Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Selasa, 14 April 2009

ISLAM DAN DEMOKRASI


Demokrasi termasuk hal yang diperselisihkan oleh umat Islam (khilafiyyah). Satu komunitas mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian dari kekafiran. Komunitas yang lain mengatakan bahwa demokrasi diterima dan dibenarkan syari’at Islam. Ada pula komunitas ketiga yang mengatakan bahwa demokrasi hanya sebagai washilah dakwah saja.

Dimana titik perbedaannya ? Di mana titik pertemuannya ?

PERBEDAAN

Komunitas ketiga (yang mengatakan demokrasi sebagai washilah da’wah saja) sebenarnya mereka yang tidak mempunyai pendirian yang jelas. Ada benarnya, bila ada yang mengatakan bahwa mereka mencoba menghalalkan segala cara. Mengapa ? Ungkapan demokrasi hanya sebagai washilah da’wah menyiratkan dua hal. Pertama, jawaban mereka lari dari masalah pokok, yaitu diterima dan tidaknya esensi demokrasi oleh syari’at Islam. Kedua, menyiratkan pengakuan bahwa demokrasi itu salah, namun tidak bersedia meninggalkannya, sehingga mereduksinya menjadi hanya sekedar alat da’wah untuk membenarkan sikapnya mengikuti demokrasi. Kondisi ini perlu dibandingkan, dengan bolehkah mencuri untuk bersedekah ?

Dengan demikian, sebenarnya perbedaan hanya melibatkan dua pendapat, yaitu menerima dan tidak menerima. Titik perbedaan adalah pada penyikapan terhadap makna demokrasi.

Demokrasi dimaknakan sebagai kekuasaan di tangan rakyat. Sebagai pemilik kekuasaan, rakyat berhak membuat undang-undang. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui sistem perwakilan. Penunjukan perwakilan dilakukan melalui pemilu.

Mereka yang menolak demokrasi berhujjah bahwa haqq dan bathil telah jelas dan yang berhak menentukannya adalah Allah. Tidak ada kewenangan pada manusia untuk membuat undang-undang. Dasar utama yang diajukan adalah firman Allah, “inil hukmu illa lillah / menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (Q.S Al-An’am : 57) serta “kemudian apabila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan rasul-Nya (A-Sunnah) (Q.S. An-Nisa : 59)”.

Kelompok pertama ini akan bingung ketika berkaitan dengan hal-hal yang tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ambillah contoh lalu lintas. Tidak ada aturan Al-Quran dan As-Sunnah yang menetapkan merah harus berhenti, kuning hati-hati dan hijau jalan terus. Tidak ada pula ayat aAl-Quran atau As-Sunnah yang menetapkan berjalan itu di kiri atau di kanan, di sini boleh parkir atau tidak. Semua itu ditetapkan oleh manusia. Bagi mereka tidak ada kewenangan manusia membuat hukum.

Sedangkan mereka yang menerima demokrasi berhujjah bahwa syari’at Islam membuka pintu ijtihad. Keberadaan ijtihad dalam syari’at Islam diterima secara ijma’ (sepakat). Ijtihad adalah keputusan manusia dalam menetapkan hukum. Artinya manusia mendapat wewenang. Untuk membuat keputusan itu manusia mengerahkan kemampuan akalnya. Pengerahan kemampuan akal ini didukung dan diperintahkan dalam Al-Quran pada ayat yang sangat banyak.

Keberadaan ijtihad dikaitkan dengan amanah yang diberikan Allah kepada manusia. Amanah itu adalah mengemban tugas sebagai kholifatullah fil ‘ard. Kholifah berarti wakil. Dengan demikian, sebagai wakil Allah, sudah seharusnya mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu untuk melaksanakan tugas perwakilan itu. Hal itu yang ditunjukkan oleh firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin di antara kalian (Q.S. An-Nisa : 59)”.

Selain itu, demokrasi berada pada wilayah kenegaraan. Wilayah ini dipandang berada pada urusan duniawi. Dengan demikian berada pada koridor hadits “Antum a’lamu biumuri dunyakum (kalian lebih tahu berkaitan dengan urusan dunia kalian)”. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya cara yang baku yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. dalam urusan kenegaraan yang dibuktikan dengan berbedanya cara yang dilakukan dalam proses pengangkatan khulafaur rosyidin.

PERSAMAAN

Kedua komunitas yang berbeda dalam penerimaan terhadap esensi demokrasi bertemu pada tekhnis yang dilakukan. Tekhnis yang sama adalah musyawarah. Baik mereka yang menerima demokrasi maupun yang tidak, sama-sama mengakui keberadan musyawarah sebagai mekanisme yang diterima syari’at Islam.

Untuk musyawarah, mau tidak mau manusia akan berhadapan dengan sistem perwakilan. Di sinilah manusia tidak akan lepas dari yang namanya pemilihan di antara mereka. Di sinilah kemudian ada mekanisme yang bernama pemilu.

Bila keberadaan pemilu ditolak, bagaimana menentukan siapa yang berhak untuk menjadi wakil dalam musyawarah ? Ingat, Islam tidak menerima konsep penunjukan oleh Tuhan, kecuali untuk mengangkat Rasul-Nya. Yang menunjuk siapa yang berhak musyawarah adalah sesama manusia. Jelaslah kedua pihak apabila akan melaksanakan musyawarah akhirnya mengadakan pemilihan juga. Tidak ada mekanisme lain di luar pemilihan. Pemilihan dilakukan oleh masyarakat banyak dalam sistem “demokrasi” dan oleh pemimpin yangtelah ada bila menggunakan sistem feodal atau diktator.

Menggunakan sistem feodal atau diktator berarti menempatkan negara berada dalam konstitusi kerajaan. Perlu diingat, walaupun sejarah kepemimpinan negara umat Islam (katakanlah : khilafah ; coba baca juga artikel saya tentang khilafah) menunjukkan adanya sistem kerajaan, namun sistem itu berlaku setelah masa khulafaur rosyidin berakhir.

Apabila mereka yang berhak musyawarah ditentukan oleh kholifah, siapa yang saat ini berhak menjadi kholifah ? Siapa yang mengangkat kholifah ? Bagaimana kholifah diangkat ? Bila kholifah diangkat melalui musyawarah, masalah menjadi seperti telur dan ayam. Mana yang lebih dulu. Ayam atau telur ? Dewan syuro (yang melaksanakan musyawarah) atau kholifah ? Bukankah dewan syuro diangkat oleh kholifah dan kholifah diangkat oleh dewan syuro ?

Bila ada musyawarah artinya ada kewenangan yang diemban oleh dewan syuro. Kewenangan itu adalah mengambil keputusan atau ketetapan. Keputusan berupa ketetapan atas sesuatu disebut hukum (alhukmu itsbatusy syai lisy syai). Dengan demikian, artinya penerimaan terhadap musyawarah sebenarnya penerimaan terhadap adanya kewenangan manusia untuk memutuskan hukum (berkaitan dengan wilayah hukum lihat artikel saya yang akan datang).

PENUTUP

Akhirnya mari kita terus mengkaji dan mengamalkan apa yang kita yakini dengan teguh. Berpegang teguhlah pada dua kalimah syahadat. Mari kita mengingat bahwa perbedaan sebenarnya bukan pada ayat Al-Quran dan As-Sunnah. Perbedaan sebenarnya pada cara kita memahami. Perbedaan itu akhirnya hanya berbeda pemahaman. Bila demikian, artinya tidak ada yang mutlak benar. Semuanya adalah pendapat manusia. Manusia bisa meniti kebenaran dan dapat terpeleset pada kesalahan.

Ketika kita mengatakan ini berdasarkan ayat Al-Quran dan As-Sunnah, sebenarnya itu adalah pemahaman kita terhadap ayat Al-Quran dan As-Sunnah tersebut. Artinya, kita harus siap menerima adanya pemahaman lain yang dicapai oleh orang lain. Bila kita sudah memutlakan kebenaran pemahaman kita sendiri, merenunglah jangan-jangan kita secara tidak langsung sudah menempatkan diri jadi Tuhan atau Nabi.

Semoga berkah dan bermanfaat.




2 komentar:

Anonim mengatakan...

ass. ust..
sy qra ust tdk ikut2an bingung bgmn hukumnya peraturan lalulintas dalam islam kan..?
krn justru disitulah posisi ijtihad dibutuhkan. ijtihad dibutuhkan bukan untuk yg sudah qat'i dilalah ataupun qathi tsubut sumber hukumnya. jika hukum jilbab (menutup aurat) itu wajib apakah boleh syuro atau khalifah berijtihad lagi??
lain lg jika para anggota parlemen..yaa sah2 saja menurut mereka. bahkan pornoaksi & pornografi mereka atur, bukan mereka larang. aneh.
nah ttg peraturn lalu-lintas,,
hukum asalnya sih mubah. orang bebas mo berkendaraan di jalr manapun, mau pake helm atao ga, sabuk atau ga, bawa SIM atau ga,,dll. tp jika tidak di atur maka akan menjadi dhoror. maka berlakulah kaidah "laa dhorooro wa laa dhiroor". maka negara wajib mengadakan peraturan tsb. jika tidak maka negara telah mencelakakan rakyatnya.itu bentuk kedzaliman. artinya negara juga yg berdosa. maka sudah pasti kekhilafahan pun akan menerapkan hal yg sama dan bukan berarti meniru negara kafir namun semata-mata krn tuntutan syara.
dan,,,hadits "antum a'lamu bi umuri dunyakum"..(lagi-lagi)..sbtulnya bgmn ust mamahami konteks dan kata "dunyakum" dalm hadits ini perlu ust kaji lg..

adapun mengenai persamaan, dlm tata cara pengankatan khilafah biar ust g bingun mana telor dulu atau ayam dulu, coba telaah sirah nabawi serta khulafaur rasyidin secara lengkap.(salah satunya saat menjelang pemakaman jasad rasulullah saw, apa yg di lakukan sahabat selam 3 hari..??) jgn separuh2, melihat sejarah kilafah pasca khulafaur rasyidin saja.
mungkn ust perlu mendonlod sdikit artikel untuk dikaji dalm link berikut:

http://rapidshare.com/files/218875085/syuro___SoalJawabPemilu.rar

jadi, perbedaan dalam memahami ayat tentu sangat berpeluang. namun tidak dalam masalah akidah. silakan telaah pendapat ulama mana pun. krn demokrasi itu bukan cumn masalah pengankatn pemimpin saja. mungkin ust perlu jg menelaah akar sejarah dan pemikirannya.

sukron. wassalam.

Anonim mengatakan...

aduh pabaliut