“Allah memberi petunjuk, “wahai orang-orang yang beriman
perhatikanlah - ambillah pelajaran - dari masa lalu - dari sejarah, dari yang
telah terjadi – untuk hari esok, untuk masa depan”
Kita mulai dari masa akhir kekhalifahan sayyidina 'Utsman
bin 'Affan ra. Para demonstran bergerak mengepung rumah beliau. Dalam kondisi
dikepung Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan tidak bersedia menggerakkan para sahabat
nabi pendukungnya untuk menghadapi para demonstran. Beliau tidak ingin menjadi
sebab perang saudara dan pertumpahan darah dengan sesama muslim. Beliau
menanggung sendiri bebannya. Dan beliau pun terbunuh sendirian tanpa ada perang
saudara dan pertumpahan darah.
Situasi yang kacau dengan terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin
‘Affan membawa kaum muslimin membaiat sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra sebagai
khalifah. Langkah pertama khalifah ‘Ali bin Abi Thalib adalah membangun
stabilitas politik dan keamanan. Langkah ini dilawan oleh para provokator,
pemberontak dan mereka yang memiliki kepentingan politik pribadi atau kelompok.
Bahkan sahabat-sahabat Nabi sampai dengan istri baginda Nabi yaitu Ummul
Mukminin ‘Aisyah ra dihasut untuk melawan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra.
Pecahlah perang jamal. Pertumpahan darah sesama muslim, di mana pemerintah
yaitu khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang akan membangun stabilitas keamanan dan
stabilitas politik dilawan oleh para provokator yang menghasut para sahabat dan
ibunda ‘Aisyah ra dan menjadikan beliau sebagai alat simbol politik provokasi
mereka.
Provokasi berlanjut ke kalangan para politisi kepentingan.
Mereka mengangkat isu pembunuhan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan ra. Mereka
menggerakkan masa dan bahkan kelompok bersenjata untuk dengan isu menuntut
keadilan atas pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan ra sebagai tema sentral untuk
memperoleh simpati padahal dibalik itu ada agenda politik sektarian. Agenda
politik Bani Umayyah menyingkirkan Bani Hasyim (sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra
berasal dari Bani Hasyim). Inilah langkah ‘ashobiyyah – fanatisme kelompok -
dengan bersembunyi dibalik baju tuntutan keadilan. Begeraklah provokasi ini
dengan menggunakan Sahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ra sebagai simbol
politiknya dan isu tuntunan keadilan sebagai opininya. Khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib bertindak sebagai pemerintah yang harus melakukan stabilisasi keamanan dan
politik, maka terjadilah perang shiffin – pertumpahan darah sesama kaum
muslimin.
Saat kalangan pemberontak politik ini terdesak, mereka
meminta dilaksanakan musyawarah dan peradilan. Dilakukanlah perundingan. Dan
kejujuran utusan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra dimanfaatkan untuk memuluskan
tipu daya politik. Akhirnya musyawarah berakhir dengan drama tipu daya politik
menyudutkan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra.
Muncullah kelompok yang tampil dengan kemarahan terhadap
khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ra. Mereka
mengusung isu hukum hanya milik Allah (menggunakan ayat inil hukmu illa
lillah), maka khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ra
yang melakukan musyawarah (semacam demokrasi) telah kafir karena tidak berhukum
dengan hukum Allah tapi mengedepankan musyawarah manusia. Jadilah mereka
komunitas takfiri yang mengkafirkan muslim yang tidak sepaham dengan mereka.
Mereka mengklaim sebagai pemangku Islam – pemangku hukum Allah – dan kelompok
lain yang berbeda dengan mereka adalah kafir daan halal darahnya. Mereka menghukumi
yang bermusyawarah (semacam demokrasi) sebagai kafir karena tidak berhukum
dengan hukum Allah, tapi dengan hasil musyawarah. Mereka ini dikenal sebagai
khawarij. Terjadilah upaya pembunuhan oleh kelompok ini terhadap Khalifah ‘Ali
bin Abi Thalibn ra dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan yang dipanggil kafir dan halal
darahnya, karena telah tidak sepaham dengan hukum Allah menurut versi sekte
mereka. Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra berhasil mereka bunuh, sedangkan upaya
pembunuhan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan ra gagal.
Muncul kelompok yang mempermaklumkan diri pengikut setia
khalifah ‘Ali bin Abi Thalib ra. Dalam perjalanannya mereka hanya menerima
kebenaran dari riwayat kalangan mereka saja. Mereka menolak riwayat dari
kalangan yang lain. Bahkan pada taraf ekstrimnya mereka pun mencaci maki para
sahabat Nabi ra dan para ulama yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka
menyebut yang tidak sepaham dengan mereka sebagai pendusta. Kelompok inilah
yang selanjutnya dikenal dengan nama syi’ah.
Berkembang pula kelompok ketiga, yaitu kelompok politk
kekuasaan. Mereka berasal dari kelompok politik Bani Umayyah. Mereka mengupayakan
kelanggengan kekuasaan di kelompok mereka sendiri walau untuk itu harus
mengorbankan darah kaum muslimin yang lain. Di antara korban politik kekuasaan
mereka kemudian adalah sayyidina Hasan ra dan sayyidina Husain ra – cucu
baginda Nabi saw – putra sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra. Kelompok inilah yang
menjadi kelompok Islam politik yang menghalalkan segala cara agar berkuasa. Saat
kelompok ini berkuasa, kepemimpinan kaum muslimin dilanda kemewahan kehidupan yang
tidak jelas halal dan haramnya. Kepemimpinan mereka tidak mencerminkan
keteladanan.
Muncul pula kelompok lain. Kelompok kaum muslimin yang
menyibukkan diri dengan da’wah Islam tanpa harus terpolarisasi dan terkurung
oleh kepentingan kelompok politik. Mereka mendukung dan mengkritik pemerintah
sesuai dengan kapasitas keulamaannya. Mereka mendukung langkah pemerintah yang
benar. Mereka mengkritik langkah pemerintah yang salah. Dukungan dan kritikan
tidak dibatasi oleh kepentingan dan afiliasi politik. Mereka pun bergerak dalam
amar ma’ruf nahyi munkar tanpa menggunakan kekuatan massa berupa gerakan
perlawan kekerasan. Ketika mereka berhadapan dengan yang salah, mereka tampil
sendiri mengkritik. Mereka tidak rela menjadi sebab tumpah darah sesama kaum
muslimin atas nama membela pendapat mereka. Kelompok inilah yang kemudian
berkembang dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan salah satu tokoh
awalnya Syaikh Hasan Al-Bashri murid sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra. Kelompok
inilah kelompok terbesar – kelompok mayoritas - para ulama Islam dari masa
salaf sampai saat ini, inilah sawadil a’zhom.
Bila kita coba
simpulkan, secara sederhana kita akan mendapati lima kelompok besar sikap dan
karakternya di kalangan kaum muslimin.
1. 1. Kelompok penghasut dengan karakter :
·
Mereka menghasut masyarakat
agar bergerak melawan pemerintah
·
Mereka menghasut para tokoh
agar bersebrangan dan bertengkar
·
Mereka menyebarkan fitnah
·
Mereka menyebar berita
bohong
·
Mereka menyebarkan dan
membangun opini bohong yang membuat pertengkaran
·
Mereka bergerak dari satu
kelompok ke kelompok lain sebagai penyebar isu, opini dan berita yang menundang
pertengkaran dan permusuhan
2. Khawarij dengan karakter :
·
Mengedepankan isu hukum
hanya milik Allah (inil hukmu illa lillah)
·
Mengklaim bahwa hanya
merekalah pejuang Islam dan penegak hukum Allah
·
Hukum Allah adalah
penafsiran versi mereka
·
Yang berbeda pendapat
dengan mereka diopinikan dan bahkan divonis bukan Islam atau kafir
·
Bila mereka tersudut atau
dibuktikan kesalahannya, mereka berdalih untuk menutupi kesalahannya dengan isu
dan opini bahwa Islam sedang diserang. Tapi bila komunitas Islam lain yang
diserang atau disudutkan, mereka tidak memandangnya sebagai serangan terhadap
Islam, bahkan mereka cenderung terlibat dalam upaya menyudutkan kelompok Islam
lain.
·
Dalam tahap ekstrim mereka
menghalalkan darah kaum muslimin yang berbeda pendapat dengan mereka karena telah
dikafirkan
3. Syiah dengan karakter :
·
Hanya menerima riwayat atau
berita dari kelompok mereka sendiri
·
Riwayat atau berita dari
kelompok lain dipandang bohong
·
Mencela orang-orang
terpercaya (kasus beratnya adalah para sahabat ra) yang bukan kalangan mereka
·
Memandang orang-orang
terpercaya (kasus beratnya adalah para sahabat ra) yang bukan kalangan mereka
sebagai pembohong
4. Politisi pragmatis
·
Mengangkat isu agama dan
keadilan untuk menutupi tujuan dan ambisi politik kekuasaan
·
Menghalalkan segala cara
untuk memperoleh kemenangan politik (termasuk membuat isu dan berita bohong
untuk menggiring opini mendukung kepentingan politik mereka)
·
Dalam kasus paling berat
memanfaatkan isu agama untuk menghabisi (sampai membunuh) lawan politiknya
·
Ketika memimpin, mereka hidup
bergelimang kemewahan dan jauh dari akhlaq mulia
5. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
·
Tidak memihak dalam konflik
politik secara ashobiyyah (fanatisme sekte maupun kelompok atau partai)
·
Mengarahkan hidup penuh
ketaqwaan
·
Mendukung kebenaran dan
mengkritik serta mencegah kemungkaran dari siapapun
·
Menerima riwayat dari orang
kepercayaan walau berbeda pendapat atau kelompok
·
Tidak mengkafirkan mereka yang
berbeda pendapat
·
Tidak mengklaim diri
sebagai satu-satunya (orang atau kelompok) pemangku hukum Allah
·
Para tokohnya tidak
menggerakkan dan mengorbankan massa demi kepentingan politik
·
Rela berkorban sendiri
dalam perjuangan (tidak mengorbankan massa pengikutnya)
·
Sibuk dengan dakwah perbaikan
umat bukan dengan “dakwah” bertujuan politik
·
Menerima kepemimpinan yang
ada sebagai pemerintah yang sah.
Nampaknya kelima
kelompok ini terus berkembang dengan berbagai wajahnya. Ada yang murni dengan wajah
dan karakternya, ada yang bercampur dengan karakter kelompok lain. Ada yang
berwajah sebuah kelompok, namun berpendapat dan pandangan dengan cara kelompok
lain (bukan sesuai wajah yang mereka tampilkan). .
Hari ini di karakter
manakah diri kita ? Di karakter manakah kelompok organisasi dan partai kita ? Di
karakter manakah kelompok pengajian kita ? Diri kita sendiri hanya mampu menjawabnya
apabila mampu jujur dan tidak selalu berdalih mencari-cari pembenaran serba
mereka-reka mengaburkan karakter kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar