Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Rabu, 31 Desember 2008

ADAKAH TAHUN BARU ISLAM ?

Ungkapan tahun baru Islam adalah ungkapan dikotomis. Dengan ungkapan tersebut ada tahun baru kafir atau musyrik. Bila tahun hijriyyah dikatakan tahun Islam, maka tahun yang lain adalah tahun kafir atau musyrik.

Ungkapan itu menjadi sesuatu yang berbahaya. Bila dikaitkan dengan keterangan bahwa siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum itu, maka bisa jadi bangsa Indonesia dianggap kafir seluruhnya. Mengapa ? Seluruh bangsa Indonesia menggunakan tahun masehi.

Ini masalah besar, karena mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim. Mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Mereka mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad sebagai Rasulullah. Apakah syahadat mereka itu tidak cukup untuk menempatkan mereka di barisan kaum muslimin ?

Kita coba untuk merujuk pada sejarah. Tahun hijriyyah ternyata bukan tahun yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Orang kafir dan musyrik sebelum Nabi Muhammad s.a.w. diutus telah menggunakan sistem perhitungan tahun sebagaimana yang dipergunakan pada perhitungan tahun hijriyyah.

Nabi Muhammad pun tidak menetapkan tahun hijriyyah tersebut. Penetapan tahun hijriyyah dilakukan oleh khalifah ‘Umar bin Khaththab r.a. Setelah sebelumnya tahun dinamakan dengan peristiwa sejarah besar yang terjadi di tahun itu, Umar bin Khaththab r.a. menetapkan hijriyyah. Tahun satu ditetapkan berdasarkan sejarah besar Hijrah Nabi Muhammad s.a.w. dari Makkah ke Madinah.

Maka tidak ada bedanya dengan tahun lain – masehi katakanlah contohnya. Semua tahun itu tidak berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. Baik tahun hijriyyah maupun masehi atau dengan nama lainnya dipergunakan beragam bangsa dan kebudayaan di seluruh penjuru dunia.

Yang berbeda dalam perhitungan tahun itu adalah parameternya. Hijriyyah menggunakan peredaran bulan mengelilingi bumi. Masehi menggunakan peredaran bumi mengelilingi matahari.

Bulan dan matahari keduanya disahkan oleh Allah dalam Al-Quran sebagai alat untuk melakukan perhitungan tahun.

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar danbulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan, supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.Q.S. Yunus (10) ayat 5,

Dengan demikian, baik itu tahun hijriyyah maupun tahun masehi, keduanya adalah tahun yang sesuai dengan ajaran Islam. Perbedaan keduanya hanya dalam penggunaannya saja.

Secara umum, tahun yang berdasarkan peredaran bulan (qomariyyah- hijriyyah) dipergunakan sebagai kalender spiritual dan magis. Umat Islam mempergunakan kalender hijriyyah sebagai kalender ‘ibadah. Puasa, hajji, ‘idul fithri, ‘idul ‘adha, zakat dll menggunakan kalender hijriyyah. Para tukang sihir pun mempergunakan sistem perhitungan ini untuk kepentingan magis. Di negara barat, manusia serigala dipengaruhi bulan purnama. Orang jawa mempergunakan kalender ini untuk ritual proses kedigjayaan.

Tahun yang berdasarkan peredaran matahari (syamsiyyah – masehi) pada masa lalu dapat dipergunakan untuk memperkirakan musim. Musim dipengaruhi oleh suhu, angin dan curah hujan. Suhu dan curah hujan dipengaruhi oleh pemanasaan matahari. Pada masa lalu, dengan kalender masehi (matahari) manusia dapat terbantu dalam melakukan perhitungan pertanian.

Dalam satu tahun matahari kadang-kadang lebih utara dari katulistiwa dan kadang kadang lebih selatan dari katulistiwa. Angin adalah udara yang bergerak dari yang rapat ke yang renggang. Udara lebih renggang di daerah yang lebih panas. Bila matahari di selatan katulistiwa, maka angin bertiup dari utara ke selatan. Bila matahari di utara katulistiwa, maka angin bertiup dari selatan ke utara. Angin bertiup membawa awan. Awan adalah uap-uap air yang berpengaruh terhadap curah hujan.

Pada saat ini, kondisi cuaca dan musim memang sudah sulit ditentukan melalui kalender matahari. Angin, awan, curah hujan dan musiam sudah berubah seiring dengan terjadinya efek rumah kaca dan pemanasan global. Selain itu, gelombang elektromagnet televisi, radio, telepon, satelit dan lainnya telah membuat perubahan posisi dan pergeseran awan.

Namun, selain musim tahun masehi (syamsiyyah – matahari) dapat dipergunakan sebagai alat perhitungan waktu shalat. Bukankah waktu shalat dihitung berdasarkan matahari ? Maghrib adalah saat matahari terbenam. Zhuhur adalah saat matahari tergelincir ke sebelah barat. 'Ashr adalah saat bayang-bayang lebih panjang dari benda aslinya. ‘Isya adalah saat hilangnya awan merah setelah terbenam matahari. Shubuh adalah saat terbit fajar. Semua sesuai dengan peredaran matahari.

Bila kita mempergunakan kalender hijriyyah (berdasarkan bulan), maka setiap tahun kita harus menghitung ulang waktu shalat. Bulan muharram tahun ini, tahun lalu dan tahun depan berada pada posisi bumi dan matahari yang berbeda. Demikian pula bulan-bulan lainnya di tahun hijriyyah.

Namun, bila kita menggunakan kalender masehi (berdasarkan matahari), maka kita tidak perlu menghitung ulang jadual waktu shalat setiap tahun. Januari tahun ini, tahun lalu dan tahun depan berada pada kondisi posisi bumi dan matahari yang sama. Demikian pula pada bulan lainnya di tahun masehi. Dengan demikian cukup satu kali dilakukan perhitungan dan selanjutnya bisa dipakai berulang dengan berulangnya tahun.

Bila itu kenyataannya, relevankah kita mempergunakan istilah tahun baru Islam ?

Saya pikir lebih relevan kita mempergunakan istilah tahun baru hijriyyah dan masehi saja. Atau mungkin kita bisa menggunakan istilah tahun qomariyyah (lunar) dantahun syamsiyyah (solar). Hijriyyah dihitung berdasarkan peredaran bulan. Masehi dihitung berdasarkan peredaran matahari. Keduanya – bulan dan matahari – adalah ciptaan Allah.

Bulan dan matahari adalah makhluk yang taat kepada Allah. Keduanya beredar pada jalurnya sesuai dengan yang ditetapkan Allah. Islam berarti taat,tunduk, patuh, pasrah kepada Allah. Bulan dan matahari taat kepada Allah. Bulan dan matahari Islam. Tahun hijriyyah (bulan) maupun tahun masehi (matahari) adalah tahun Islam.

Masalah kita sebenarnya bukanlah tahun baru Islam ataukah bukan. Masalah kita sebenarnya apakah kita ber-Islam ataukah tidak ? Apakah kita taat kepada Allah Sang pencipta alam semesta sebagaimana taatnya bulan dan matahari ataukah tidak ?

Wahai orang-orangyang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S. Al-Hasyr (59) ayat 18

Demi masa. Sesungguhnya seluruh manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Q.S. Al’Asr (103) ayat 1-3


Wallohu a’lam bis sowab.


Selengkapnya...

Sabtu, 27 Desember 2008

KHILAFAH, Menghancurkan atau Menguntungkan Umat ?

KHILAFAH MEMIMPIN DUNIA ?

Apaan sih itu ?

Khilafah atau kekholifahan adalah sesuatu yang mungkin samar bagi muslim Indonesia. Muslim Indonesia mungkin belum memahami secara jelas apa yang dimaksud dengan khilafah. Dengan demikian, muslim Indonesia tidak dapat bersikap secara baik dan jelas dalam menanggapi masalah khilafah. Muslim Indonesia tidak jelas mendukung atau tidak .Penulis sendiri termasuk yang masih mencari apa yang dimaksud sebenarnya.

Sejauh yang penulis temukan, khilafah adalah sebuah konsep kepemimpinan umat. Kepemimpinan umat setidaknya mempunyai tiga kemungkinan pemahaman dalam konteks penerapannya. Pertama, khilafah sebagai sebuah imperium dunia. Kedua, khilafah sebagai kepemimpinan keagamaan. Ketiga, khilafah sebagai konfederasi atau semacamnya.

Bila khilafah dipahami sebagai imperium dunia, khilafah berarti sebuah “Negara Islam” yang berdaulat di seluruh dunia. Menegakkan khilafah artinya membuat Negara. Saat ini, mengharuskan penegakkan khilafah berarti meniadakan Negara yang sudah ada dan mengupayakan pembuatan Negara baru. Dengan demikian, pada penegakkan khilafah nuansa sebagai gerakan politik lebih kental dari pada gerakan keagamaan, bahkan mungkin cenderung sebagai gerakan politik berbaju agama.

Pemahaman ini akan menempatkan muslim yang meyakininya menjadi pemberontak di Negara tempat tinggalnya. Apabila ini memang benar, maka umat muslim akan terusir dari tempat tinggalnya. Di mana pun ia berada, ia akan dipandang sebagai gerakan sparatis yang akan menghancurkan sebuah Negara yang berdaulat.

Kondisi ini akan menempatkan umat muslim seperti apa yang dialami Bani Isroil. Mereka terusir dan tidak mempunyai tempat tinggal yang jelas. Mereka menjadi pengungsi di tanah pengasingan. Tanah yang dicita-citakan adalah tanah yang ditempati orang lain. Di mana pun berada, ia akan menjadi musuh untuk yang lain.

Kemungkinan kedua adalah khilafah dipahami sebagai kepemimpinan keagamaan. Apabila dicari bandingannya, maka mungkin seperti Khilafah Ahmadiyyah Qodiani dan Tahta Suci Vatikan untuk Katholik. Mungkin senada dengan Imamah dalam pandangan syi’ah.

Dalam makna ini, kholifah sebagai pemegang tampuk khilafah adalah pemimpin agama. Wewenangnya terbatas pada hal-hal keagamaan. Kholifah tidak berwenang berkaitan dengan politik, pengadilan dan perundang-undangan dan hal lain yangberkaitan dengan tata negara.

Bila makna ini yang diterima, maka cenderung dekat atau sepaham dengan sekulerisme. Agama dan Negara adalah sesuatu yang terpisah. Otoritas Negara berbeda dengan otoritas agama.

Bila makna ini dikaitkan dengan khulafaur rosyidin, timbul kesenjangan antara makna dan kenyataan sejarah. Pada masa khulafaur rosyidin, kholifah adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin.

Selain itu, mungkin terjadi kemutlakan penafsiran terhadap agama. Kholifah sebagai pemegang otoritas keagamaan adalah pemegang kebenaran. Tafsir yang benar tentang teks suci (Al-Quran dan As-Sunnah) adalah tafsir kholifah. Yang berbeda dengan kholifah adalah kelompok yang sesat.

Kondisi pemutlakan kebenaran ini setidaknya pernah terjadi pada masa lalu. Masa kholifah Al-Ma’mun, mu’tazilah adalah benar dan yang lain sesat. Kholifah berpindah, maka pemahaman siapa yang benar pun berubah. Bayangkan, apa yang terjadi dengan perbedaan mazhab yang hari ini adalah sebuah kenyataan.

Kemungkinan makna ketiga adalah khilafah dipahami sebagai konfederasi atau sejenisnya. Dengan makna ini khilafah mungkin seperti persemakmuran Inggris (British Commonwealth of Nations). Mungkin pula seperti UNI Eropa. Mungkin pula seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Khilafah dengan makna ini dapat terjadi dengan sebuah perjanjian antara Negara yang telah ada. Namun, perjanjian tersebut hanya merupakan ikatan tidak berarti kedaulatan. Alat kelengkapan bersama hanya berhubungan dengan pemerintah tiap Negara, tidak berhubungan langsung dengan warga negaranya. Setiap perjanjian dalam ikatan konfederasi harus dituangkan dahulu dalam perundang-undangan Negara yang bersangkutan, baru berlaku untuk warga negaranya.

Ikatan dapat pula terjadi bukan karena perjanjian, tetapi karena sesuatu yang psikologis dan emosional, seperti kesejarahan, adat istiadat maupun agama. Ikatan ini pun tidak menjadikan suatu Negara kehilangan kedaulatan dan timbul Negara lain yang berdaulat.

Bila makna ini yang dipergunakan, maka cukuplah kiranya memberdayakan OKI sebagai khilafah.

Akhirnya, para pengusung penegakkan khilafah perlu menjelaskan secara gamblang apa yang mereka maksud dengan khilafah itu. Bagaimana hubungan khilafah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah mereka mengakui kedaultan Negara yang telah ada ? Ini harus secara tegas dijelaskan, sehingga umat memahami apakah penegakan khilafah itu perlu didukung ataukah tidak.

Wallohu a’lam.


Selengkapnya...

UNDANG – UNDANG DASAR SYARI’AH

Penegakkan syari’ah diwarnai oleh dua kelompok kaum muslimin. Kelompok pertama memandang bahwa ditegakkannya syari’ah adalah saat Al-Quran dan As-Sunnah menjadi konstitusi. Kelompok kedua memandang bahwa ditegakkannya syari’ah adalah ketika syari’ah dilaksanakan walau tanpa konstitusi.

Kedua kelompok ini terus berada di wilayah yang berbeda. Yang satu memandang yang lain sebagai musuh. Pada tahap yang gawat adalah yang satu memandang yang lain sesat. Terjadilah kafir mengkafirkan terhadap sesama pemeluk Islam, bukan karena syahadatnya, tapi karena berbedanya pandangan politik.

Apabila kemudian mengkaji pemahaman konstitusi, ditemukan bahwa konstitusi terbagi menjadi dua jenis. Pertama konstitusi yang tertulis. Kedua konstitusi tidak tertulis.

Konstitusi tertulis adalah suatu naskah yang secara formal dikatakan sebagai konstitusi atau undang-undang dasar. Pada konstitusi tertulis biasanya tercantum organisasi negara, hak azasi manusia, prosedur perundang-undangan. Adakalanya ditambah dengan larangan melakukan perubahan terhadap satu sifat atau ketentuan tertentu dalam bernegara.

Organisasi negara adalah pembagian kekuasaan antar lembaga negara. Organisasi negara pertama kali akan berhubungan dengan bentuk Negara, apakah republik, kerajaan, presidensil atau parlementer, konferderasi, kesatuan atau federal. Dari bentuk Negara itu berkembang pembagian kekuasan, baik secara vertical antara pemerintah pusat dan daerah maupun secara horizontal antar beberapa lembaga Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif).

Hak azasi manusia adalah hak-hak setiap warga negara yang keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Hak ini, dapat berupa hak politik, hak ekonomi, hak pendidikan, hak budaya dan hak-hak lainnya.

Prosedur perundang-undangan adalah tatacara pembuatan, penyusunan, pengesahan dan perubahan sebuah undang-undang. Undang-undang yang dimaksud dapat berupa undang-undang dasar (konstitusi) itu sendiri maupun undang-undang di bawahnya.

Konstitusi kedua adalah konstitusi tidak tertulis atau biasa dikatakan sebagai sebuah konvensi. Konvensi adalah sebuah tatanan atau tata nilai yang diakui bersama dan dipatuhi. Menurut Edward M. Sait konvensi adalah aturan-aturan tingkah laku politik. Konvensi berisi tata nilai yang diambil dari kebiasaan yang terjadi maupun nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat.

Secara formal, konvensi tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Namun konvensi mempunyai kekuatan yang besar, karena dapat berarti penentuan dukungan dalam pemilu. Siapa yang melanggar konvensi akan dipandang sebagai tidak patut untuk dipilih.

Konvensi, walaupun dikatakan konstitusi yang tidak tertulis, namun kenyataannya tetap mempunyai catatan-catatan atau dokumen-dokumen. Sebutlah konstitusi Inggris yang berupa konvensi, ternyata menginduk kepada magna Charta 1215, bill of rights 1689, Act of settlement 1701, parliament acts 1911 dan 1949 serta lain-lainnya.

Memahami hal tersebut, sangat berat Al-Quran dan As-Sunnah dapat dijadikan sebagai konstitusi tertulis. Pada Al-Quran dan As-Sunnah tidak ditemukan organisasi negara secara jelas. Bentuk Negara tidak tercantum secara jelas. Pembagian kekuasaan tidak tercantum secara jelas. Sistem pengangkatan kepala negara secara pasti pun tidak ada. Pada masa khulafaur rosyidin pun ditemukan bahwa kholifah diangkat dengan cara yang berbeda-beda.

Apabila mengkaji sejarah, ditemukan bahwa pada masa khulafaur rosyidin kedudukan Al-Quran dan As-Sunnah dalam bernegara adalah sebagai konvensi. Al-Quran dan As-Sunnah bukanlah konstitusi tertulis. A-Quran dan As-Sunnah adalah dokumen sakral yang tata nilainya (syari’ah) diakui dan diamalkan dalam bernegara.

Al-Quran dan As-Sunnah sebagai konvensi (konstitusi tak tertulis) dapat menjadi jalan tengah antara dua kubu politik muslim. Al-Quran dan As-Sunnah tidak secara formal menjadi naskah konstitusi, namun tata nilainya menjadi acuan dalam bernegara.

Apabila ini disepakati, maka tanggungjawab perjuangan adalah bagaimana membentuk masyarakat yang memahami, meyakini dan mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Tantangan adalah bagaimana menempatkan nilai-nilai syari’ah sebagai nilai-nilai universal yang diakui bersama dalam kehidupan social. Dengan hidupnya tata nilai syari’ah dalam masyarakat, maka secara tidak langsung siapa yang melakukan pelanggaran terhadap tata nilai ini akan dipandang tidak patut secara politik untuk memimpin negara.

Apabila ini disepakati, maka konsentrasi saat ini bukanlah pemilu dan pilkada namun pendidikan dan social budaya. Bagaimana mendidik warga Negara - mendidik anak bangsa - agar memahami, meyakini dan mengamalkan nilai-nilai syari’ah. Bagaimana melakukan sosialisasi nilai syari’ah sehingga menjadi nilai-nilai social.


Selengkapnya...