Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Rabu, 18 Februari 2009

MENAKAR FATWA HARAM ROKOK

MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa rokok diharamkan untuk empat kategori. Pertama untuk anak-anak. Kedua untuk remaja. Ketiga untuk wanita (ibu hamil). Keempat untuk pengurus MUI.

Kita lepaskan dulu dari perbedaan pendapat tentang haram dan makruhnya rokok. Mari kita menakar fatwa haram rokok untuk empat kategori tersebut. Apa landasan syari’ahnya ?

Secara mendasar dan diakui bersama bahwa ketentuan syari’ah berimplikasi pahala dan dosa. Hal itu berarti surga dan neraka. Fatwa haram rokok menempatkan para peroko sebagai pendosa dan calon penghuni neraka.

Ketentuan syari’ah - dalam arti pahala dan dosa - disepakati dikenakan untuk mereka yang mukallaf. Mukallaf adalah mereka yang baligh dan berakal sehat. Selain mereka yang baligh dan berakal sehat tidak dikenai hukum dosa. Rasulullah Muhammad s.a.w. menyampaikan bahwa tidak dicatatkan amal (tidak dikenai dosa) dari tiga kelompok, pertama anak-anak sampai ia baligh, kedua orang tidur sampai ia bangun dan ketiga orang gila sampai ia waras.

Ketentuan mendasar itu sudah dengan jelas membantah fatwa MUI tentang haram rokok untuk anak-anak. Anak-anak tidak termasuk mukallaf. Anak-anak tidak dikenai sangsi dosa.

Bila dikaitkan dengan pendidikan anak dan hifzun nasl (menjaga kelangsungan generasi penerus), maka seharusnya yang dikenai fatwa adalah orang tua dan para pendidiknya. Larangan merokok buat anak-anak seharusnya difatwakan dengan wajib bagi orang tua dan pendidikan untuk melarang anak-anak merokok. Perhatikan fatwa tentang shalat ! Tidak ada fatwa haram anak-anak meninggalkan shalat. Fatwa yang ada adalah orang tua dan pendidik harus mengajari anak dan menyuruhnya shalat saat ia berusia tujuh tahun dan menghukumnya bila meninggalkan shalat setelah ia berusia sepuluh tahun.

Fatwa haram untuk remaja sangat tidak berdasar. Siapa yang dikatakan remaja ? Dalam syari’ah tidak ada pemilahan anak-anak, remaja dan dewasa. Pemilahan hanya anak-anak dan baligh.

Bila dikatakan remaja itu anak usia SMP dan SMA, maka kita kan menemukan dua kategori. Anak SMP mungkin ada sudah baligh ada yang belum. Anak SMA sudah baligh seluruhnya. Untuk yang belum baligh dikenai fatwa anak-anak. Untuk yang sudah baligh dikenai fatwa mukallaf. Mukallaf tidak dibedakan karena usia. Satu fatwa bagi mukallaf berlaku untuk semua usia.

Fatwa haram untuk pengurus MUI lebih tidak berdasar lagi. Apa yang membedakan status pengurus MUI dengan mukallaf yang lain di hadapan syari’ah ? Tidak ada. Ingatkah MUI bahwa ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada kerahiban ?

Bila fatwa ini diberlakukan, maka salah satu konsekuensi logia adalah para waulama yang tetap berpendapat rokok itu makruh dan mereka adalah perokok harus keluar dari kepengurusan MUI. Saya yakin, bila ini terjadi, MUI akan kosong karena ditinggalkan mayoritas pengurusnya.

Fatwa haram untuk wanita hamil menjadi fatwa paling mungkin bisa diterima. Bila hanya sekedar haram bagi perempuan, Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam status di hadapan hukum. Ada perbedaan pun prinsipnya hanya berkaitan dengan fitrah kewanitaan dan kelaki-lakiannya, seperti kehamilan dan menstruasi.

Bila haram merokok dikenakan pada perempuan dengan syarat ia hamil, maka ini memang khas perempuan. Mungkin ini memerlukan kajian yang lebih mendalam. Namun, setidaknya ada alasan syari’ah yang bisa diterima. Masalah fatwa ini bisa dikategorikan pada hifzun nasl (menjaga kelangsungan generasi penerus).

Akhirnya bila kita coba takar dengan prinsip dasar syari’ah, kita hanya menemukan tanda tanya besar pada fatwa MUI tentang haram merokok itu.

Ya Allah, kemana lagi saya harus mencari fatwa bila begini kondisinya ?

Ya Allah mungkin inilah saat para sufi ditunjukkan kebenarannya. Mereka memegang teguh nasehat Rasulullah s.a.w. “istafti qalbaka (mintalah fatwa pada hati nuranimu) !” Saat ini yang harus kita lakukan akan membersihkan dan menjernihkan hati dari kungkungan hawa nafsu sebagaimana yang dilakukan para sufi. Lalu kita meminta fatwa pada kejernihan dan kebeningan hati itu. Hanya hati yang bersihlah yang menangkap dengan jelas cahaya petunjuk ilahi.

Walllahu a’lamu bish showab.


Tidak ada komentar: