Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Rabu, 18 Februari 2009

GOLPUT HALAL, GOLPUT HARAM

(tulisan ini pernah dimuat diHarianPikiran Rakyat tgl 3 Februari 2009)

Fenomena golput terus meningkat dalam setiap pilkada. Kondisi ini tampaknya mulai mengkhawatirkan banyak pihak, terutama para elite politik. Tingginya angka golput melemahkan legitimasi kekuasaan yang diperoleh para elite kukuasaan politik.

Fenomena ini membawa sebagaian elit politik menarik sisi agama untuk berbicara tentang golput.

Bagaimana sebenarnya golput itu ?

KONSTITUSI

Dalam Konstitusi Indonesia, memilih dan dipilih adalah hak bukan kewajiban. Hal ini berbeda dengan konstitusi Amerika yang menempatkan memilih sebagai hak dan kewajiban. Bila memilih dan dipilih adalah kewajiban, maka siapa yang tidak melaksanakannya melanggar kewajiban. Para pelanggar kewajiban mendapatkan sangsi hukum. Bila memilih dan dipilih adalah hak, siapa pun bebas untuk mempergunakan ataupun melepaskan haknya tersebut.

Dalam konstitusi Indonesia, memilih adalah hak. Warga negara Indonesia dijamin oleh konstitusi kebebasannya untuk mempergunakan ataupun melepaskan hak memilih itu. Bila orang memilih golput artinya ia melepaskan haknya tersebut. Melepaskan hak bukanlah sebuah kejahatan. Siapa pun yang golput dilindungi keberadaannya oleh konstitusi Indonesia.

Yang sebenarnya bermasalah adalah undang-undang dan aturan pemilu yang memberikan batasan untuk orang yang berhak maju dalam pemilihan. Sebagai contoh, aturan bahwa pendidikan formalnya minimal SLTA, harus dari partai, maupun harus didukung oleh minimal 25 % suara. Aturan itu membelenggu dan merampas hak setiap individu warga negara untuk dipilih. Bila mengacu kepada status hak dipilih pada konstitusi, selayaknya mahkamah konstitusi harus membatalkan undang-undang atau pasal di undang-undang atau aturan yang melanggar konstitusi tersebut.

SYARI’AH

Memilih dan dipilih dalam masalah ini berkaitan dengan kepemimpinan. Islam mengharuskan umatnya untuk mengangkat pemimpin. Pengangkatan pemimpin adalah kewajiban (fardhu) menurut syari’ah. Dengan demikian, bila umat Islam tidak mengangkat pemimpin artinya mereka telah melanggar syari’ah.

Namun, mengangkat pemimpin adalah fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Mengangkat pemimpin adalah kewajiban yang dikenakan kepada seluruh anggota komunitas masyarakat, namun cukup dilakukan oleh sebagiannya saja.

Mengapa fardhu kifayah ? Apa dasarnya ?

Mari kita perhatikan sejarah khulafaur rasyidin. Setelah Rasulullah s.a.w. wafat, umat Islam mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. di Saqifah Bani Sa’idah. Proses tersebut dilakukan melalui musyawarah yang diikuti oleh sebagian kaum muslimin. Hasil musyawarah kemudian disepakati kaum muslimin yang lain dengan melaksanakan bai’at kepada Abu Bakar As-Shiddiq s.a. sebagai khalifah.

Pengangkatan ‘Umar bin Khaththab r.a. sebagai khalifah dilakukan melalui wasiat dari Abu Bakar As-Shiddiq r.a. Wasiat itu kemudian dilanjutkan dengan bai’at dari kaum muslimin.

Pengangkatan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. dilakukan melalui formatur yang ditetapkan khalifah ‘Umar bin Khththab r.a. Setelah itu dilanjutkan dengan bai’at oleh kaum muslimin.

Pengangkatan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib r.a. dilakukan atas permintaan masyarakat kepada beliau. Permintaan itu terkait dengan adanya kisruh politik sampai terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Umat Islam mengalami kekosongan kepemimpinan. Kekosongan itu ditindaklanjuti kaum muslimin dengan meminta ‘Ali bin Abi Thalib r.a. bersedia dibai’at sebagai khalifah.

Sejarah itu cukup menunjukkan bahwa memilih atau mengangkat pemimpin adalah fardhu kifayah. Dengan demikian, tidak memilih atau golput yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia tidak menjadi dosa selama ada anggota masyarakat yang lain yang melaksanakan kewajiban memilih.

Namun, agama akan memberikan penilaian terhadap motivasi atau niat golput. Bila motivasi golput itu karena rasa tidak peduli kepada nasib bangsa dan negara, sama artinya dengan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab dinilai sebagai orang tercela menurut syari’ah. Bila motivasi golput itu adalah amar ma’ruf nahyi munkar (sebagai peringatan terhadap elit politik atas perilakunya yang tercela), orang tersebut adalah pejuang dan pemberi nasehat. Para pejuang dan pemberi nasehat dinilai sebagai orang terpuji menurut syari’ah.

Sebaliknya, perlu pula diperhatikan motivasi mereka yang memilih. Bila motivasi memilih adalah tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, mereka adalah para pejuang. Pejuang adalah mereka yang dinilai terpuji menurut syari’ah. Bila motivasi memilih adalah kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompoknya, mereka dinilai sebagai orang egois. Egisme dinilai sebagai sifat tercela menurut syari’ah. Bahkan, egoisme ini dikategorikan ‘ashabiyyah. Rasulullah s.a.w. menyampaikan bahwa bukan termasuk umatku mereka yang berjuang dan bertindak atas nama ‘ashabiyyah (kepentingan pribadi atau kelompok dan golongannya saja).

Urusan golput tidak lepas dari urusan politik. Semakin tinggi golput semakin rendah legitimasi elite politik pemegang kekuasaan hasil pemilihan. Dengan demikian, menurunkan tingkat golput adalah kepentingan politik. Bila dikaitkan dengan permintaan fatwa haram atas golput, hal ini sebenarnya merupakan politisasi agama, membuat agama sebagai alat politik.

Secara teoritis dan realitas yang ada, golput menjamur dan lebih cepat berkembang di masyarakat perkotaan. Dengan demikian, permintaan untuk keluarnya fatwa haram patut dicurigai sebagai politisasi agama. Fatwa itu menjadi alat untuk menekan masyarakat dengan ditakuti-takuti oleh surga dan neraka. Pada akhirnya fatwa itu patut dicurigai akan dipergunakan sebagai alat kampanye.

Selain itu, permintaan fatwa itu menunjukkan elite politik sedang lari dan mengalihkan diri dari masalah sebenarnya. Golput sebenarnya merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap elite politik. Dengan demikian, masalah sebenarnya bukan halal dan haram, namun perilaku elit politik.

Bila golput disikapi elit politik dengan meminta fatwa haram, elit politik sedang berusaha menutupi masalah sebenarnya. Mereka tidak mau menyadari dan tidak mengakui kesalahannya yang membuat masyarakat kesal dan tidak mempercayai mereka lagi. Permintaan fatwa itu pun menunjukkan bahwa elit politik masih mempunyai paradigma kekuasaan.

Dari sisi perilaku, tindakan ini menunjukkan elite politik tidak bersedia untuk introspeksi diri. Elite politik tidak mau memperbaiki diri. Dalam kampanye menuju pemilu 9 April 2009 pun tampak, kekecewaan masyarakat adalah pada perilaku mereka. Namun, mayoritas kampanye bukan menunjukkan kualitas ilmu, amal dan akhlaq. Mayoritas kampanye dilakukan dengan pendekatan ekonomi. Masyarakat diiming-imingi dengan pemberian sesuatu. Suara masyarakat dibeli dengan bakti sosial, pengobatan gratis, khitanan massal, bola voli dan lain sebagainya. Para tokoh diiming-imingi bantuan untuk pribadinya dan atau lembaga serta organisasinya Secara maknawi, menurut saya, tindakan mengiming-imingi itu termasuk money politics. Secara syari’ah, tindakan tersebut merupakan suap dan haram.

Hasil bahtsul masail Nahdlatul ‘Ulama menunjukkan bahwa suap tidak hanya haram memberi dan menerimanya saja. Suap pun mengakibatkan jabatan atau pekerjaan yang diperoleh serta gaji yang diperoleh dari jabatan itu haram pula.

Mari kita mencoba memahami secara jernih dan lebih menyeluruh. Semoga menjadi manfaat untukperbaikan bangsa dan negara kita ke depan.Amiin.

Waalhu a'lam bissowab


1 komentar:

Unknown mengatakan...

assalam, saya setuju dengan posting bapak ini. golput halal atau haram itu tergantung dari niat masing2 pribadi. izin share pak, dan teruslah berkarya.