Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Selasa, 20 Agustus 2013

BELAJAR DARI SEJARAH GENERASI SALAF

“Allah memberi petunjuk, “wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah - ambillah pelajaran - dari masa lalu - dari sejarah, dari yang telah terjadi – untuk hari esok, untuk masa depan”
Kita mulai dari masa akhir kekhalifahan sayyidina 'Utsman bin 'Affan ra. Para demonstran bergerak mengepung rumah beliau. Dalam kondisi dikepung Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan tidak bersedia menggerakkan para sahabat nabi pendukungnya untuk menghadapi para demonstran. Beliau tidak ingin menjadi sebab perang saudara dan pertumpahan darah dengan sesama muslim. Beliau menanggung sendiri bebannya. Dan beliau pun terbunuh sendirian tanpa ada perang saudara dan pertumpahan darah.

Situasi yang kacau dengan terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan membawa kaum muslimin membaiat sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra sebagai khalifah. Langkah pertama khalifah ‘Ali bin Abi Thalib adalah membangun stabilitas politik dan keamanan. Langkah ini dilawan oleh para provokator, pemberontak dan mereka yang memiliki kepentingan politik pribadi atau kelompok. Bahkan sahabat-sahabat Nabi sampai dengan istri baginda Nabi yaitu Ummul Mukminin ‘Aisyah ra dihasut untuk melawan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra. Pecahlah perang jamal. Pertumpahan darah sesama muslim, di mana pemerintah yaitu khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang akan membangun stabilitas keamanan dan stabilitas politik dilawan oleh para provokator yang menghasut para sahabat dan ibunda ‘Aisyah ra dan menjadikan beliau sebagai alat simbol politik provokasi mereka.
Provokasi berlanjut ke kalangan para politisi kepentingan. Mereka mengangkat isu pembunuhan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan ra. Mereka menggerakkan masa dan bahkan kelompok bersenjata untuk dengan isu menuntut keadilan atas pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan ra sebagai tema sentral untuk memperoleh simpati padahal dibalik itu ada agenda politik sektarian. Agenda politik Bani Umayyah menyingkirkan Bani Hasyim (sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra berasal dari Bani Hasyim). Inilah langkah ‘ashobiyyah – fanatisme kelompok - dengan bersembunyi dibalik baju tuntutan keadilan. Begeraklah provokasi ini dengan menggunakan Sahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ra sebagai simbol politiknya dan isu tuntunan keadilan sebagai opininya. Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib bertindak sebagai pemerintah yang harus melakukan stabilisasi keamanan dan politik, maka terjadilah perang shiffin – pertumpahan darah sesama kaum muslimin.
Saat kalangan pemberontak politik ini terdesak, mereka meminta dilaksanakan musyawarah dan peradilan. Dilakukanlah perundingan. Dan kejujuran utusan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra dimanfaatkan untuk memuluskan tipu daya politik. Akhirnya musyawarah berakhir dengan drama tipu daya politik menyudutkan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra.
Muncullah kelompok yang tampil dengan kemarahan terhadap khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ra. Mereka mengusung isu hukum hanya milik Allah (menggunakan ayat inil hukmu illa lillah), maka khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ra yang melakukan musyawarah (semacam demokrasi) telah kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah tapi mengedepankan musyawarah manusia. Jadilah mereka komunitas takfiri yang mengkafirkan muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka mengklaim sebagai pemangku Islam – pemangku hukum Allah – dan kelompok lain yang berbeda dengan mereka adalah kafir daan halal darahnya. Mereka menghukumi yang bermusyawarah (semacam demokrasi) sebagai kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah, tapi dengan hasil musyawarah. Mereka ini dikenal sebagai khawarij. Terjadilah upaya pembunuhan oleh kelompok ini terhadap Khalifah ‘Ali bin Abi Thalibn ra dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan yang dipanggil kafir dan halal darahnya, karena telah tidak sepaham dengan hukum Allah menurut versi sekte mereka. Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra berhasil mereka bunuh, sedangkan upaya pembunuhan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ra gagal.
Muncul kelompok yang mempermaklumkan diri pengikut setia khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra. Dalam perjalanannya mereka hanya menerima kebenaran dari riwayat kalangan mereka saja. Mereka menolak riwayat dari kalangan yang lain. Bahkan pada taraf ekstrimnya mereka pun mencaci maki para sahabat Nabi ra dan para ulama yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka menyebut yang tidak sepaham dengan mereka sebagai pendusta. Kelompok inilah yang selanjutnya dikenal dengan nama syi’ah.
Berkembang pula kelompok ketiga, yaitu kelompok politk kekuasaan. Mereka berasal dari kelompok politik Bani Umayyah. Mereka mengupayakan kelanggengan kekuasaan di kelompok mereka sendiri walau untuk itu harus mengorbankan darah kaum muslimin yang lain. Di antara korban politik kekuasaan mereka kemudian adalah sayyidina Hasan ra dan sayyidina Husain ra – cucu baginda Nabi saw – putra sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra. Kelompok inilah yang menjadi kelompok Islam politik yang menghalalkan segala cara agar berkuasa. Saat kelompok ini berkuasa, kepemimpinan kaum muslimin dilanda kemewahan kehidupan yang tidak jelas halal dan haramnya. Kepemimpinan mereka tidak mencerminkan keteladanan.
Muncul pula kelompok lain. Kelompok kaum muslimin yang menyibukkan diri dengan da’wah Islam tanpa harus terpolarisasi dan terkurung oleh kepentingan kelompok politik. Mereka mendukung dan mengkritik pemerintah sesuai dengan kapasitas keulamaannya. Mereka mendukung langkah pemerintah yang benar. Mereka mengkritik langkah pemerintah yang salah. Dukungan dan kritikan tidak dibatasi oleh kepentingan dan afiliasi politik. Mereka pun bergerak dalam amar ma’ruf nahyi munkar tanpa menggunakan kekuatan massa berupa gerakan perlawan kekerasan. Ketika mereka berhadapan dengan yang salah, mereka tampil sendiri mengkritik. Mereka tidak rela menjadi sebab tumpah darah sesama kaum muslimin atas nama membela pendapat mereka. Kelompok inilah yang kemudian berkembang dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan salah satu tokoh awalnya Syaikh Hasan Al-Bashri murid sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra. Kelompok inilah kelompok terbesar – kelompok mayoritas - para ulama Islam dari masa salaf sampai saat ini, inilah sawadil a’zhom.
Bila kita coba simpulkan, secara sederhana kita akan mendapati lima kelompok besar sikap dan karakternya di kalangan kaum muslimin.
1.       1.       Kelompok penghasut dengan karakter :
·         Mereka menghasut masyarakat agar bergerak melawan pemerintah
·         Mereka menghasut para tokoh agar bersebrangan dan bertengkar
·         Mereka menyebarkan fitnah
·         Mereka menyebar berita bohong
·         Mereka menyebarkan dan membangun opini bohong yang membuat pertengkaran
·         Mereka bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain sebagai penyebar isu, opini dan berita yang menundang pertengkaran dan permusuhan

2.       Khawarij dengan karakter :
·         Mengedepankan isu hukum hanya milik Allah (inil hukmu illa lillah)
·         Mengklaim bahwa hanya merekalah pejuang Islam dan penegak hukum Allah
·         Hukum Allah adalah penafsiran versi mereka
·         Yang berbeda pendapat dengan mereka diopinikan dan bahkan divonis bukan Islam atau kafir
·         Bila mereka tersudut atau dibuktikan kesalahannya, mereka berdalih untuk menutupi kesalahannya dengan isu dan opini bahwa Islam sedang diserang. Tapi bila komunitas Islam lain yang diserang atau disudutkan, mereka tidak memandangnya sebagai serangan terhadap Islam, bahkan mereka cenderung terlibat dalam upaya menyudutkan kelompok Islam lain.
·         Dalam tahap ekstrim mereka menghalalkan darah kaum muslimin yang berbeda pendapat dengan mereka karena telah dikafirkan

3.       Syiah dengan karakter :
·         Hanya menerima riwayat atau berita dari kelompok mereka sendiri
·         Riwayat atau berita dari kelompok lain dipandang bohong
·         Mencela orang-orang terpercaya (kasus beratnya adalah para sahabat ra) yang bukan kalangan mereka
·         Memandang orang-orang terpercaya (kasus beratnya adalah para sahabat ra) yang bukan kalangan mereka sebagai pembohong

4.       Politisi pragmatis
·         Mengangkat isu agama dan keadilan untuk menutupi tujuan dan ambisi politik kekuasaan
·         Menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan politik (termasuk membuat isu dan berita bohong untuk menggiring opini mendukung kepentingan politik mereka)
·         Dalam kasus paling berat memanfaatkan isu agama untuk menghabisi (sampai membunuh) lawan politiknya
·         Ketika memimpin, mereka hidup bergelimang kemewahan dan jauh dari akhlaq mulia

5.       Ahlus Sunnah wal Jama’ah
·         Tidak memihak dalam konflik politik secara ashobiyyah (fanatisme sekte maupun kelompok atau partai)
·         Mengarahkan hidup penuh ketaqwaan
·         Mendukung kebenaran dan mengkritik serta mencegah kemungkaran dari siapapun
·         Menerima riwayat dari orang kepercayaan walau berbeda pendapat atau kelompok
·         Tidak mengkafirkan mereka yang berbeda pendapat
·         Tidak mengklaim diri sebagai satu-satunya (orang atau kelompok) pemangku hukum Allah
·         Para tokohnya tidak menggerakkan dan mengorbankan massa demi kepentingan politik
·         Rela berkorban sendiri dalam perjuangan (tidak mengorbankan massa pengikutnya)
·         Sibuk dengan dakwah perbaikan umat bukan dengan “dakwah” bertujuan politik
·         Menerima kepemimpinan yang ada sebagai pemerintah yang sah.
Nampaknya kelima kelompok ini terus berkembang dengan berbagai wajahnya. Ada yang murni dengan wajah dan karakternya, ada yang bercampur dengan karakter kelompok lain. Ada yang berwajah sebuah kelompok, namun berpendapat dan pandangan dengan cara kelompok lain (bukan sesuai wajah yang mereka tampilkan). .
Hari ini di karakter manakah diri kita ? Di karakter manakah kelompok organisasi dan partai kita ? Di karakter manakah kelompok pengajian kita ? Diri kita sendiri hanya mampu menjawabnya apabila mampu jujur dan tidak selalu berdalih mencari-cari pembenaran serba mereka-reka mengaburkan karakter kita sendiri.

Tidak ada komentar: