Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi sangsi, yang dikenai hanyalah pelaku kesalahan.
Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi ketetapan aturan, maka yang dikenai adalah semua makhluk di alam semesta. Semua makluk menggunakan ketetapan dan berada pada suatu aturan tertentu yang telah ditetapkan Pencipta. Mereka terikat dengan ketentuan yang berlaku di alam semesta yang biasa disebut dengan sunnatullah oleh para agamawan dan hukum alam oleh para ilmuwan.
Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi undang-undang formal yang berarti hukum positif, inilah yang menjadi perbincangan dan perbedaan.
Dalam hidup manusia ada tiga ruang, yaitu ruang privat, ruang publik dan ruang yang merupakan irisan antara ruang privat dan ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang privat adalah adalah ruang pribadi yang mana bisa dikatakan merupakan urusan pribadi seseorang tanpa bersentuhan dengan hak dan kewajiban orang lain.Yang dimaksud ruang publik adalah ruang bersama bagi setiap individu yang mana di sana bersentuhan antara hak dan kewajiban pribadi dengan hak dan kewajiban orang lain. Yang dimaksud ruang irisan adalah ruang pribadi yang tampil di ruang publik.
Berkaitan dengan ketiga ruang tersebut, manusia terbagi menjadi tiga mazhab hukum, yaitu :
Mazhab pertama
Mazhab pertama adalah komunitas yang berpendapat bahwa semua ruang itu dapat diatur menggunakan undang-undang formal. Mazhab ini cenderung dianut oleh kelompok agamis formalis. Yang saya maksud dengan agamis formalis adalah mereka yang berjuang menengakkan syari’at (ketentuan keagamaan mereka) menjadi undang-undang secara formal (hukum positif). Biasanya mereka ditandai dengan meletakkan azas agama pada “partai politiknya”.
Kelompok ini berkeyakinan bahwa negara (aparatnya) dapat mengontrol dan memasuki semua ruang kehidupan manusia. Negara mengatur hubungan dengan sesama manusia. Negara dapat mengatur hubungan dengan Tuhan. Negara dapat mengatur hak dan urusan pribadi. Dengan demikian, ruang privat menjadi hilang, karena orang lain yang dalam hal ini aparatur negara dapat memasuki dan mengaturnya. Mengapa ? Karena ketika sebuah ruang dimasuki undang-undang, ada kewenangan paksa yang dimiliki aparatur negara pada ruang itu.
Bagi mereka, pemerintah seakan “aparat Tuhan”. Hukum ditentukan oleh Tuhan. Tidak ada kewenangan manusia untuk menentukan hukum. Bagi kelompok ini, akhirnya tidak ada pembagian antara ruang publik, ruang privat serta ruang irisan. Semua ruang sama. Semua harus diatur oleh hukum Tuhan. Tidak ada demokrasi.
Hukum bagi mereka akhirnya adalah apa yang mereka pahami sebagai hukum Tuhan. Mereka cenderung tidak menerima pendapat orang lain. Bila menerima perbedaan pendapat, sama artinya dengan menerima adanya ruang privat. Dengan demikian, mazhab ini cenderung memutlakan kebenaran sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka saja. Yang berbeda dengan mereka sesat.
Pada masa lalu ada contoh berat berkaitan dengan mazhab hukum seperti ini. Masa Daulah Abbasiyyah dipimpin oleh khalifah Al-Ma’mun, negara bermazhab mu’tazilah. Dengan ketentuan negara, semua umat Islam harus bermazhab mu’tazilah. Siapa yang tidak sepaham dengan mu’tazilah sesat dan dihukum. Ketika kholifah Al-Ma’mun diganti, kholifah yang baru menetapkan mazhab ahlus sunnah sebagai mazhab negara. Saat itu, berganti kaum mu’tazilah yang dinyatakan sesat dan dihukum.
Terhadap kelompok ini di antara kritik yang disampaikan dikaitkan dengan firman Allah, “la ikroha fid din (tidak ada paksaan dalam beragama)”. Agama berada di ruang privat. Dengan demikian, tidak diperkenankan satu orang memaksa orang lain dalam urusan di ruang privat. Perbedaan agama dan pemahaman keagamaan adalah kenyataan.
Mazhab kedua
Mazhab kedua adalah komunitas yang berpendapat bahwa undang-undang diberlakukan pada ruang publik dan ruang irisan, tidak pada ruang privat. Ruang privat adalah urusan pribadi yang diatur oleh keyakinannya masing-masing.
Kelompok ini menolak pemberlakuan undang-undang pada urusan keagamaan. Mereka berkeyakinan urusan ini adalah urusan pribadi yang tidak boleh dipaksa orang lain.
Dalam urusan sosial budaya dan etika, mereka memasukkannya pada ranah undang-undang. Mereka memperkenankan undang-undang tentang hal-hal privat di ruang publik.
Penganut mazhab kedua ini kadang tepeleset memasuki ruang privat. Terpeleset yang sangat mungkin terjadi, karena pemisahan mereka tidak tegas. Demikian pula oleh para penganutnya yang oportunis cenderung dilakukan sebagai negosiasi politik – tergantung kepentingan dan keuntungan politiknya.
Mazhab ketiga
Mazhab ketiga adalah komunitas yang berpendapat bahwa undang-undang hanya berlaku pada ruang publik. Adapun ruang privat diatur oleh keyakinan pribadi. Dan ruang irisan diatur oleh etika sosial.
Bagi mereka, ruang privat adalah ruang spiritual yang sangat pribadi. Ruang irisan adalah ruang sosial budaya yang dibangun dengan rasa dan etika. Ruang publik adalah ruang duniawi yang negosiable. Ruang publik itu dibangun dengan kesepakatan formal yang orang dapat dipaksa untuk mengikuti dan melaksanakannya, karena berkaitan langsung dengan hak orang lain.
Mazhab ini yang sering dikritik sebagai kelompok sekuler – memisahkan agama dari negara. Kritik ini ada benarnya, bila melihat undang-undang formal. Mereka memang tidak menerima agama menjadi undang-undang atau hukum positif. Mereka berpendapat agama adalah hal privat, sedangkan undang-undang hanya boleh mencakup ruang publik. Undang-undang adalah wilayah musyawarah dan negosiasi. Agama adalah wilayah keyakinan yang tidak dapat dinegosiasikan.
Menganut pendapat mazhab ini bukan berarti tidak beragama dan tidak melaksanakan agama. Agama memang tidak mereka terima apabila dibuat sebuah undang-undang, namun mereka menerima agama sebagai nilai-nilai yang harus dilaksanakan setiap penganutnya pada segala aspek kehidupan. Mereka memandang agama adalah urusan privat yang menjadi bagian menyatu dengan diri setiap pribadi. Agama harus dilaksanakan sebagai sebuah keyakinan dan keikhlasan bukan sebagai sebuah paksaan, apalagi melalui aparatur negara.
Dalam syari’at Islam mereka menganut bahwa hadd hanya ada di ruang publik. Untuk pelanggaran terhadap ruang irisan yang berlaku adalah ta’zir. Sedangkan di ruang privat tidak ada hadd maupun ta’zir. Kalaupun di ruang privat ada ta’zir, itu berkaitan dengan kewajiban di wilayah pendidikan yang artinya berada di ruang irisan.
Mazhab ketiga ini menerima demokrasi. Bagi mereka demokrasi berada di wilayah negara yang berarti di wilayah publik. Wilayah itu adalah wilayah duniawi yang negosiable. Wilayah ini adalah wilayah manusia, sesuai sabda Nabi, “antum a’lamu bi umuri dunyakum”.
PENUTUP
Perbedaan ini akan terus ada. Yang paling penting adalah bagaimana mendidik diri sendiri dan umat manusia untuk siap hidup dalam perbedaan dengan damai. Tidak ada jalan untuk damai kecuali menerima adanya perbedaan.
Semoga berkah dan bermanfaat untuk kita semua. Amiin.
Selengkapnya...
Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi ketetapan aturan, maka yang dikenai adalah semua makhluk di alam semesta. Semua makluk menggunakan ketetapan dan berada pada suatu aturan tertentu yang telah ditetapkan Pencipta. Mereka terikat dengan ketentuan yang berlaku di alam semesta yang biasa disebut dengan sunnatullah oleh para agamawan dan hukum alam oleh para ilmuwan.
Apabila kata dihukum maksudnya adalah diberi undang-undang formal yang berarti hukum positif, inilah yang menjadi perbincangan dan perbedaan.
Dalam hidup manusia ada tiga ruang, yaitu ruang privat, ruang publik dan ruang yang merupakan irisan antara ruang privat dan ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang privat adalah adalah ruang pribadi yang mana bisa dikatakan merupakan urusan pribadi seseorang tanpa bersentuhan dengan hak dan kewajiban orang lain.Yang dimaksud ruang publik adalah ruang bersama bagi setiap individu yang mana di sana bersentuhan antara hak dan kewajiban pribadi dengan hak dan kewajiban orang lain. Yang dimaksud ruang irisan adalah ruang pribadi yang tampil di ruang publik.
Berkaitan dengan ketiga ruang tersebut, manusia terbagi menjadi tiga mazhab hukum, yaitu :
Mazhab pertama
Mazhab pertama adalah komunitas yang berpendapat bahwa semua ruang itu dapat diatur menggunakan undang-undang formal. Mazhab ini cenderung dianut oleh kelompok agamis formalis. Yang saya maksud dengan agamis formalis adalah mereka yang berjuang menengakkan syari’at (ketentuan keagamaan mereka) menjadi undang-undang secara formal (hukum positif). Biasanya mereka ditandai dengan meletakkan azas agama pada “partai politiknya”.
Kelompok ini berkeyakinan bahwa negara (aparatnya) dapat mengontrol dan memasuki semua ruang kehidupan manusia. Negara mengatur hubungan dengan sesama manusia. Negara dapat mengatur hubungan dengan Tuhan. Negara dapat mengatur hak dan urusan pribadi. Dengan demikian, ruang privat menjadi hilang, karena orang lain yang dalam hal ini aparatur negara dapat memasuki dan mengaturnya. Mengapa ? Karena ketika sebuah ruang dimasuki undang-undang, ada kewenangan paksa yang dimiliki aparatur negara pada ruang itu.
Bagi mereka, pemerintah seakan “aparat Tuhan”. Hukum ditentukan oleh Tuhan. Tidak ada kewenangan manusia untuk menentukan hukum. Bagi kelompok ini, akhirnya tidak ada pembagian antara ruang publik, ruang privat serta ruang irisan. Semua ruang sama. Semua harus diatur oleh hukum Tuhan. Tidak ada demokrasi.
Hukum bagi mereka akhirnya adalah apa yang mereka pahami sebagai hukum Tuhan. Mereka cenderung tidak menerima pendapat orang lain. Bila menerima perbedaan pendapat, sama artinya dengan menerima adanya ruang privat. Dengan demikian, mazhab ini cenderung memutlakan kebenaran sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka saja. Yang berbeda dengan mereka sesat.
Pada masa lalu ada contoh berat berkaitan dengan mazhab hukum seperti ini. Masa Daulah Abbasiyyah dipimpin oleh khalifah Al-Ma’mun, negara bermazhab mu’tazilah. Dengan ketentuan negara, semua umat Islam harus bermazhab mu’tazilah. Siapa yang tidak sepaham dengan mu’tazilah sesat dan dihukum. Ketika kholifah Al-Ma’mun diganti, kholifah yang baru menetapkan mazhab ahlus sunnah sebagai mazhab negara. Saat itu, berganti kaum mu’tazilah yang dinyatakan sesat dan dihukum.
Terhadap kelompok ini di antara kritik yang disampaikan dikaitkan dengan firman Allah, “la ikroha fid din (tidak ada paksaan dalam beragama)”. Agama berada di ruang privat. Dengan demikian, tidak diperkenankan satu orang memaksa orang lain dalam urusan di ruang privat. Perbedaan agama dan pemahaman keagamaan adalah kenyataan.
Mazhab kedua
Mazhab kedua adalah komunitas yang berpendapat bahwa undang-undang diberlakukan pada ruang publik dan ruang irisan, tidak pada ruang privat. Ruang privat adalah urusan pribadi yang diatur oleh keyakinannya masing-masing.
Kelompok ini menolak pemberlakuan undang-undang pada urusan keagamaan. Mereka berkeyakinan urusan ini adalah urusan pribadi yang tidak boleh dipaksa orang lain.
Dalam urusan sosial budaya dan etika, mereka memasukkannya pada ranah undang-undang. Mereka memperkenankan undang-undang tentang hal-hal privat di ruang publik.
Penganut mazhab kedua ini kadang tepeleset memasuki ruang privat. Terpeleset yang sangat mungkin terjadi, karena pemisahan mereka tidak tegas. Demikian pula oleh para penganutnya yang oportunis cenderung dilakukan sebagai negosiasi politik – tergantung kepentingan dan keuntungan politiknya.
Mazhab ketiga
Mazhab ketiga adalah komunitas yang berpendapat bahwa undang-undang hanya berlaku pada ruang publik. Adapun ruang privat diatur oleh keyakinan pribadi. Dan ruang irisan diatur oleh etika sosial.
Bagi mereka, ruang privat adalah ruang spiritual yang sangat pribadi. Ruang irisan adalah ruang sosial budaya yang dibangun dengan rasa dan etika. Ruang publik adalah ruang duniawi yang negosiable. Ruang publik itu dibangun dengan kesepakatan formal yang orang dapat dipaksa untuk mengikuti dan melaksanakannya, karena berkaitan langsung dengan hak orang lain.
Mazhab ini yang sering dikritik sebagai kelompok sekuler – memisahkan agama dari negara. Kritik ini ada benarnya, bila melihat undang-undang formal. Mereka memang tidak menerima agama menjadi undang-undang atau hukum positif. Mereka berpendapat agama adalah hal privat, sedangkan undang-undang hanya boleh mencakup ruang publik. Undang-undang adalah wilayah musyawarah dan negosiasi. Agama adalah wilayah keyakinan yang tidak dapat dinegosiasikan.
Menganut pendapat mazhab ini bukan berarti tidak beragama dan tidak melaksanakan agama. Agama memang tidak mereka terima apabila dibuat sebuah undang-undang, namun mereka menerima agama sebagai nilai-nilai yang harus dilaksanakan setiap penganutnya pada segala aspek kehidupan. Mereka memandang agama adalah urusan privat yang menjadi bagian menyatu dengan diri setiap pribadi. Agama harus dilaksanakan sebagai sebuah keyakinan dan keikhlasan bukan sebagai sebuah paksaan, apalagi melalui aparatur negara.
Dalam syari’at Islam mereka menganut bahwa hadd hanya ada di ruang publik. Untuk pelanggaran terhadap ruang irisan yang berlaku adalah ta’zir. Sedangkan di ruang privat tidak ada hadd maupun ta’zir. Kalaupun di ruang privat ada ta’zir, itu berkaitan dengan kewajiban di wilayah pendidikan yang artinya berada di ruang irisan.
Mazhab ketiga ini menerima demokrasi. Bagi mereka demokrasi berada di wilayah negara yang berarti di wilayah publik. Wilayah itu adalah wilayah duniawi yang negosiable. Wilayah ini adalah wilayah manusia, sesuai sabda Nabi, “antum a’lamu bi umuri dunyakum”.
PENUTUP
Perbedaan ini akan terus ada. Yang paling penting adalah bagaimana mendidik diri sendiri dan umat manusia untuk siap hidup dalam perbedaan dengan damai. Tidak ada jalan untuk damai kecuali menerima adanya perbedaan.
Semoga berkah dan bermanfaat untuk kita semua. Amiin.