Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Jumat, 30 Oktober 2009

IMAM AL-BUKHORI BUKAN SALAF AS-SOLIH ?

Kata salaf as solih sudah tampil di pergaulan khazanah umat Islam sebagai jaminan kebenaran. Namun, siapa salaf as solih sebenarnya ?

Dalam penjelajahan yang saya lakukan, yang saya temukan salaf as solih adalah tiga generasi pertama umat Islam. Generasi itu adalah :

  1. Para sahabat r.a., yaitu yang langsung berguru kepada Rosulullah Muhammad s.a.w. Beliau semua bertemu dengan Rosulullah Muhammad s.a.w. saat masih hidup.
  2. Para tabi'in, yaitu mereka yang berguru kepada para sahabat r.a. Jadi tabi'in ini adalah para murid langsung sahabat r.a. Para tabi'in ini bertemu dengan para sahabat r.a. saat masih hidup.
  3. Para tabi'it tabi'in, yaitu mereka yang berguru kepada tabi'in. Jadi mereka adalah murid langsung para tabi'in. Para tabi'ut tabi'in ini bertemu dengan para tabi'in saat masih hidup.
Pemahaman ini saya temukan didasarkan kepada sabda Rosulullah Muhammad s.a.w. : "Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya (Muttafq 'alaih / H.R Bukhori dan Muslim)

Menurut penjelasan yang ada, yang dimaksud "pada masaku" adalah para sahabat r.a. Yang dimaksud kata "yang sesudahnya" yang pertama adalah para murid sahabat r.a. (tabi'in). Yang dimaksud kata "yang sesudahnya" yang kedua adalah para murid dari para murid sahabat r.a. (tabi'ut tabi'in).

Dengan menggunakan pemahaman itu, saya membuat kesimpulan bahwa Imam Al-Bukhori bukanlah termasuk salaf as solih. Mengapa ? Karena menurut sanad ilmunya beliau sudah generasi keenam. Ini di antara sanad ilmu Imam Al-Bukhori yang saya temukan :

  1. Imam Al-Bukhori, murid dari
  2. Imam Al-Humaidi, murid dari
  3. Imam Asy-Syafi'i, murid dari
  4. Imam Malik, murid dari
  5. Imam Nafi', murid dari
  6. Sahabat Abdullah bin 'Umar r.a., murid dari
  7. Rosulullah Muhammad s.a.w.
Demikian pula bila kita melihat hadits-hadits yang diriwayatkan dalam sohih bukhory, kita melihat Imam Al-Bukhori tidak berada pada kelompok sanad (mata rantai) di tiga generasi pertama.

Jadi......., siapa saja yang salaf as solih ?

Mungkin kita perlu lebih banyak meneliti, sehingga menemukan pemahaman yang lebih utuh dan dapat mendudukan sesuatu sesuai dengan seharusnya.



Selengkapnya...

Rabu, 28 Oktober 2009

KEMBALI KE AL-QURAN DAN ASSUNNAH (SAJA) TERNYATA KESALAHAN ?

Saat Rosululloh Muhammad s.a.w. mengutus Sahabat Mu'az bin Jabal r.a. ke Yaman, terjadi sebuah dialog.

Rosulullah Muhammad s.a.w. : "Bagaimana engkau memberikan keputusan (hukum) ketika kepadamu dihadapkan suatu kejadian ?"

Sahabat Mu'az bin Jabal r.a. : "Aku memberikan keputusan dengan KITABULLOH (AL-QURAN)"

Rosululloh Muhammad s.a.w. : "Jika tidak kamu dapati di kitabulloh ?"

Sahabat Mu'az bin Jabal r.a. : "Dengan SUNNAH ROSULULLOH"

Rosululloh Muhammad s.a.w. : "Jika tidak kamu dapati di sunnah rosululloh ?"

Sahabat Mu'az bin Jabal r.a. : "Aku akan berIJTIHAD dengan pendapatku, dan aku TIDAK AKAN MEMPERSEMPIT ijtihadku"

Rosululloh Muhammad s.a.w. menepuk dada Mu'az bin Jabal r.a. seraya bersabda : "Alhamdu lillah (segala puji bagi Allah) yang memberikan taufiq kepada utusan Rosulullah terhadap sesuatu yang Rosulullah meridoinya"

Kisah tersebut diriwayatkan dalam hadits yang sangat dikenal, terutama di kalangan mereka yang mempelajari syari'ah Islam berikut metodologinya.

Dari kisah itu didapat tiga metode mengambil keputusan dalam syari'ah Islam, yaitu :
  1. Mencari di kitabulloh (Al-Quran)
  2. Mencari di sunnah Rosululloh
  3. Berijtihad (menggunakan pendapat sendiri)
Ketika orang hanya mencari di kitabulloh dan sunnah Rosululloh, maka ia telah menyalahi hadits ini. Dengan demikian, mengatakan sesuatu itu bid'ah atau salah atau sesat karena tidak ada dalam kitabulloh (Al-Quran) dan sunnah Rosululloh adalah sangat lemah dan tidak bisa dipergunakan.

Bila sesuatu tidak didapatkan di kitabulloh dan sunnah Rosululloh, tidak dapat diputuskan atau dihukumi salah, sesat atau bid'ah. Masih ada metode ketiga yang harus ditempuh, yaitu ijtihad.

Dalam koridor inilah dipergunakan berbagai metodologi yang sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Yang disepakati para ulama mujtahid adalah dipergunakannya ijma' dan qiyas. Di antara yang tidak disepakati adalah dipergunakannya istihsan, maslahah mursalah, istishhab, dan 'urf.

Lepas dari masalah mana car aijtihad yang disepakati dan tidak disepakati, perlu digarisbawahi benar bahwa dalam hadits di atas sahabat Mu'az bin Jabal r.a. mengatakan bahwa beliau TIDAK AKAN MEMPERSEMPIT IJTIHAD beliau. Dengan demikian, janganlah berijtihad secara sempit - jangan mudah menyatakan sesuatu itu salah, sesat atau bid'ah.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi bahan untuk penelaahan lebih lanjut menjadikan kita semua arif dan bijaksana.



Selengkapnya...

Jumat, 23 Oktober 2009

JABATAN DAN INNA LILLAHI

Istirja' - mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji'un - saat ini mulai mewabah dipergunakan saat mendapat sebuah "amanah" jabatan.

Benarkah penggunaannya ?

Mari kita merenung.

1. Istirja' adalah ungkapan orang sabar saat menerima musibah (Q.S. Al-Baqoroh (2) ayat 156). Dengan istirja' "amanah' jabatan itu dipandang sebagai musibah.

2. Bila memperhatikan ayat sebelumnya (Q.S. Al-Baqoroh (2) ayat 155) musibah yang dimaksud adalah cobaan dari Allah yang berupa berbagai kekurangan, seperti ketakutan dan kelaparan. Apakah mendapat "amanah" jabatan termasuk dalam konteks ini ?

3.Saya yakin bahwa setiap orang tidak berupaya untuk mendapatkan musibah. Bila mendapat "amanah" jabatan adalah musibah, maka pasti orang itu tidak melakukan upaya atau manuver untuk memperolehnya.

4.Saya yakin bahwa setiap orang yang mendapat musibah ingin lepas dan terhindar dari musibah itu. Bila mendapat "amanah" jabatan adalah musibah, maka pasti orang itu ingin lepas dan menghindar dari jabatan itu. Dengan demikian ia pasti mengundurkan diri, karena dengan mengundurkan diri itulah ia lepas dan terhindar dari musibah itu.

5.Abi Dzar bertanya kepada Rasulullah, ''Wahai Rasulullah, maukah engkau mengangkat aku jadi pegawai?'' Lalu Rasulullah SAW menepukkantangannya ke atas kedua bahuku, kemudian bersabda, ''Wahai Abu Dzar,engkau orang yang lemah, sedangkan tugas itu adalah amanah dan kelakpada hari kiamat akan merupakan penyesalan dan kesedihan, kecualihanya orang-orang yang berhak menerimanya dan menunaikan amanah itudengan semestinya.'' (HR Muslim).

hmmmm...... jadi gimana ya ?

Apakah tidak lebih tepat bila istirja' itu dibacakan oleh rakyat bila mendapatkan para pemimpin yang menurut mereka tidak layak ?
Bukankah dipimpin orang yang tidak layak adalah musibah ?
Rakyat sulit untuk menghindarkan setelah ia terpilih. Rakyat hanya bisa bersabar yang salah satunya dengan istirja' itu.



Selengkapnya...

Kamis, 22 Oktober 2009

MENEGAKKAN SYARI'AH ISLAM


Menegakkan syari'ah Islam adalah kewajiban bagi umat Islam dengan landasan firman Allah, "Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan maka ia termasuk orang zholim" pada ayat lain " termasuk orang fasiq dan pada ayat lain termasuk orang kafir (Q.S. Al-Maidah : 44, 45, 47) . Demikian wacana yang berkembang.

Berkaitan dengan wacana itu, ada pertanyaan yang menjadi bahan renungan. APAKAH MENEGAKKAN SYARI'AH ADALAH MENJADIKAN SYARI'AH SEBAGAI UNDANG-UNDANG FORMAL ATAU MEMBUAT ORANG TAAT SYARI'AH ?

Ada beberapa renungan turunan, di antaranya :

Masa Nabi Muhammad s.aw. ada orang yang mengatakan saya telah beriman, tapi Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang menerangkan bahwa mereka belum iman tapi baru islam (tunduk). Sebagian memahami kejadian ini sebagai contoh orang yang terpaksa atau dipaksa taat. Saat itu, mereka taat karena "takut" terhadap kekuatan "politik dan militer" Nabi Muhammad s.a.w., bukan muncul dari keimanan dan rasa kehambaan mereka di hadapan Allah SWT. Analisa ini didasarkan bahwa saat Nabi Muhammad s.a.w. wafat muncullah kelompok penentang zakat. Apakah ayat ini bukan peringatan kepada kita tentang efek lain dari formalitas syari'ah ?

Totalitas syari'ah Islam dapat dikatakan terdiri dari unsur aqidah (iman), unsur amal (islam), dan unsur akhlaq (ihsan). Nah yang mana yang dijadikan undang-undang formal ?

Bila seluruhnya, bagaimana formulasi undang-undang aqidah, bagaimana formulasi undang-undang amal dan bagaimana formulasi undang-undang akhlaq ? Kita akan sangat kesulitan dalam melakukan penilaian terhadap aqidah dan akhlaq, karena aqidah dan akhlaq berada di dalam "rahasia" manusia, bukan di dalam lahirnya. kita ambil contoh, bagaimana kita memformulasikan larangan sombong dan kewajiban tawadhu' serta sangsi hukumnya dalam undang-undang formal ?

Bila hanya bagian amal (lahiriyyah) saja, maka rasanya lebih cocok disebut dengan formalisasi fiqih Islam, bukan penegakkan syari'ah Islam. Mengapa ? Karena amal (lahiriyyah) bukanlah syari'ah Islam, tapi hanya bagian dari komponen syari'ah Islam yang ilmunya lebih kita kenal dengan istilah fiqih.

Bila penegakkan syari'ah berarti formalisasi syari'ah dalam bentuk undang-undang, maka perjuangannya berarti berpolitik. Gerakan formalisasi syari'ah adalah gerakan politik.

Bila penegakkan syari'ah berarti membangun ketaatan pada syari'ah maka perjuangannya adalah menghidupkan iman dan rasa kehambaan dalam diri manusia (Q.S. Al-An'am : 125). Iman dan rasa kehambaan tidak bisa dihidupkan dengan paksaan kekuasaan undang-undang.

Saat iman dan rasa kehambaan hidup orang taat pada syari'ah. Kita melihat jelas bagaimana orang shalat jum'ah walaupun tidak ada undang-undang formal harus shalat jum'ah.

Terakhir, ada sebuah kisah. Pernah di Syibam, ada seorang shalih memegang jabatan hakim. Selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang mengadukan masalahnya.

Suatu hari ia mengeluh kepada penduduk kota, “Mengapa di antara kalian tak ada yang berkelahi ? Mengapa tak ada yang bersengketa ?"

Penduduk Syibam menjawab, “Penghuni kota ini antara yang satu dan yang lain telah didamaikan Al-Quran. Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah (Q.S. Asy-Syura (42) ayat 40). Mereka tidak butuh engkau. Apa yang hendak engkau hakimi jika mereka telah bersatu ?” Baca kisah lengkapnya di blog : hikayat indah.

Allohu A'lam



Selengkapnya...