan keindahan dalam kemaslahatan hidup. Sesuatu yang mendukungnya dianjurkan (istihbaab). Sesuatu yang yang tidak mendukungnya dikategorikan mubaah.

Semua hal tersebut dalam berubah sesuai dengan keberadaan ‘illat (alasan / sebab) hukumnya. Bila ‘illatnya ada, maka hukumnya ada. Bila ‘illatnya tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada.

Dalam kasus rokok, mayoritas pendukung haramnya rokok merujuk pada membahayakan kesehatan. Artinya hal itu diarahkan pada dua hal. Pertama aspek diri (nafs) dan kedua aspek akal (aql).

Mari kita kaji.

Serangan rokok terhadap kesehatan diri, tidak secara langsung membahayakan jiwa (membunuh). Tidak pula secara langsung membuat hilangnya anggota tubuh (amputasi). Oleh karena itu dari sisi ini, rokok tidak dapat dikategorikan haram.

Serangan rokok terhadap kesehatan akal, tidak secara langsung menghilangkan akal, seperti nakotika atau minuman keras. Dengan demikian, dari sisi ini pun rokok tidak dapat dikategorikan haram.

Apabila bersikeras, cukup dengan alasan membahayakan kesehatan saja dan itu dipandang illatnya, maka semua yang membahayakan kesehatan harus diharamkan. Kita harus mengharamkan mobil, karena asapnya membahayakan kesehatan. Kita harus mengharamkan pabrik, karena asapnya membahayakan kesehatan. Bagaimana ?

Bila dipandang dari sisi jalan menuju penyalahgunaan narkotika, maka hal itu pun tidak secara langsung dapat dikategorikan membahayakan akal. Apalagi, tidak ada bukti yang jelas bahwa dari merokok pasti menjadi pecandu narkotika. Kata “pasti”, itu kuncinya untuk dapat membuat hal itu haram. Tidak semua perokok menjadi pecandu narkotika.

Bila kemudian dipergunakan kaidah saddudz dzariah (mencegah keburukan / bahaya) dan kaidah jalan / pendukung terjadinya sesuatu dihukumi sesuai hukum yang didukungnya, maka kita akan bertemu dengan sisi lain yang perlu dipertimbangkan. Sisi lain itu adalah nasib para pekerja pabrik rokok, petani tembakau, investasi dan kondisi ekonomi negara.

Pada sisi lain, haramnya rokok akan membahayakan secara langsung pada pekerjaan ratusan ribu orang. Saat rokok haram, maka pabriknya harus ditutup. Bila itu terjadi, maka ratusan ribu pekerja pabrik rokok secara langsung akan kehilangan pekerjaan yang berarti kehilangan nafkahnya. Kehilangan pekerjaan sebagai lahan mencari nafkah, menurut saya membahayakan sisi maal (kepemilikan dan nafkah). Oleh karenanya, fatwa haram rokok akhirnya malah membahayakan ke-maslahat-an yang seharusnya dijamin oleh syari’ah.

Bagaimana pula dengan nasib para petani tembakau ? Bagaimana nasib investasi di pabrik rokok ? Bagaimana nasib perekonomian negara ?

Bila kita kaji lebih jauh, kita akan bertemu dengan hilangnya pendapatan negara dari cukai dan pajak rokok. Menurut informasi, cukai dan pajak rokok adalah salah satu pendapatan negara yang terbesar. Bila itu benar, bersiap-siaplah, dengan fatwa haram rokok negara kita akan kesulitan keuangan. Artinya negara kita akan dipaksa untuk berutang lagi ke negara asing. Perlu diingat, pemberi utang adalah yahudi. Selama ini utang tidak berhasil menyelamatkan negara kita. Utang hanya membuat negara kita semakin terpuruk. Apalagi bila utang itu dari yahudi, artinya negara kita akan semakin lemah di hadapan kaum yahudi.

Kondisi ini membuat berlakunya kaidah fiqih “iza ta’arodo mafsadatani ru’iya a’zomuhuma dororon birtikabi akhoffihima dororon (bila berbenturan dua hal yang buruk / membahayakan, maka dijaga jangan sampai terjadi keburukan / bahaya yang terbesar / terberat dengan memilih membiarkan / menetapkan untuk melaksanakan yang keburukan / bahayanya paling ringan). Mana yang lebih berat ? Mana yang lebih ringan ?

Bila kondisinya seperti itu, manakah yang sebenarnya termasuk dalam koridor “wa laa tulquu biaidiikum ilat tahlukah (dan janganlah menjatuhkan diri kalian sendiri pada kerusakan)” ? Mana yang lebih menjunjung maslahat yang dimaksud syari’ah, haram rokok ataukah menetapkan kembali makruhnya rokok seperti yang dipahami selama ini oleh mayoritas muslim ?

Mari kita merenung. Mari kita mengkaji secara matang. Janganlah tergesa-gesa untuk melakukan sesuatu. Jangan pula emosional. Semoga kita semua mendapatkan petunjuk dan pertolongan sehingga mampu membumikan dan melaksanakan syari’ah dengan baik dan benar. Amiiin.


Tidak ada komentar: