Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Rabu, 18 Februari 2009

TRADISI MENULIS DI PESANTREN

(tulisan ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat tanggal 4 Februari 2009)


Tradisi menulis umat Islam

Tulis menulis adalah tradisi umat Islam yang terus berkembang dari sejak masa generasi awal (salafus shalih). Aneka ragam karya tulis menjadi bagian dari khazanah umat Islam di berbagai negeri. Dalam berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan, umat Islam memiliki karya tulis.

Tradisi ini, menjadi bagian dari tradisi pesantren di Indonesia sebagai benteng dan gerbang ilmiyyah Islam. Berbagai karya tulis dari yang klasik sampai modern menjadi kajian di pesantren. Dari karya tulis yang ringan sampai yang menjelimet merupakan makanan keseharian para santri dan ajengan.

Materi kurikulum di pesantren tidak sekedar mempelajari fiqh, tauhid dan tashawwuf. Ilmu bahasa merupakan salah satu kajian utama para santri. Dari mulai sejarah bahasa, tata bahasa, filsafat bahasa sampai sastra bisa dikatakan materi yang wajib dikuasai para santri sebelum dapat dipandang sebagai ajengan.

Sistem kajian asli pesantren adalah sistem bedah kitab. Seorang ajengan akan membahas sebuah kitab dengan memperhatikan betul kebahasaan dan tingkat sastra kitab tersebut. Setiap kata akan dimaknakan. Mengapa kata itu dipergunakan ? Mengapa kalimatnya seperti itu ? Apa konsekuensi kata dan kalimat itu ?

Selain kitab aslinya yang dinamakan matan, dikaji pula kitab syarh dan hasyiyyah. Syarh adalah penjelasan dari kitab matan yang ditulis seakan menjadi kesatuan kitab baru.. Hasyiyyah adalah penjelasan terhadap matan dan atau syarah yang ditulis dengan format komentar terhadap hal-hal tertentu dari kitab syarh atau matan.

Santri mengenal kitab taqrib dalam fiqih. Kitab ini dijelaskan menjadi kitab syarh berjudul fathul qarib. Fathul qarib dikenal memiliki banyak hasyiyyah, di antaranya Al-Bajuri.

Selain tradisi matan, syarah dan hasyiyyah, berkembang pula tradisi narasi dan syair. Banyak kitab matan yang berbentuk sya’ir, dibuatkan syarahnya berbentuk narasi. Banyak pula kitab narasi yang dibuatkan kitab baru berbentuk sya’ir.

Al-Ajurumiyyah adalah matan narasi untuk kajian tata bahasa ‘Arab yang menjadi kajian utama santri pemula. Lepas Al-Ajurumiyyah, santri mengenal kitab ‘Imritihi. Imrithi adalah bentuyk nazhm (nadoman ; sunda) atau syair dari Al-Ajurumiyyah.

Dalam fiqh, santri menganel pula syair dan matan tersebut. Safinah sebagai matan dalam ilmu fiqh yang dikaji santri pemula disyarahi menjadi kitab Kasyifatus saja. Selain itu, dinazhmkan pula menjadi kitab Inaratud Duja.

Tradisi ini tidak hanya sekedar menjadi kajian, namun berkembang pula menjadi karya-karya baru para ajengan dan santri santri Indonesia. Bila kita menengok madrasah-madrasah diniyyah di pedesaan kita akan menjumpai para murid madrasah diniyyah mendapatkan pelajaran berbentuk nadoman (syair) dalam bahasa daerahnya. Orang sunda dengan nadom sunda. Orang Jawa dengan nadom Jawa.Nadoman-nadoman tersebut adalah karya para ajengan dan santri Indonesia.

Nadoman dan karya tulis tersebut, tidak lepas dari nilai-nilai sastrawi. Bisa kita temukan bagaimana para ajengan itu membuat syair-syair yang murwakanti (bersajak). Bahkan dapat dibermati dalam berbagai moment tabligh, ceramah dan taushiyyah, tradisi murwakanti menjadi bagian dari model dan gaya penyampaian para ajengan.

Latar belakang nilai karya tulis pesantren

Karya para santri dan ajengan ini berkembang dari nilai-nilai spiritual. Rasa, rumasa dan raksa adalah tiga hal utama yang dipergunakan. Simak bagaimana kisah masyhur tentang Syaikh Ibnu Malik ketika menyusun kitab Nazhm Al-Fiyyah. Saat beliau sampai pada syair yang mengungkapkan kelebihan karyanya dari karya Syaikh Ibnu Mu’thi, beliau terhenti dan kehilangan inspirasi. Inspirasi itu kembali setelah beliau bertemu dalam mimpi dengan syaikh Ibnu Mu’thi, kemudian beliau menuliskan syair yang menunjukkan bahwa walaupun yang beliau susun lebih baik, namun yang lebih berhak mendapatkan pujian adalah Syaikh Ibnu Mu’thi karena posisinya sebagai pendahulu. Nilai kesombongan dan tawadhu’ yang menjadi inti dari kisah itu.

Nilai-nilai spiritual itu kadang kala menjadi sesuatu yang kontroversial ketika memasuki wilayah tashawwuf falsafi atau tashawwuf cinta. Ungkapan sastrawi romantisme cinta Tuhan, kadang membawa simbol-simbol yang secara lahiriyyah seakan bertentangan dengan akal dan iman.

Umat Islam terbagi menjadi dua kelompok besar dalam menyikapinya. Kelompok pertama memandang ungkapan-ungkapan kontroversial itu sebagai kesesatan. Islam tidak memperkenankan ungkapan-ungkapan tersebut. Para penulis dan penyairnya dikatakan telah sesat, bahkan sampai dikatakan murtad.

Kelompok kedua memandang ungkapan-ungkapan kontroversial itu wajar saja sebagai bagian dari sastra yang berasal dari rasa romantisme. Sebuah ungkapan sastra romantis tidak bisa dipahami secara redaksional leterlek. Ungkapan-ungkapan seperti itu perlu penelaahan mendalam terhadap makna-makna sebenarnya yang bersembunyi dibalik kata-kata.

Kelompok kedua, di antaranya menunjukkan contoh bagaimana dua sejoli yang sedang dilanda cinta mengatakan “engkau dan aku adalah satu”. Tidak logis, karena engkau dan aku adalah dua bukan satu. Namun, romantisme tidak melihat logika matematika itu. Ramantisme merujuk pada rasa dan rumasa yang melatarbelakangi ungkapan itu. Cinta membuat orang merasakan kebersamaan dan kesatuan.

Metamorfosa karya tulis anak pesantren

Karya santri dan ajengan berkembang dan mengalami pasang dan surut. Sebuah gaya penulisan yang berkembang dan trend di satu kurun berubah pada kurun yang lain. Thema yang menjadi trend berubah pula pada setiap kurun.

Pada masa lalu, nadoman adalah karya favorit santri dan ajengan. Nadoman ini berkembang luas dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Nadoman-nadoman menjadi bahan ajar di madrasah. Nadoman-nadoman menjadi pembuka pengajian. Nadoman-nadoman menjadi buah tutur dan lagu rakyat.

Seiring perjalanan waktu nadoman surut dan digantikan puisi. Trend nadoman berganti dengan trend menulis puisi. Muncullah para penyair berlatar belakang pesantren.

Trend puisi berkembang disertai dengan penulisan lagu. Anak pesantren merambah dunia tarik suara. Anak pesantren membuat grup qashidah. Anak pesantren membuat grup nasyid. Bahkan anak pesantren membuat grup band.

Trend puisi bergeser kepada trend menulis novel. Muncullah ayat-ayat cinta, ketika cinta bertasbih, trilogi ma’rifat cinta dan lai8n sebagainya.

Trend ini sedang bergerak lagi menjadi trend penulisan skenario. Trend ini berawal dari kesadaran anak pesantren untuk berdakwah memanfaatkan dunia entertainment. Trend ini mulai menemukan energi maju dimulai dengan sinetron bernuansa religi setiap ramadhan. Momentum menuju trend dimulai dengan suksesnya film ayat-ayat cinta.

Metamorfosa akan terus terjadi. Trend penulisan akan selalu berubah. Mungkin akan kembali pula ke trend masa lalu. Nadoman suatu saat akan kembali menemukan kejayaannya.

Penutup

Prinsip bagi dunia menulis pesantren sebenarnya bukanlah bentuknya. Prinsip penulisan di dunia pesantren adalah nilai-nilai spiritual yang melatarbelakanginya.

Nilai-nilai spiritual itulah yang harus dijaga agar tetap menjadi dasar danmotivasi setiap karya. Upaya mengalihkan kepada nilai-nilai materialistik harus dicegah.

Santri dan ajengan memang membutuhkan alat duniawi untuk hidupnya dengan wajar. Namun, alat duniawi jangan berubah menjadi nilai prinsip yang melatarbelakangi karya yang dilakukan.

Tetaplah dengan mahabbatullah (cinta Allah). Bertahanlah dari godaan hubbudunya (cinta dunia).


1 komentar:

Anonim mengatakan...

ustadz... izin share
http://www.ppmmiftahulkhoir.com/v2/tradisi-menulis-di-pesantren/