
Presiden
pertama Indonesia – Bung Karno – berlatar belakang gerakan nasionalis. Beliau
memimpin Partai Nasionali Indonesia (PNI). Dalam perjalanannnya PNI berpijak
pada ideologi Marhaenis yang bisa dikatakan dilahirkan oleh Bung Karno sendiri.
Ideologi ini lebih dekat kepada sosialis.
Dalam
perjalanannya PNI berfusi dengan partai lain termasuk yang berasal dari gerakan
keagamaan non muslim. Lahirlah partai baru yang bernama Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).
Dalam
perjalanannya PDI pecah. Kemudian muncullah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) sebagai pemenang dalam konflik internal PDI.
Presiden kedua
Indonesia – Pak Harto – berlatar belakang militer. Beliau membangun basis
politiknya dengan menyatukan antara militer dengan birokrasi negara. Beliau
memimpin Golongan Karya (GOLKAR). Dalam perjalanannya GOLKAR lebih berpijak
pada model militeristik dan pemerintahan Jawa. Ideologi yang berkembang dengan
pembangunan yang menggunakan paradigma pertumbuhan ekonomi nampak cenderung
lebih dekat kepada model kapitalis.
Presiden
ketiga Indonesia – BJ Habibie – berlatar belakang teknokrat. Beliau masuk ke
jajaran birokrasi negara dalam awal kariernya sebagai teknokrat yang direkrut
untuk memperkuat pemerintahan Pak Harto. Secara politik, karier beliau lebih
banyak berada di barisan GOLKAR bersama Pak Harto. Beliau menjadi presiden
setelah sebelumnya menjadi wakil presiden mendampingi Pak Harto. Saat Pak Harto
mengundurkan diri, BJ Habibie otomatis menggantikan menjabat presiden sampai
terpilih presiden baru hasil pemilu yang dipercepat.
Karier BJ Habibie
dalam gerakan dan kenegaraan adalah karier teknokrat. Beliau menjabat menteri
riset dan teknologi. Beliau menjadi kepala dan direktur dalam industri strategis
(teknologi) Indonesia.
Selain GOLKAR,
BJ Habibie dalam kapasitas teknokratnya membangun basis lain, walau pun tidak
lepas dari bayang-bayang politik GOLKAR, karena BJ Habibie adalah anggota
GOLKAR. Basis lain itu adalah Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI). Dari sini BJ
Habibie memiliki dua wajah latar belakang, yaitu teknokrat agamis.
Presiden keempat
Indonesia – Gus Dur – berlatar belakang gerakan keagamaan Islam. Gus Dur
berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU), sebuah gerakan keulamaan Islam. Gus Dur
menjadi presiden melalui proses politik dengan kendaraan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). PKB adalah partai bentukan para ulama dengan membawa ideologi
maqoshidusy syari’ah – negara dibangun dengan menegakkan maksud-maksud syari’ah
Islam secara substansial.
Presiden kelima Indonesia – Mbak Mega – adalah putra biologis dan ideologis dari Bung Karno.
Mbak Mega menjadi presiden melalui kendaraan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). PDIP merupakan kelanjutan dari PDI. PDI adalah fusi dari PNI
dan partai lain, termasuk gerakan keagamaan non muslim. Secara ideologi lebih
menonjol marhaenis yang cenderung dekat dengan sosialis.
Presiden
keenam Indonesia – SBY – berlatar belakang militer. Bedanya dengan Pak Harto
adalah latar belakang karier militernya. Pak Harto berlatar belakang pasukan
tempur, sedang SBY lebih cenderung berada di balik meja.
SBY menjadi
presiden melalui kendaraan Partai Demokrat. Melihat yang membentuknya, Partai
Demokrat cenderung militeristik. Tapi melihat mereka yang bergabung di partai
ini, maka Partai Demokrat cenderung tidak memiliki ideologi yang jelas.
Bila kita coba
simpulkan dari latar belakang afiliasinya, maka fase keresidenan kita adalah :
- Fase marhaen I (PNI), yaitu saat presiden pertama - Bung Karno.
- Fase militer I (GOLKAR), yaitu saat presdien kedua – Pak Harto
- Fase teknokrat (GOLKAR), yaitu saat presiden ketiga – BJ Habibie
- Fase islamis (PKB), yaitu saat presiden keempat – Gus Dur
- Fase marhaen II (PDIP), yaitu saat presiden kelima – Mbak Mega
- Fase militer II, yaitu saat presiden keenam – SBY
Bila ikut
keramaian teman-teman Islamis tentang perjuangan Islam, maka dengan analisa dan
kesimpulan tersebut, maka fase politik Islam memimpin Indonesia adalah fase Gus
Dur. Penjatuhan Gus Dur adalah serangan dan penghancuran terhadap politik
Islam. Penjatuhan Gus Dur adalah memindahkan kepemimpinan dari politik Islam ke
politik marhaen, karena faktanya menjatuhkan Gus Dur dilanjutkan dengan
mengangkat Mbak Mega sebagai presiden.
Namun kita
melihat bahwa yang terkait dalam proses penjatuhan Gus Dur adalah termasuk
mereka yang berasal dari gerakan keagamaan muslim pula, seperti PPP, PAN, PBB
dan PK (sekarang PKS).
Kajian lebih
lanjutnya :
- Apakah kita bisa mengklaim Gus Dur sebagai satu-satunya wakil politik Islam ?
- Apakah kita bisa menuduh yang ikut menjatuhkan Gus Dur (termasuk PPP, PAN, PBB, PKS) sebagai pengkhianat politik Islam ?
- Faktanya Gus Dur berasal dari komunitas gerakan keagamaan Islam.
- Faktanya setelah Gus Dur jatuh, presiden dipegang oleh Mbak Mega yang berlatar belakang dari komunitas gerakan marhaen.
- Faktanya tidak ada presiden Indonesia yang lain yang saat ini berasal dari gerakan keagamaan Islam.
- Faktanya semua Presiden Indonesia sampai saat ini adalah beragama Islam.
Mari kita
berpikir jernih. Mari kita gunakan sejarah sebagai referensi untuk memahami
masa kini. Semoga kita mendapatkan kearifan dan kebijaksanaan sehingga dapat
mengambil langkah yang baik dan berkah untuk masa depan kita.
Bila dikatakan
bahwa yang dilakukan Gus Dur saat menjadi presiden tidak Islamis, maka kita
telah beralih dari kajian latar belakang afiliasi gerakan ke kajian wacana dan
manuver politik. Kita akan bertemu dengan pendapat si A, si B, si C, kelompok
D, kelompok E, dll. Siapa yang bisa mengklaim bahwa dialah yang benar-benar
Islamis dan satu-satunya wakil islam ? Perbedaan pendapat terus ada, maka kita
akan berpindah dari politik Islam kepada politik Islam sektarian (ashobiyyah).
Islami itu menurut sekte, kelompok atau partai yang mana ? Jadi bukan lagi
politik Islam, tapi politik sektarian (ashobiyyah) dalam politik Islam. Dan
kajian wacana seperti itu bukan tema dari tulisan ini. Tema tulisan ini adalah
latar belakang afiliasi gerakan dari para presiden Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar