Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Jumat, 10 Oktober 2008

HARAMKAH ROKOK ?

Wacana haram rokok terus mengemuka. Desakan terhadap MUI untuk mengeluarkan fatwa haram rokok terus berkembang. Komnas perlindungan anak dan menteri kesehatan pun memberikan dukungannya.

Secara sosiologis, wacana ini akan sangat bermasalah di MUI. Mengapa ? sebagian ulama, bahkan yang ketua dan ketua komisi fatwa adalah para perokok. Apalagi kalau melihat para ulama pemimpin pesantren salaf, mayoritas mereka adalah perokok.

Namun, lepas dari itu semua, MUI harus jujur membahas secara ilmiyyah berdasarkan ketentuan syari’ah. Kebiasaan merokok para ulama jangan dijadikan dalil atau ewuh pakewuh dalam membahas hukum rokok. Kejujuran dalam syari’ah dan ilmiyyah harus dijunjung tinggi oleh para ulama.

Bila kita melihat mazhab yang ada, umat Islam terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang memandang segala sesuatu harus ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kelompok ini cenderung untuk memaknakan ada dan tidaknya dalam Al-Quran dan As-Sunnah dari teksnya. Bila tidak ada teks dalam Al-Quran dan As-Sunnah, maka hal itu tidak sesuai dengan syari’ah.

Kedua, kelompok yang memandang bahwa Al-Quran dan As-Sunnah adalah usul (dasar / akar), sedangkan dalam hal furu’ (cabang) tidak perlu ada teks Al-Quran dan As-Sunnah-nya. Furu’ adalah keputusan yang didasarkan pada pemahaman terhadap teks dan konteks dari teks Al-Quran dan As-Sunnah. Selama berada dalam koridor makna, semangat, illat yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, maka itu sah sebagai ketentuan syari’ah furu’iyyah.

Bila kita merujuk cara kelompok pertama, menurut saya, rokok jelas tidak haram. Mengapa ? Karena sejauh yang saya dapatkan tidak ditemukan teks Al-Quran dan As-Sunnah yang menyatakan haramnya rokok.

Bila ini dikaitkan dengan ayat Al-Quran “wa laa tulquu biaidiikum ilat tahlukah (dan janganlah menjatuhkan diri kalian sendiri pada kerusakan)”. Dan rokok dikatakan berbahaya untuk kesehatan, sehingga sebagian dari kerusakan (tahlukah) itu. Maka jelas ini sudah keluar dari cara berpikir kelompok pertama. Cara itu sudah memasuki cara berpikir kelompok kedua. Rokok membahayakan kesehatan dan itu termasuk kategori “tahlukah” adalah pemahaman, bukan teks.

Sehingga, bila kelompok pertama ini jujur dan konsisten dengan keyakinannya, maka keputusannya rokok tidak haram. Tidak ditemukan teks Al-Quran maupun As-Sunnah yang menyatakan rokok haram.

Bila kita merujuk kepada keyakinan kelompok kedua, maka kita akan bertemu dengan rumusan maqoshidusy syari’ah (prinsip maksud syari’ah). Salah satu maksud syari’ah adalah menegakkan ke-maslahat-an.

Ke-maslahat-an dipertimbangkan pada lima hal pokok, yaitu agama (diin), diri (nafs), akal (aql), kepemilikan dan nafkah (maal) dan generasi penerus (nasl). Kelimanya mempunyai tiga derajat. Pertama, doruriyyah (primer). Kedua, hajiyyah (sekunder). Ketiga, tahsiniyyah (sekunder).

Doruriyyah adalah sesuatu yang harus dipertahankan untuk kelangsungan kemaslahatan manusia dan tidak boleh tidak. Sesuatu yang menjaganya secara langsung dikategorikan wajib. Sesuatu yang membahayakannya secara langsung dikategorikan haram.

Hajiyyah adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemudahan dalam kelangsungan kemaslahatan hidup. Sesuatu yang mendukungnya dikategorikan sunnah. Sesuatu yang menyulitkan atau membahayakannya secara tidak langsung dikatakan makruuh.

Tahsiniyyah adalah sesuatu yang berkaitan dengan keindahan dalam kemaslahatan hidup. Sesuatu yang mendukungnya dianjurkan (istihbaab). Sesuatu yang yang tidak mendukungnya dikategorikan mubaah.

Semua hal tersebut dalam berubah sesuai dengan keberadaan ‘illat (alasan / sebab) hukumnya. Bila ‘illatnya ada, maka hukumnya ada. Bila ‘illatnya tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada.

Dalam kasus rokok, mayoritas pendukung haramnya rokok merujuk pada membahayakan kesehatan. Artinya hal itu diarahkan pada dua hal. Pertama aspek diri (nafs) dan kedua aspek akal (aql).

Mari kita kaji.

Serangan rokok terhadap kesehatan diri, tidak secara langsung membahayakan jiwa (membunuh). Tidak pula secara langsung membuat hilangnya anggota tubuh (amputasi). Oleh karena itu dari sisi ini, rokok tidak dapat dikategorikan haram.

Serangan rokok terhadap kesehatan akal, tidak secara langsung menghilangkan akal, seperti nakotika atau minuman keras. Dengan demikian, dari sisi ini pun rokok tidak dapat dikategorikan haram.

Apabila bersikeras, cukup dengan alasan membahayakan kesehatan saja dan itu dipandang illatnya, maka semua yang membahayakan kesehatan harus diharamkan. Kita harus mengharamkan mobil, karena asapnya membahayakan kesehatan. Kita harus mengharamkan pabrik, karena asapnya membahayakan kesehatan. Bagaimana ?

Bila dipandang dari sisi jalan menuju penyalahgunaan narkotika, maka hal itu pun tidak secara langsung dapat dikategorikan membahayakan akal. Apalagi, tidak ada bukti yang jelas bahwa dari merokok pasti menjadi pecandu narkotika. Kata “pasti”, itu kuncinya untuk dapat membuat hal itu haram. Tidak semua perokok menjadi pecandu narkotika.

Bila kemudian dipergunakan kaidah saddudz dzariah (mencegah keburukan / bahaya) dan kaidah jalan / pendukung terjadinya sesuatu dihukumi sesuai hukum yang didukungnya, maka kita akan bertemu dengan sisi lain yang perlu dipertimbangkan. Sisi lain itu adalah nasib para pekerja pabrik rokok, petani tembakau, investasi dan kondisi ekonomi negara.

Pada sisi lain, haramnya rokok akan membahayakan secara langsung pada pekerjaan ratusan ribu orang. Saat rokok haram, maka pabriknya harus ditutup. Bila itu terjadi, maka ratusan ribu pekerja pabrik rokok secara langsung akan kehilangan pekerjaan yang berarti kehilangan nafkahnya. Kehilangan pekerjaan sebagai lahan mencari nafkah, menurut saya membahayakan sisi maal (kepemilikan dan nafkah). Oleh karenanya, fatwa haram rokok akhirnya malah membahayakan ke-maslahat-an yang seharusnya dijamin oleh syari’ah.

Bagaimana pula dengan nasib para petani tembakau ? Bagaimana nasib investasi di pabrik rokok ? Bagaimana nasib perekonomian negara ?

Bila kita kaji lebih jauh, kita akan bertemu dengan hilangnya pendapatan negara dari cukai dan pajak rokok. Menurut informasi, cukai dan pajak rokok adalah salah satu pendapatan negara yang terbesar. Bila itu benar, bersiap-siaplah, dengan fatwa haram rokok negara kita akan kesulitan keuangan. Artinya negara kita akan dipaksa untuk berutang lagi ke negara asing. Perlu diingat, pemberi utang adalah yahudi. Selama ini utang tidak berhasil menyelamatkan negara kita. Utang hanya membuat negara kita semakin terpuruk. Apalagi bila utang itu dari yahudi, artinya negara kita akan semakin lemah di hadapan kaum yahudi.

Kondisi ini membuat berlakunya kaidah fiqih “iza ta’arodo mafsadatani ru’iya a’zomuhuma dororon birtikabi akhoffihima dororon (bila berbenturan dua hal yang buruk / membahayakan, maka dijaga jangan sampai terjadi keburukan / bahaya yang terbesar / terberat dengan memilih membiarkan / menetapkan untuk melaksanakan yang keburukan / bahayanya paling ringan). Mana yang lebih berat ? Mana yang lebih ringan ?

Bila kondisinya seperti itu, manakah yang sebenarnya termasuk dalam koridor “wa laa tulquu biaidiikum ilat tahlukah (dan janganlah menjatuhkan diri kalian sendiri pada kerusakan)” ? Mana yang lebih menjunjung maslahat yang dimaksud syari’ah, haram rokok ataukah menetapkan kembali makruhnya rokok seperti yang dipahami selama ini oleh mayoritas muslim ?

Mari kita merenung. Mari kita mengkaji secara matang. Janganlah tergesa-gesa untuk melakukan sesuatu. Jangan pula emosional. Semoga kita semua mendapatkan petunjuk dan pertolongan sehingga mampu membumikan dan melaksanakan syari’ah dengan baik dan benar. Amiiin.


Selengkapnya...

BENCANA DIBALIK RUU PORNOGRAFI ; Perspektif Kekhawatiran

Pro kontra pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi dan bergulir menjadi isu yang ditebarkan oleh kelompok-kelompok, organisasi-organisasi maupun pribadi-pribadi. Penggalangan massa untuk mendukung sikapnya juga dilakukan oleh pihak yang pro maupun yang kontra.

Apabila dilakukan dengan keikhlasan dan saling menghormati serta menghargai perbedaan pendapat, kondisi tersebut merupakan dinamika yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya terjadi upaya-upaya yang dapat membuat warga bangsa menjadi cerdas. Selain itu, dapat pula terjadi langkah maju untuk dapat terbangunnya persepsi positif terhadap pluralisme dalam makna bahwa perbedaan adalah sebuah kenyataan bukan sebuah bencana.

Selain pro kontra terhadap keberadaanya, sebenarnya kemunculan RUU Pornografi dapat dikatakan sebagai “tragedi dan bencana” bagi bangsa dan negara. Bagaimana dapat demikian ? Apabila kita melihat RUU Pornografi sebagai akibat atau penyikapan dari realita kondisi sosial, maka kita akan dapat menemukan kebenaran pernyataan tersebut.

Munculnya RUU Pornografi setidaknya merupakan bukti dari beberapa hal. Di antaranya :
  • Kegagalan institusi keagamaan
  • Kegagalan institusi pendidikan
  • Kehancuran keluarga
  • Kehancuran sosial budaya
  • Kelemahan agamawan dan para pendidik
  • Kegagalan seluruh bangsa
  • Kegagalan pemerintah dalam membangun bangsa dan negara
  • Dilecehkannya Al-Quran dan As-Sunnah


  • KEGAGALAN INSTITUSI KEAGAMAAN DAN PENDIDIKAN

    RUU Pornografi adalah bukti kegagalan institusi keagamaan dan pendidikan. Ketika RUU Pornografi dimunculkan sebagai upaya menjaga dan memperbaiki moral, ditunjukkan bahwa institusi keagamaan dan pendidikan telah gagal dalam menjaga dan memperbaiki moral. Apabila institusi keagamaan dan pendidikan berhasil dalam melaksanakan fungsi dan kewajibannya, tidaklah bangsa kita membutuhkan UU Pornografi sebagai penjaga dan pemelihara moral. Tanpa UU Pornografi, bangsa yang beragama dan terdidik secara moral akan mempunyai kemampuan untuk berhadapan dengan rongrongan terhadap moralitasnya. Benarlah sebagaimana yang K.H. Abdurrahman Wahid katakan bahwa “semua lembaga keagamaan telah gagal.”

    Wibawa institusi keagamaan telah meluncur ke titik nadir. Fatwa sudah tidak didengar. Masjid sudah kosong. Pengajian sudah kehilangan harganya. Acara-acara keagamaan mungkin hanya “lifestyle” sesuai trend, bukan pengejawantahan dari substansi keagamaan itu sendiri. Dakwah telah menjadi tontonan bukan lagi tuntunan. Dakwah adalah industri “entertainment”. Muballigh adalah artis - selebritis. Popularitas da’i lebih penting dari keshalehan dan derajat ilmiyyahnya.

    Institusi pendidikan beralih fungsi secara substansial. Pada masa lalu dikenal lagu tentang pamitan seorang anak untuk belajar agar menjadi murid “budiman”, masa kini lagu tersebut diganti dengan kata murid “berprestasi”. Belum lagi kecenderungan yang dapat dicurigai sebagai “industrialisasi pendidikan” – pendidikan hanya buat mereka yang punya duit, dan tujuannya pun buat cari duit (kerja).

    Apabila perspektif tersebut dipergunakan, maka institusi keagamaan seyogyanya tidak hanya menjadi corong dan pengerah massa dalam pro kontra RUU Pornografi. Yang lebih penting bagi seluruh institusi keagamaan dan institusi pendidikan adalah melakukan otokritik. Reformasi terhadap institusi keagamaan dan institusi pendidikan adalah sebuah keharusan. Bahkan mungkin saat ini kita perlu revolusi pendidikan.

    KEHANCURAN KELUARGA DAN SOSIAL BUDAYA

    Munculnya RUU Pornografi jelas menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya sudah rusak berantakan. Etika sosial sudah tidak jelas. Kontrol sosial sudah tidak berjalan. Kepedulian sosial sudah terdegradasi. Dengan demikian masyarakat harus dipaksa oleh undang-undang.

    Gotong royong dan kebersamaan yang menjadi identitas bangsa sudah meluncur ke titik nadir. Warga negara sudah bergerak menuju manusia yang individualistik. Private domain sudah seakan diyakini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak beririsan dengan publik domain. Gue ya gue. Elu ya elu. Hancurlah manusia sebagai makhluk sosial.

    Individualistik ini menghancurkan keluarga dan rumah tangga. Keutuhan rumah tangga adalah karena kepedulian dan kesanggupan untuk berbagi, saling berempati, simpati dan partisipasi. Tata nilai “gue ya gue elu ya elu” telah menghancurkan arti penting kebersamaan. Anak tidak peduli pada orangtuanya. Orangtua melupakan anaknya. Institusi keluarga sudah tidak ada harganya. Orang tua sudah tidak ada wibawanya. Keluarga tidak dapat menjadi institusi pembinaan dan pengawasan. Perceraian menjadi lumrah bukan aib.

    Ketika memilih pasangan hidup, anak berkata, “Gue yang mau kawin bukan bokap”. Ketika mau sekolah, “Gue yang mau sekolah bukan nyokap”. Orang tua pun berkata, “Kamu yang menjalani, terserah kamu saja”. Di mana kepedulian dan kebersamaan sebuah keluarga ditempatkan pada ungkapan tersebut ? Keluarga hancur, berikutnya masyarakat berantakan.

    Apabila perspektif ini digunakan, maka masyarakat bukan seharusnya sibuk untuk beramai-ramai terlibat pro kontra RUU Pornografi. Masyarakat seharusnya melakukan introspeksi dan reformasi terhadap tatanan dan perilaku sosial budayanya. Ini mungkin hikmah dari bencana beruntun yang mendera bangsa. Kita harus kembali belajar untuk peduli.

    KELEMAHAN PARA AGAMAWAN DAN PARA PENDIDIK

    Kemunculan RUU Pornografi menunjukkan bahwa agamawan dan para pendidikan sudah sedemikian lemah. Agamawan dan pendidik sudah tidak punya wibawa dan kemampuan untuk mendidik dan menuntun umat. Umat sudah tidak memperdulikan mereka lagi, sehingga umat perlu dipaksa dengan undang-undang.

    Kondisi ini mungkin berawal dari dihancurkannya citra para ulama dengan slogan manis kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah. Slogan tersebut secara tidak langsung telah mereduksi posisi dan wibawa para ulama. Fatwa ulama sudah tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang harus diikuti.

    Kondisi ini mungkin semakin berat dengan turunnya kapasitas dan kapabilitas keteladanan yang ditampakkan oleh para ulama. Para ulama asyik dengan politik meninggalkan pembinaan umat. Para ulama bertengkar di antara mereka sendiri karena berbeda afiliasi politik yang dicurigai bermotifkan berbedanya kompensasi politik yang diperoleh. Saat umat lapar, para ulama asyik menggelar pertemuan makan-makan di hotel-hotel dan restaurant mewah. Saat umat harus berjalankan kaki, para ulama membeli kendaraan baru dan asyik hilir mudik dengan kendaraan mewah. Saat umat tergusur dari rumahnya, para ulama “membeli rumah” baru.

    DILECEHKANNYA AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

    Munculnya Rancangan Undang-undang Pornografi adalah bukti telah dilecehkannya Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini dapat dipahami dari dua sisi yang berbeda. Pertama dari sisi kewibawaan Al-Quran dan As-Sunnah. Kedua dari sisi pengamalan dan pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah.

    Dari sisi wibawa, munculnya RUU pornografi seakan melecehkan wibawa Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran dan As-Sunnah dipandang tidak cukup berwibawa untuk membangun moral dan etika. Umat dipandang akan lebih menurut apabila dipaksa oleh Undang-undang daripada dididik oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Undang-undang seakan-akan dipandang lebih berwibawa daripada Al-Quran dan As-Sunnah. Undang-undang lebih berefek dan lebih ditaati daripada Al-Quran dan As-Sunnah.

    Dari sisi pengamalan dan pemahaman, munculnya RUU Pornografi menunjukkan bahwa umat sudah tidak memahami dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan, mungkin mereka sudah menyingkirkan keharusan memahami dan mengamalkannya Al-Quran dan As-Sunnah dalam kehidupannya. Ukuran pendidikan adalah kemampuan bekerja dan mendapatkan uang, bukan pemahaman dan pengamalan Al-Quran dan As-Sunnah. Uang ditempatkan lebih tinggi dari pada memahami dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah.

    Bila kedua sisi ini benar, maka umat memerlukan pembaharuan keimanan. Yang sangat mendesak bagi umat adalah perubahan pardigam berpikir, dari materialistik kepada spiritualistik. Perubahan dari ukuran uang kepada ukuran iman.

    Akhirnya, semua latarbelakang munculnya Rancangan Undang-undang Pornografi adalah bukti kegagalan pembangunan bangsa Indonesia. Semua itu adalah bukti gagalnya para pemimpin bangsa. Pemerintah telah gagal. Agamawan dan budayawan pun telah gagal.


    Selengkapnya...

    MENDUDUKAN PRO KONTRA RUU PORNOGRAFI

    Bahwa di masyarakat telah terjadi pro dan kontra terhadap rancangan undang-undang pornografi. Pro kontra meluas dan dapat menjadi pertentangan horizontal antar warga masyarakat bangsa Indonesia. Banyak penjelasan lebih bersifat provokatif, menjelekkan pihak yang lain. Penjelasan bernada menuding pihak yang lain sebagai pelaku kemaksiatan atau penolak hukum Tuhan.

    Hal tersebut jelas telah melenceng terlalu jauh dari masalah sebenarnya. Hal itu terjadi karena mereka sebetulnya tidak memahami apa perbedaan sebenarnya dari masing-masing pihak.

    Masalah perbedaan yang sebenarnya adalah pada cara pemberantasan pornografi dan pornoaksi, bukan pada setuju dan tidaknya ada pornografi dan pornoaksi – bukan pada upaya-upaya untuk menegakkan atau melawan hukum Tuhan.

    Sebagai upaya untuk lebih paham, mari kita perhatikan dua pandang tersebut tanpa berpihak :

    TITIK SEPAKAT

    Pihak pro RUU dan kontra RUU sepakat bahwa pornografi harus diberantas.

    TITIK BERBEDA

    Pihak pro RUU : Setuju bahwa pemberantasan dilakukan dengan membuat Undang-undang sehingga dapat terjadi tindak paksa melalui prosedur hokum. Dengan demikian moral masyarakat dapat diperbaiki.

    Pihak kontra RUU : tidak setuju melalui undang-undang,,tapi selesaikan melalui dakwah dan pendidikan. Pornografi dan pornoaksi menyentuh masalah moral pribadi yang sesuai dengan ilmu, ideologi dan budaya masing-masing.

    ALASAN PERBEDAAN

    Pihak pro RUU : dengan undang-undang dapat ditegakkan syari’at islam. Warga yang melakukan pornografi dan pornoaksi dapat dihukum.Pemberantasan pornografi dan pornoaksi mempunyai kekuatan hukum. Moral masyarakat dapat diperbaiki.

    Pihak kontra RUU : undang-undang selayaknya lebih mengurusi hal-hal yang berada di ruang publik (hubungan sosial masyarakat umum), bukan hal-hal di ruang privat (pribadi).

    Dikhawatirkan undang-undang menyentuh ruang privat yang berupa kepercayaan, keyakinan dan agama warga negara sehingga terjadi monopoli kebenaran oleh negara, perbedaan pendapat menjadi dosa dan tindakan melanggar hukum. Dikhawatirkan terjadi sebagaimana masa lalu - ketika masa khilafah daulah Abbasiyyah dan Umayyah.

    Pada masa itu, ketika kholifah (presiden / pemerintah) mendukung mazhab mu’tazilah maka mazhab yang lain ditangkapi dan dihukum. Ketika kholifah berganti dan berganti mazhab yang didukungnya, maka giliran mu’tazilah yang ditangkapi dan dihukum.

    Selain Itu, merupakan sebuah kenyataan bahwa perbedaan budaya, keyakinana, agama dan mazhab terjadi di Indonesia.

    Adapun masalah kekuatan hukum untuk pemberantasan pornografi dan pornoaksi cukup dengan mengunakan pasal-pasal mengenai pelanggaran kesusilaan yang telah ada dalam perundang-undangan Indonesia (KUHP) tidak perlu undang-undang baru secara khusus.

    Dalam fiqh Islam tidak ada hukum hadd (sangsi pelanggaran dan kejahatan) untuk pelanggaran aurat. Yang ada diperkenankan dilakukan ta’zir (sangsi untuk pendidikan) .

    Untuk perda-perda yang berkaitan dengan pelacuran pun, perlu difikirkan ulang, karena fiqih Islam hanya memperkenan hukuman terhadap pelacuran apabila telah dibuktikan dengan empat orang saksi yang melihat langsung terjadinya persetubuhan / perzinahan. Sedangkan perda-perda yang dibuat, seperti di Tangerang cenderung dapat dikenakan hukuman pelacuran tanpa empat saksi dan cukup didasarkan pada kecurigaan.

    Dalam fiqh Islam dinyatakan bahwa mereka yang menuduh pelacur (penzina) tanpa bukti empat saksi, maka si penuduh yang mendapatkan hadd qozaf (sangsi karena melakukan kejahatan pemfitnahan)

    KELEMAHAN KEDUA PIHAK
    Pihak pro RUU : pelaksanaan undang-undang menjadi sulit, karena masyarakat Indonesia yang pluralis (berbeda-beda).Undang-undang harus membuat banyak kekecualian, seperti untuk masyarakat papua yang berbudaya koteka dan masyarakat yang mck-nya di satu desa masih satu (mck umum) dan terbuka, seperti di sungai.

    Undang-undang perlu membuat kekecualian terhadap daerah tertentu, seperti bali yang masyarakatnya secara umum berbeda pandangan. Kondisi tersebut membuat undang-undang tidak berwibawa terhadap seluruh warga negara. Negara seakan-akan tidak berdaulat di wilayah tertentu.

    Kesulitan ditambah pula dengan kondisi nyata bahwa undang-undang yang ada pun telah nyata sulit ditegakkkan, di mana-mana terjadi pelanggaran undang-undang, di mana-mana terjadi pelanggaran hukum.

    Undang-undang yang ada telah nyata sulit penerapannya dalam masyarakat karena lemahnya aparatur penegak hukum. Dengan undang-undang baru dan kondisi aparat yang sama, tetap sulit undang-undang itu diterapkan. Jadi masalahnya adalah aparat penegak hukum, bukan undang-undang

    Pihak kontra RUU : undang-undang yang ada belum secara detil mengatur, sehingga setiap perkara pornografi dan pornoaksi menjadi permasalahan hukum yang sedemikan lentur untuk ditafsirkan sesuai kehendak penafsirnya. Kekuatan hukum untuk pemberantasan pornografi dan pornoaksi yang ada saat ini masih lemah.

    Cukuplah kiranya untuk mendudukkan masalah sehingga, semua pihak dapat melihat secara jernih. Dengan demikian dapat dipahami posisi dan argument kedua belah pihak. Insya Allah tidak ada satu pihak pun yang setuju pornografi. Tidak ada satu pihak pun yang bermaksud menentang hukum Tuhan. Mereka hanya berbeda dalam melaksanakannya dalam tataran teknis, karena sudut pandang yang berbeda.


    Selengkapnya...